<p>Ilustrasi mena</p>
Industri

Industri Telekomunikasi Ngos-Ngosan, Aksi Merger jadi Jalan Keharusan?

  • Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan bahwa sesungguhnya perkembangan industri telekomunikasi dalam satu dekade terakhir dalam kondisi tidak sehat dan memprihatinkan.
Industri
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – Emiten telekomunikasi PT Indosat Tbk (ISAT) resmi melakukan penggabungan usaha alias merger dengan PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) pada pertengahan September 2021. 

Di tengah penggabungan usaha itu, Indosat telah lebih dulu melakukan penjualan 4.247 menara senilai Rp10,28 triliun kepada PT EPID Menara AssetCo, anak usaha Edge Point, entitas yang sepenuhnya dimiliki oleh Digital Colony.

Bahkan, Indosat juga dikabarkan bakal menjual aset pusat data alias data center miliknya. Nilainya ditaksir mencapai US$150 juta – US$200 juta atau setara Rp2,14 triliun hingga Rp2,85 triliun (asumsi kurs Rp14.250 per dolar Amerika Serikat).

Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan bahwa sesungguhnya perkembangan industri telekomunikasi dalam satu dekade terakhir dalam kondisi tidak sehat dan memprihatinkan.

Berdasarkan laporan We are Social Hootsuite, pengguna ponsel di Indonesia telah mencapai 345,3 juta hingga Januari 2021. Namun, Heru melihat jumlah pengguna ponsel sejatinya sudah mencapai titik jenuh. 

Selain itu, banyak bisnis operator dalam kondisi berdarah-darah. Sehingga, menurutnya kondisi inilah yang membuat operator mau tidak mau melakukan konsolidasi. Belum lagi persoalan di era disrupsi dan pandemi yang turut memukul banyak bisnis dan perusahaan. 

“Selama ini memang tidak sehat sehingga transformasi harus dilakukan. Salah satunya adalah dengan konsolidasi. Pilihannya, konsolidasi untuk bertahan hidup dan kemudian maju bersama, atau mati,” kata Heru saat dihubungi, Selasa, 5 Oktober 2021.

Di samping itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komifo) mengemukakan analisisnya beberapa tahun lalu yang menyebutkan terlalu banyaknya “pemain” pada bisnis operator telekomunikasi. Padahal, kata Heru, idealnya jumlah provider telekomunikasi hanya sebanyak 3-4 operator saja.

“Sehingga, konsolidasi berupa penggabungan, adalah sebuah keniscayaan. Bahkan bukan keniscayaan, tapi keharusan,” tutur Heru.

Mengenai frekuensi hasil penggabungan operator, Heru melihat bahwa UU Cipta Kerja telah mengatur hal itu secara jelas. Di mana, memungkinkan frekuensi untuk digunakan secara bersama antar operator atau bahkan dialihkan dari satu operator ke operator lainnya. 

“Aturan pelaksanaannya pun sudah jelas ada dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021,” papar dia.

Dengan begitu, Heru yakin Menteri Kominfo akan menjalankan fungsinya sesuai dengan aturan tersebut dan tentunya akan membuat industri telekomunikasi di Tanah Air menjadi lebih sehat, serta mendorong operator telekomunikasi lain melakukan hal serupa.