<p>Suasana pemukiman kumuh padat penduduk di bantaran Kali Tanjung Selor, Cideng, Jakarta, Senin, 20 Juli 2020. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 26,42 juta orang per Maret 2020. Jumlah ini meningkat sebanyak 1,63 juta orang dari September 2019. Provinsi DKI Jakarta juga tercatat sebagai provinsi dengan peningkatan Gini Ratio tertinggi, yaitu naik 0,008 poin per Maret 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Indonesia Terancam Masuk Jadi Negara Middle Income Trap, Apa Itu?

  • “Indonesia bisa saja mengalami middle income trap seperti negara-negara Amerika Latin. Pendapatan kita bisa stuck like a forever,” kata Menkeu Sri Mulyani.

Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Tokoh-tokoh ekonomi negara hingga dunia, kerap menyebut sebuah istilah jebakan pendapatan menengah atau middle income trap yang mengancam Indonesia.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Suharso Monoarfa menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mencapai minimal 6% untuk terhindar dari middle income trap.

“Pertumbuhan ekonomi dari tahun 2022 paling tidak rata-rata 7% dan minimal 6% sehingga kita bisa melepaskan diri dari middle income trap,” katanya dalam rapat kerja Bersama Komisi IX DPR RI beberapa waktu lalu.

Hal ini juga sempat disinggung Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Menurut Sri Mulyani, pendapatan Indonesia bisa  ‘jalan di tempat’ jika tidak mengakselerasi pemulihan ekonomi sejak tahun ini.

“Indonesia bisa saja mengalami middle income trap seperti negara-negara Amerika Latin. Pendapatan kita bisa stuck like a forever,” tegas Sri Mulyani dalam Indonesia Data and Economic Conference, Kamis 25 Maret 2021.

Apa Itu Middle Income Trap?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Istilah middle income trap pertama kali muncul dalam laporan Bank Dunia bertajuk An East Asian Renaissance: Ideas for Economic Growth pada 2007. Istilah ini digunakan bank dunia untuk menggambarkan fenomena pendapatan negara di level menengah yang tidak kunjung mengalami kenaikan atau stagnan.

Untuk diketahui, Bank Dunia menyatakan negara dengan level pendapatan menengah atau middle income diukur dari Gross National Income (GNI) sebesar US$1.036 hingga US$4.045. Indonesia bersama 55 negara lain di dunia tercatat berada di rentang pendapatan level menengah tersebut.

Riset berjudul Growth Slowdowns Redux: New Evidence on the Middle Income Trap pada 2012 menjelaskan, penyebab utama dari fenomena middle income trap adalah rendahnya total factor productivity (TFP) serta kebijakan ekonomi yang kontraproduktif.

Hal ini dapat ditandai dengan stagnansi pada sektor manufaktur. Suatu negara bisa masuk ke dalam jebakan ini bila menunjukan tanda-tanda produksi industri yang stagnan. Lalu, minimnya suntikkan dana investasi untuk menggenjot produksi.

Selain itu, jebakan ini disebabkan juga oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak kompetitif dalam menyokong industri. SDM ini dikatakan akan sulit bersaing dengan high technology countries.

“Untuk jadi high income, Anda selalu membutuhkan infrastruktur yang bagus supaya produktif. Tentu saja didukung dengan SDM-nya yang mumpuni,” kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

Faktor lain yang menyebabkan fenomena ini adalah supremasi hukum yang lemah dan birokrasi yang tidak efektif.

Negara-Negara yang Mengalami Middle Income Trap
Patung Kristus Penebus adalah patung Yesus Kristus dengan gaya arsitektur Art Deco terbesar dan terdapat di Rio de Janeiro, Brasil. / Getty Images

Felipe (2012) dalam paper berjudul Tracking the Middle Income Trap: What Is It, Who Is In It, and Why? menjelaskan TFP akan berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, untuk meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), suatu negara harus menggenjot produksinya.

