rafale234.jpg
Tekno

Indonesia Bisa Jadi Kunci Penting Kebangkitan ‘Pesawat Terkutuk’ ini

  • Penjualan 80 jet tempur Rafale ke Uni Emirat Arab tidak hanya dianggap bersejarah, tetapi juga mengkonfirmasi kesuksesan penjualan berkelanjutan dari pesawat tempur Prancis tersebut.

Tekno

Amirudin Zuhri

PARIS- Penjualan 80 jet tempur Rafale ke Uni Emirat Arab tidak hanya dianggap bersejarah, tetapi juga mengkonfirmasi kesuksesan penjualan berkelanjutan dari pesawat tempur Prancis tersebut.

Kesepakatan 3 Desember 2021 bagi Prancis untuk menjual 80 jet tempur Rafale ke Uni Emirat Arab dipuji sebagai bersejarah oleh Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly. CEO Rafale Dassault Aviation, Ric Trappier juga menyatakan kegembiraannya atas kesepakatan yang ia gambarkan sebagai kontrak paling penting yang pernah diperoleh industri aeronautika militer Prancis. 

Dapat dimengerti bahwa Trappier sangat gembira ketika Putra Mahkota Abu Dhabi Mohammed ben Zayed al-Nahyane, menandatangani perjanjian senilai €16 miliar atau sekitar Rp261 triliun tersebut (kurs Rp16.300). Dari jumlah itu €2 miliar untuk senjata. Sebuah rekor untuk pabrikan pesawat Prancis.

Tidak hanya untuk Dassault. Kesepakatan ini berarti berarti bisnis yang dijamin selama lebih dari enam tahun untuk  –Thales yang memasok semua sistem internal Rafale, Safran yang menyediakan mesin dan beberapa ratus subkontraktor lainnya. Dibutuhkan setidaknya satu bulan untuk memproduksi satu unit Rafale.

Sebagaimana dilaporkan France24 Minggu 5 Desember 2021, penjualan itu juga merupakan berita ekonomi yang baik bagi Presiden Prancis Emmanuel Macron yang sekitar empat bulan lagi akan berlari ke pemilihan presiden berikutnya. Penjualan juga semakin memperkuat reputasi Rafale sebagai "phoenix" penerbangan militer.

Selama lebih dari 25 tahun keberadaannya, jet telah menghadapi tantangan dan muncul dalam berbagai variasi. Ditampilkan sebagai salah satu pesawat tempur paling canggih pada awalnya, Rafale telah berjuang untuk bisa dijual ke luar negeri. Bahkan Rafale dijuluki sebagian pihak sebagai ‘Pesawat Terkutuk’ karena sulitnya mencari pembeli.

Negosiasi untuk penjualan pesawat tempur Rafale telah berlangsung selama lebih dari satu dekade, dengan Abu Dhabi secara terbuka menolak tawaran Prancis untuk memasok 60 pesawat pada tahun 2011.

Hingga tahun 2015 Dassault Aviation berjuang keras. Baik di Brasil, India, atau di UEA, Rafale dianggap terlalu mahal. Harga jualnya sekitar €100 juta, atau sekitar Rp1,6 triliun, belum lagi biaya perawatannya, yang termasuk tertinggi di pasar jet tempur. Pesaingnya seperti Eurofighter Typhoon, Gripen Swedia dan jet Amerika seringkali dijual dengan harga kurang dari €100 juta. 

Akibatnya pesawat Prancis terkunci dalam lingkaran setan.  Dassault Aviation membutuhkan lebih banyak pesanan sebelum skala ekonomi memungkinkannya untuk dijual dengan harga lebih rendah, tetapi negara-negara enggan berkomitmen untuk membeli karena harganya. Dan penjualan jet ke militer Prancis saja tidak pernah cukup besar.

