Ilustrasi orang di luar bank. (Freepik/pch.vector)
Perbankan

Industri BPR Dihimpit Kredit Macet, NPL Melesat Drastis dalam Setahun Terakhir

  • Data dari Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis OJK mencatat bahwa rasio NPL BPR melonjak tajam hingga mencapai 11,49% pada Juli 2024, dengan nilai NPL total sebesar Rp16,71 triliun. Sementara itu, kredit macet meningkat menjadi Rp11 triliun, atau naik 25,12% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sedang menghadapi tantangan besar pada tahun 2024. Selama tujuh bulan pertama, tepatnya hingga Juli 2024, kualitas kredit BPR mengalami penurunan yang signifikan. 

Hal ini terlihat dari peningkatan rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL). Menurut data terbaru, sebanyak 15 BPR telah dicabut izin operasionalnya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), salah satunya adalah PT Bank Perkreditan Rakyat Nature Primadana Capital yang resmi dinyatakan bangkrut.

Pencabutan izin PT Bank Perkreditan Rakyat Nature Primadana Capital ditetapkan oleh OJK melalui Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-70/D.03/2024 pada 13 September 2024. Ini menunjukkan kondisi yang semakin tidak stabil di sektor perbankan mikro.

Data dari Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis OJK mencatat bahwa rasio NPL BPR melonjak tajam hingga mencapai 11,49% pada Juli 2024, dengan nilai NPL total sebesar Rp16,71 triliun. Sementara itu, kredit macet meningkat menjadi Rp11 triliun, atau naik 25,12% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Lonjakan Rasio NPL BPR

Sebagai perbandingan, pada Juli 2023, rasio NPL BPR masih berada di level 9,79%, dengan total NPL senilai Rp13,35 triliun, serta kredit macet sebesar Rp8,87 triliun. Kenaikan rasio NPL BPR ini sudah terjadi secara bertahap sejak awal tahun 2024. Pada Januari, rasio NPL berada di angka 10,25%, kemudian naik menjadi 10,55% pada Februari, hingga akhirnya mencapai 11,39% pada Juni 2024.

Situasi ini menandakan bahwa industri BPR menghadapi tantangan berat dalam menjaga kualitas portofolio kredit mereka, di tengah tekanan ekonomi yang terus berkembang.

Tantangan Industri BPR dan BPRS

Tidak hanya BPR, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) juga menghadapi dinamika yang cukup berat. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyampaikan bahwa kondisi ekonomi global dan domestik memberikan tekanan besar terhadap industri BPR dan BPRS. 

Dalam beberapa tahun mendatang, tantangan-tantangan ini diperkirakan akan semakin meningkat, seiring dengan adanya ketidakpastian di pasar global yang turut mempengaruhi stabilitas perekonomian nasional.

Dian menambahkan, salah satu tantangan utama yang harus dihadapi BPR dan BPRS adalah perubahan perilaku serta ekspektasi masyarakat terhadap layanan keuangan yang didorong oleh adopsi teknologi informasi. Masyarakat kini mengharapkan layanan yang lebih cepat, mudah diakses, dan berbasis teknologi digital, tidak hanya dari bank umum, tetapi juga dari BPR dan BPRS.

"Adopsi teknologi sudah menjadi kebutuhan mendesak, termasuk untuk BPR dan BPRS. Mereka harus bisa beradaptasi dengan perubahan ini jika ingin tetap relevan di pasar," kata Dian Ediana Rae dalam pernyataannya yang dikutip pada Jumat, 20 September 2024.

Selain itu, persaingan di sektor keuangan juga semakin ketat, terutama dalam hal penyaluran kredit kepada segmen Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). BPR dan BPRS harus mampu meningkatkan daya saing mereka agar tetap bisa bersaing dengan lembaga keuangan lainnya yang memiliki modal dan teknologi lebih besar.

Roadmap Penguatan BPR dan BPRS 2024-2027

Untuk menghadapi tantangan-tantangan ini, OJK telah merilis Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR/BPRS untuk periode 2024-2027. Roadmap ini dirilis pada 21 Mei 2024 dan mencakup empat pilar utama yang diharapkan dapat memperkuat industri BPR/BPRS agar lebih tangguh, berdaya saing tinggi, serta mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi masyarakat, khususnya di daerah-daerah.

Dian Ediana Rae menyatakan bahwa penerapan roadmap ini sangat penting untuk memastikan keberlanjutan pertumbuhan industri BPR dan BPRS di masa depan. Berikut adalah empat pilar utama yang menjadi fokus roadmap tersebut:

  1. Penguatan Struktur dan Daya Saing: Fokus pada penguatan modal, tata kelola, serta inovasi produk dan layanan yang diharapkan mampu meningkatkan daya saing BPR dan BPRS.
  2. Akselerasi Digitalisasi: Meningkatkan efisiensi dan daya saing melalui pemanfaatan teknologi informasi dalam operasional dan layanan BPR dan BPRS.
  3. Penguatan Peran BPR dan BPRS di Daerah: Fokus pada penyediaan akses keuangan bagi segmen UMKM dan masyarakat lokal di wilayah-wilayah tempat BPR dan BPRS beroperasi.
  4. Penguatan Pengawasan dan Pengaturan: Melalui penguatan pengaturan, perizinan, serta pengawasan agar pengelolaan BPR dan BPRS sesuai dengan standar yang berlaku.

Tantangan di Tahun 2025

Meskipun roadmap telah dirancang dengan matang, industri BPR dan BPRS masih akan dihadapkan pada tantangan berat di tahun 2025. Dian Ediana Rae menyoroti bahwa selain tekanan dari luar seperti ketidakpastian ekonomi global, tantangan juga datang dari internal industri itu sendiri. Salah satunya adalah persaingan yang semakin ketat, terutama bagi BPR yang memiliki daya saing rendah.

"Untuk BPR yang daya saingnya rendah, tantangan terbesar adalah bagaimana mereka bisa tetap bertahan dalam persaingan yang semakin ketat. Penguatan daya saing menjadi faktor kunci yang harus dicapai," jelas Dian.

OJK telah menyiapkan berbagai strategi untuk membantu BPR dan BPRS dalam menghadapi tantangan tersebut. Beberapa di antaranya adalah melalui penguatan struktur permodalan, akselerasi digitalisasi, serta peningkatan peran mereka di wilayah masing-masing. Dian juga menekankan bahwa dengan implementasi roadmap yang baik, industri BPR dan BPRS diharapkan dapat lebih tangguh dan mampu memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional.

Pada akhirnya, kolaborasi antara BPR, BPRS, OJK, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya akan menjadi kunci keberhasilan dalam membangun industri yang kuat dan berdaya saing di tahun 2025 dan seterusnya.