<p>Peternakan ayam PT Widodo Makmur Unggas Tbk / Dok. Perseroan</p>
Pasar Modal

Industri Unggas RI Masih Diselimuti Awan Hitam

  • Industri unggas (poultry) tampaknya belum dapat keluar dari awan hitam yang menyelimuti, bahkan pascapandemi COVID-19 dan kondisi perekonomian dunia yang mulai menunjukkan perbaikan.
Pasar Modal
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – Industri unggas (poultry) tampaknya belum dapat keluar dari awan hitam yang menyelimuti, bahkan pascapandemi COVID-19 dan kondisi perekonomian dunia yang mulai menunjukkan perbaikan.

Analis Samuel Sekuritas Indonesia Muhammad Farras Farhan mengatakan, pelonggaran aktivitas publik pascapandemi sempat menjadi katalis positif bagi industri unggas yang kemudian dihantam oleh sentimen perang Rusia-Ukraina.

“Konflik itu menyebabkan lonjakan biaya bahan baku industri unggas, mengingat Ukraina adalah salah satu produsen gandum terbesar di dunia,” ujarnya saat dihubungi, Jumat, 16 Juni 2023.

Selain itu, kata dia, jebolnya bendungan Nova Kakhovka di selatan Ukraina, yang diperkirakan memusnahkan 4 juta ton panen biji-bijian Ukraina, dapat menjadi katalis negatif lain bagi pemain unggas, setidaknya dalam jangka pendek.

“Kurangnya pasokan dapat memicu kenaikan harga biji-bijian secara besar-besaran, yang akan semakin merugikan pemain unggas,” imbuhnya.

Farras menyayangkan dampak perang itu masih terus dirasakan oleh pemain unggas, terutama di Indonesia. Dua emiten unggas, PT Mailindo Feedmill Tbk (MAIN) dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) masih membukukan kerugian pada kuartal I-2023.

“Hanya PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) satu-satunya perusahaan unggas di dalam negeri yang berhasil membukukan laba bersih, meskipun anjlok 80 persen secara tahunan,” ungkapnya.

Konsumsi Ayam RI Rendah

Menurut data konsumsi ayam terbaru dari OECD, Malaysia masih menjadi konsumen ayam terbesar di Asia Tenggara dengan rata-rata konsumsi 45,95 kg per kapita tiap tahun, jauh lebih tinggi dari Indonesia yang mencatatkan rata-rata konsumsi 8,38 kg per kapita tiap tahun.

Jika dilihat lebih dekat, situasi industri perunggasan Indonesia saat ini seperti kebalikan dari Malaysia. Indonesia saat ini sedang mengalami kelebihan pasokan ayam, yang mendorong pemerintah mengeluarkan dua instruksi culling untuk menstabilkan harga. 

Sementara itu, Malaysia mengalami kelangkaan ayam yang memaksa pemerintah menerapkan plafon harga bagi peternak unggas. Padahal, kondisi iklim Indonesia mirip dengan Malaysia, dan rata-rata harga ayam di kedua negara relatif sama.

Farras menilai kondisi ini didukung oleh data bahwa pengeluaran terbesar masyarakat Indonesia diperuntukkan konsumsi rokok dengan rata-rata pengeluaran bulanan sebesar Rp82.000 per kapita atau 9% dari pendapatan bulanan rumah tangga. 

Sebaliknya, masyarakat Malaysia hanya menghabiskan sekitar 2,9% dari total pendapatan rumah tangga bulanan untuk rokok, dan pendapatan masyarakat Negeri Jiran kebanyakan dihabiskan untuk konsumsi makanan. 

“Melihat perilaku dan selera konsumen kita terhadap rokok, kami memperkirakan konsumsi ayam kita tidak akan menyamai Malaysia dalam waktu dekat,” pungkasnya.