<p>Ilustrasi industri makanan dan minuman. / Dok. Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam (BPTBA) </p>
Industri

Industri Manufaktur Tertolong Kebutuhan Perut

  • Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pertumbuhan industri makanan dan minuman meyakinkan meski ada pandemi COVID-19. Agus menilai, sektor tersebut secara simultan dapat mengangkat kembali industri manufaktur Indonesia.

Industri

Muhamad Arfan Septiawan

JAKARTA – Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pertumbuhan industri makanan dan minuman meyakinkan meski ada pandemi COVID-19.  Agus menilai, sektor pemenuhan kebutuhab perut tersebut secara simultan dapat mengangkat kembali industri manufaktur Indonesia.  

“Industri secara umum nonmigas negatif tapi industri mamin (makanan dan minuman) terus tumbuh di atas rata-rata. Industri ini menyumbang 23,8% dari ekspor industri manufaktur di Indonesia yang sebesar US$131,1 miliar” ungkap Agus dalam acara Peletakan Batu Pertama Fasilitas Daur Ulang Botol Plastik yang dikutip Selasa, 6 April 2021.

Pertumbuhan industri makanan dan minuman terhadap manufaktur juga diungkapkan ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy. Menurutnya, industri makanan dan minuman semakin mendorong konsumsi masyarakat.

“Jika kita lihat dari sub-kelompok bahan makanan dan minuman, masih terjadi inflasi Maret 2021 sebesar 0,40% month to month (mtm), lebih tinggi jika dibandingkan bulan lalu yang mencapai 0,07% mtm. Angka ini di satu sisi menunjukkan permintaan masyarakat terhadap kelompok bahan makanan sebenarnya masih terjadi,” kata Yusuf kepada TrenAsia.com, Selasa 6 April 2021.

Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada Maret 2021 sebesar 0,08% month to month (mtm) atau 1,37% secara year on year (yoy). Inflasi Maret 2021 lebih rendah 0,02% dibandingkan Februari 2021 yang sebesar 0,10% mtm.

Optimisme semakin nampak setelah angka Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia melesat ke posisi 53,2 pada Maret 2021. Angka di atas 50,0 menunjukan ekonomi sedang dalam situasi ekspansif. Perolehan angka PMI Indonesia pada bulan lalu merupakan yang tertinggi sejak 2011.

“Ini artinya menunjukkan masih terjadinya permintaan dari dalam negeri yang kemudian mendorong optimisme dari pelaku usaha di sektor manufaktur,” kata Yusuf.

Waspada Inflasi Bahan Makanan

Kendati inflasi pada Maret 2021 dikatakan Yusuf cukup terkendali, tapi pemerintah mesti mengantisipasi lonjakan inflasi dari kelompok bahan makanan.

“Peningkatan inflasi pada sub kelompok bahan makanan juga perlu diantisipasi karena ini kelompok ini tentu sensitif apalagi jika kita kaitkan dengan konteks momentum Ramadan,” terang Yusuf.

Hal itu nampak dari komoditas cabai rawit yang memicu inflasi Maret 2021 mencapai 0,04%.

Menurut pantauan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga komoditas ini di pasar tradisional sempat menyentuh angka Rp140 ribu per kilogram pada 24 Maret 2021. Kendati demikian, harga komoditas ini secara berkala menurun dan ditutup di harga Rp73.250 pada 31 Maret 2021.

Komoditas berikutnya yang menyumbangkan inflasi Maret 2021 adalah Bawang Merah sebesar 0,02%. Sementara daging ayam ras, bawang putih, ikan segar, ikan diawetkan, dan tarif asisten rumah tangga masing-masing berkontribusi 0,01% terhadap Inflasi Maret 2021.

Menurut riset CORE, proyeksi inflasi pada April 2021 mencapai 1,7% imtm. Sedangkan angka inflasi diperkirakan berada di angka 1,42% yoy.

Angka inflasi di April 2021, kata Yusuf, dapat jauh lebih dinamis ketimbang Maret. Dia meminta pemerintah untuk mengamankan stok bahan makanan strategis agar tidak terjadi rush di pasar.

“Pemerintah perlu menjaga harga pangan khususnya untuk komoditas strategis seperti cabai, bawang, hingga daging. Umumnya ketiga komoditas mempunyai kecenderungan meningkat harganya ketika ada momentum Ramadan,” pungkas Yusuf