Akhirnya Rafale menunjukkan kegunaannya di Libya dan Afghanistan ketika dekade pertama tahun 2000-an berakhir, membangkitkan lebih banyak minat internasional. Menurut harian bisnis La Tribune performanya di medan tempur adalah titik kritis.

Pada 2015 Mesir menjadi pembeli Rafale pertama di luar militer Prancis dengan mengakuisisi sekitar 20 jet. Kontrak lain menyusul  dengan India, Qatar, Yunani dan Kroasia . Hingga akhirnya UEA menjadi anggota keenam klub pelanggan asing Rafale.

Kontrak terbaru ini berarti sekarang ini lebih banyak jet Rafale yang dijual di luar negeri daripada yang digunakan Prancis. Saat ini Prancis menggunakan 192 Rafale sementara pesawat yang digunakan asing mencapai 236 unit.

Belum mengesankan

Tetapi kebangkitan Rafale   yang pernah digambarkan sebagai “pesawat terkutuk”  tersebut sebenarnya belum begitu mengesankan jika dilihat dalam konteks pasar senjata internasional yang lebih luas. Alexandre Vautravers, pakar senjata dan editor Swiss Military Review mengatakan pencapaian ini masih jauh di bawah kompetisi langsung terutama dibandingkan F-35 Amerika yang dibuat oleh Lockheed Martin. 

Lockheed Martin telah menjual hampir 1.000 F-35 di seluruh dunia, tidak termasuk pesanan dari Amerika sendiri. Dan lebih banyak pesanan berarti pabrikan Amerika dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh Dassault Aviation: menurunkan harganya. Model F-35A berharga kurang dari US$80 juta 

Hal ini membuat Rafale dalam posisi yang tidak nyaman. F-35 lebih murah, lebih baru dan 40% lebih efisien. Kedua pesawat menempati ceruk pasar yang sama yakni jet tempur multirole atau omnirole. Jargon yang digunakan Dassault Aviation dalam membangun dan menawarkan Rafale. Tetapi F-35 juga merupakan jet tempur siluman yang tidak dimiliki Rafale dan memiliki jangkauan yang lebih besar.

Keuntungan utama dari pesawat Prancis adalah strategis. "Titik penjualan terbesar untuk jet Rafale adalah bahwa ia melewati kemungkinan embargo Amerika," kata Vautravers.Dia mengatakan memang lebih baik tidak hanya bergantung pada Amerika untuk peralatan pertahanan untuk mengantisipasi jika Washington menjatuhkan sanksi ekonomi. “Rafale – seperti sistem Rusia – memungkinkan orang untuk melakukan diversifikasi”, katanya.

Secara keseluruhan, penjualan Rafale memang  lebih baik sekarang karena ada pasar yang berkembang. Ujian sebenarnya tentang bagaimana mengevaluasi seberapa baik kinerja pesawat Prancis di pasar yang kompetitif adalah dengan melihat negara-negara di mana Dassault telah menemukan pembeli baru.

Menurutnya sebagian besar penjualan Rafale dilakukan di negara-negara yang sebelumnya telah membeli pesawat Prancis. Mesir, Yunani, India dan UEA semuanya menggunakan jet tempur Prancis sebelumnya. Itu artinya Prancis belum berhasil menarik pelanggan baru dan hanya mempertahankan pelanggan lama.

Negosiasi yang sedang berlangsung dengan Indonesia untuk menjual 36 Rafale disebutnya sebagai kunci bagi Dassault. Jika kesepakatan akhirnya akan membawa Prancis klien yang benar-benar baru. Jika Indonesia pada akhirnya benar-benar memutuskan untuk membeli jet tempur tersebut, maka akan sangat membantu Dassault untuk menarik perhatian dari banyak negara lain.

Indonesia sendiri sampai saat ini masih juga belum memutuskan jet tempur apa yang dibeli. Selain Rafale, sejumlah kandidat disebut-sebut dalam beberapa tahun terakhir termasuk F-15EX, F-16 dan Eurofighter Typhoon.