<p>Ilustrasi pembangunan gedung. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Nasional

Indonesia Dihantui Kontraksi Ekonomi Bila Tidak Segera Lockdown di Tengah Ledakan Kasus COVID-19

  • Indonesia berpotensi kehilangan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp463 triliun-Rp848 triliun bila memilih tidak menerapkan lockdown saat kasus COVID-19 terus melonjak. Pada skenario terburuknya, ekonomi Indonesia berpotensi terkontraksi 0,5% year on year (yoy) sepanjang 2021.

Nasional

Muhamad Arfan Septiawan

JAKARTA – Indonesia berpotensi kehilangan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp463 triliun-Rp848 triliun bila memilih tidak menerapkan lockdown saat kasus COVID-19 terus melonjak. Pada skenario terburuknya, ekonomi Indonesia berpotensi terkontraksi 0,5% year on year (yoy) sepanjang 2021.

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan kerugian ekonomi lebih besar dialami Indonesia bila tidak segera merespon kondisi pandemi COVID-19.

Dalam proyeksinya tersebut, Bhima menyebut pertumbuhan ekonomi maksimal yang bisa dicapai Indonesia bila tidak menerapkan lockdown hanya 2% yoy.

“Ekonomi Indonesia akan tumbuh lebih solid ketika lockdown berhasil. Kondisi darurat ini harus ditangani dengan kebijakan darurat juga,” kata Bhima saat dihubungi Trenasia.com, Senin, 28 Juni 2021.

Sementara itu, risiko kehilangan PDB saat menerapkan lockdown jauh lebih rendah, yakni Rp77 triliun-Rp308 triliun. Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 pun diproyeksikan masih bisa menyentuh 3%-4,5% yoy.

Kendati demikian, kebijakan lockdown ini memiliki konsekuensi biaya. Menurut Bhima, biaya yang diperlukan untuk kebijakan lockdown selama dua minggu mencapai Rp11 triliun-Rp25 triliun. Biaya tersebut setara 6% anggaran infrastruktur.

Biaya itu tidak bisa terelakkan karena pemerintah memang wajib memenuhi kebutuhan harian masyarakat saat lockdown berlangsung. Hal itu termaktub dalam Undang-Undang (UU) 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Nasional 

“Kebijakan untuk menanggulangi COVID-19 ini jangan nanggung,” ujar Bhima.

Efek lockdown, kata Bhima, juga lebih berkelanjutan terhadap perekonomian Indonesia. Bila sukses melakukan lockdown, Indonesia bisa mengalami rebound yang luar biasa di kuartal selanjutnya.

Kondisi ini yang dialami oleh China. Saat lockdown berlaku pada kuartal I-2020, ekonomi Negeri Panda jatuh ke minus 6,8% yoy. Meski begitu, pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2020 langsung melesat ke 3,2%.

Kebijakan yang responsif itu pada akhirnya membuat ekonomi China tumbuh pesat di saat negara-negara lain masih terseok-seok. China tercatat tengah alami ekspansi perekonomian dengan pertumbuhan menyentuh 18,3% yoy pada kuartal I-2021.

“Dengan PPKM Mikro saat ini, sektor perekonomian akhirnya kurang optimal dan di saat bersamaan sulit mencegah penularan,” ucap Bhima.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia  Mohammad Faisal mengungkapkan target pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2021 oleh pemerintah hampir tidak mungkin dicapai. Target pertumbuhan ekonomi 8,3% itu sulit dicapai karena skenarionya tidak memperhitungkan lonjakan kasus COVID-19 seperti yang sekarang terjadi.

Dalam risetnya, Faisal menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bisa menembus 4% yoy atau separuh dari proyeksi pemerintah.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi paling optimis untuk full year 2021 versi CORE pun hanya mencapai 4% yoy. Sementara bila kasus COVID-19 tidak kunjung terkendali, skenario terburuknya ekonomi Indonesia bisa parkir di 3% yoy pada tahun ini.

“Konsekuensi PPKM Mikro berdampak pada semakin menyempitnya sektor ekonomi yang bergerak. Kondisi ini mengarah pada batas bawah di kisaran 3%,” ujar Faisal dalam diskusi virtual beberapa waktu lalu.

Faisal pun mendorong pemerintah untuk bisa menekan laju penyebaran virus COVID-19 dalam waktu singkat. PPKM Mikro berjilid-jilid namun minim hasilnya bisa semakin menekan ekonomi Indonesia.

“Tentu kalau pemerintah tidak bisa menekan virusnya dalam waktu singkat ini, ekonomi kita bisa tumbuh di bawah 3%,” ujar Faisal. (RCS)