Indonesia vs Uni Eropa: Melawan Hegemoni Barat
- Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Arsjad Rasjid beropini bahwa sebaiknya masyarakat jangan terjebak dengan istilah kartel
Industri
JAKARTA – Beberapa waktu lalu, Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengutarakan gagasan untuk mendirikan organisasi semacam OPEC (The Organization of the Petroleum Exporting Countries) bagi negara-negara penghasil nikel.
Kata Bahlil, dengan adanya organisasi seperti OPEC untuk negara penghasil nikel dapat mengokoordinasikan dan menyatukan kebijakan komoditas nikel. Mimpi Bahlil semua negara penghasil nikel bisa mendapat keuntungan melalui penciptaan nilai tambah yang merata.
Menerjemahkan gagasan kartel itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Arsjad Rasjid beropini bahwa sebaiknya masyarakat jangan terjebak dengan istilah kartel.
“Intinya adalah mengajak teman-teman negara penghasil sumber daya mineral ini kita ajak untuk inklusif, kolaboratif. Tujuannya untuk pemerataan ekonomi dan kesejahteraan,” kata Arsjad pada TrenAsia.
Intrepretasi Arsjad terhadap ide kartel senada dengan gugatan World Trade Organitation (WTO) terhadap larangan ekspor bijih nikel oleh Presiden Joko Widodo. Menurutnya, baik kartel maupun larangan ekspor bijih nikel merupakan sikap Indonesia untuk memutus tradisi 'jual mentah' hasil kekayaan alam.
Dalam sengketa bijih nikel, Uni Eropa kebakaran jenggot karena Indonesia tiba-tiba ogah menjual bahan mentah. Sejak larangan ekspor bijih nikel pada 2022, Uni Eropa hanya bisa mengimpor produk turunan nikel yang sudah barang tentu memiliki nilai yang jauh lebih tinggi daripada sekadar bahan baku.
Sementara Indonesia bersikeras untuk meningkatkan nilai tambah pada tiap komoditas ekspor yang dihasilkan. Arsjad menejelaskan, hilirisasi yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional. Hal ini tentunya memiliki efek domino ke penciptaan lapangan pekerjaan, peningkatan ekonomi rakyat, dan pemerataan kesejahteraan.
“WTO harus paham, Indonesia punya agenda untuk meningkatkan perekonomian dalam negeri. Tidak bisa kirim barang mentah yang murah lagi,” tegas Arsjad.
Titah Jokowi mengempit bijih nikel langsung berimbas pada nilai ekspor komoditas turunan nikel. Bersadarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor komoditas turunan nikel naik signifikan sejak pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel di awal 2020.
Terlihat dari nilai ekspor komoditas turunan nikel pada Januari-Agustus 2022 yang mencapai US$12,35 miliar atau tumbuh hingga 263% jika dibandingkan 2019. Sebelum pemberlakukan larangan ekspor bijih nikel, nilai ekspor hanya mencapai US$3,40 miliar.
- PGN Raih Laba Rp4,86 Triliun pada Kuartal III-2022
- Atasi Kemacetan di Solo, Kementerian Perhubungan akan Bangun Rel Kereta Api Layang
- Awal Pekan Harga Emas Antam Turun, Segram Dibaderol Rp979.000
Melawan Hegemoni Barat
Sikap keras negara barat soal nikel Indonesia serupa dengan kritik isu lingkungan yang deras disuarakan kepada negara berkembang. Hal ini lantaran negara berkembang masih menggunakan energi kotor seperti batu bara untuk membuat 'dapur' perekonomiannya terus mengebul.
Kondisi ini berbeda dengan negara-negara maju yang sudah jauh melangkah ke arah dekarbonisasi alias beralih ke energi baru terbarukan.
Sebagai bos raksasa batu bara, Arsjad menganggap sikap negara maju seperti Uni Eropa seolah-olah lupa bahwa karbonisasi adalah jalan mereka untuk menjadi makmur seperti saat ini.
"Mereka lupa, yang mengotori bumi pertama siapa? Sekarang, ketika sudah maju dan bisa beralih ke energi bersih, mereka bilang negara berkembang tidak paham lingkungan," tukas Arsjad.
Meskipun demikian, Arsjad mengatakan seluruh dunia, termasuk Indonesia sepakat untuk bersama-sama melakukan dekarbonisasi. Akan tetapi, daya masing-masing negara untuk beralih tidak bisa disamaratakan.
“Kemampuan dan kecepatan Indonesia beralih tidak bisa disamakan dengan negara maju."
Sebagai contoh, Indonesia hingga tahun ini saja masih menanggug pekerjaan rumah untuk mengejar tingkat elektrifikasi hingga 99,99% ke seluruh pelosok daerah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, rasio elektrifikasi di Indonesia mencapai 99,45% pada 2021.
Nilai tersebut naik 0,25% poin dari tahun sebelumnya yang sebesar 99,20%. Meskipun meningkat, rasio elektrifikasi pada tahun lalu masih belum mencapai target yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 99,99% secara nasional.
Sedangkan, Our World in Data mencatat 86,95% dari total produksi listrik Indonesia pada 2020 berasal dari bahan bakar fosil, turun sedikit dari 88,73% pada 2019. Pada 2020, produksi listrik nasional yang berasal dari bahan bakar fosil tercatat mencapai 239 terawatt jam (TWh).