Banyak negara-negara di Amerika Selatan yang sejak awal tahun 2000 tidak mampu mengembangkan TFP-nya dan masuk ke dalam middle income trap.

Brasil menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang rendah selama satu dekade, yakni dari 2002 hingga 2012 sebesar 2,65%. Hal ini dipengaruhi TFP Negeri Samba yang berada di angka minus 1,92. Kondisi ini kemudian yang membuat Brasil masuk ke dalam middle income trap.

Middle income trap juga dialami negara-negara tetangga Brasil seperti Peru dan Kolombia. Di Asia, kondisi ini dialami oleh Pakistan yang sudah masuk jebakan ini 32 tahun dengan pertumbuhan PDB stagnan di angka 2,6%.

Jurus Jokowi
Presiden Joko Widodo / Setneg.go.id

Presiden Joko Widodo memaparkan beberapa upaya agar Indonesia bisa kembali naik status menjadi negara berpendapatan tinggi, dan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.

Jokowi mengungkapkan banyak negara di dunia yang menghabiskan puluhan tahun, bahkan hampir ratusan tahun terjebak dalam status negara berpendapatan menengah.

“Itulah yang tidak kita inginkan. Pertanyaannya apakah kita punya peluang untuk keluar dari middle income trap. Saya jawab tegas, kita punya peluang besar, kita punya potensi besar,” ujar Jokowi.

Pada 1 Juli 2020 lalu Bank Dunia baru saja menaikkan status Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah ke atas (upper-middle income country) dari negara berpendapatan menengah bawah. Hal itu karena Indonesia telah memiliki pendapatan nasional bruto (GNI) sebesar US$4.050 pada 2019, atau naik dari US$3.840.

Meski naik status, Indonesia masih berada di level negara berpendapatan menengah. Presiden Jokowi mengingatkan Indonesia memiliki peluang besar untuk kembali naik status menjadi negara berpendapatan tinggi dengan beberapa syarat.

Pertama, Indonesia harus memiliki infrastruktur yang efisien. Kemudian, Indonesia juga perlu memiliki sistem kerja yang kompetitif, cepat, dan berorientasi pada hasil.

“Ini sudah mulai kita bangun. Kita butuh kerja cepat kompetitif, yang berorientasi pada hasil. ini yg terus kita upayakan,” ujar Presiden Jokowi.

Sumber Daya Manusia
Presiden Joko Widodo melepas ekspor perdana kendaraan niaga Isuzu Traga yang diproduksi oleh PT Isuzu Astra Motor Indonesia (IAMI) 12 Desember 2019. / Foto: BPMI Setpres

Selain itu Indonesia juga perlu Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul, produktif, inovatif, dan kompetitif.

“Di sinilah posisi strategisnya pendidikan tinggi yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, mencetak generasi muda yang kompetitif, yang selalu berjuang untuk kemanusiaan dan kemajuan RI,” ungkap Mantan Wali Kota Solo itu.

Oleh karena itu, Presiden menekankan upaya untuk meningkatkan kualitas SDM tidak bisa dilakukan dengan cara-cara normatif. Indonesia memerlukan strategi dan terobosan baru untuk melompat lebih jauh.

“Kita harus berubah, cari cara baru, mengembangkan strategi baru, yang smart shortcut, yang out of the box,” ujar bekas Gubernur DKI Jakarta itu.

Presiden mengajak para rektor dan pemangku kepentingan di sektor pendidikan untuk memanfaatkan puncak bonus demografi yang akan dinikmati Indonesia,dengan mencetak generasi muda yang unggul untuk membangun Indonesia Maju.

“Satu abad Republik Indonesia sudah dekat di 2045 nanti, tinggal 25 tahun, mari cetak sejarah mari buktikan kita tidak terjebak middle income trap, mari kita buktikan 2045, Indonesia mampu jadi negara berpenghasilan tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegas Jokowi. (SKO)