Pedagang menata gulungan kain bahan di kiosnya pusat grosir tekstil Pasar Tanah Abang, Jakarta, Jum'at, 20 Mei 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Kolom

Infrastruktur, Investasi, dan Lapangan Kerja yang Kian Sempit

  •  Presiden Joko Widodo punya keyakinan pembangunan infrastruktur dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tak tanggung-tanggung, selama kepemimpinanny

Kolom

Andi Reza Rohadian

Presiden Joko Widodo punya keyakinan pembangunan infrastruktur dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tak tanggung-tanggung, selama kepemimpinannya negara telah menggelontorkan anggaran sebesar Rp3.813,8 triliun untuk pembangunan infrastruktur.

Fokus pembangunan infrastruktur Presiden RI ketujuh itu adalah meningkatkan aksesibilitas dan konektivitas di seluruh Indonesia. Itu tampak dari gencarnya pembangunan jalan tol,  selain jalur kereta api yang membuka akses ke daerah-daerah terpencil.

Jalan tol selama 10 tahun terakhir terwujud sepanjang 1.938 kilometer dan jalan non tol terbentang sejauh 4.574 kilometer. Kehadiran infrastruktur ini tidak hanya memperlancar mobilitas penduduk, tetapi juga bisa mengurangi biaya logistik, membuka peluang investasi baru, dan memperkuat konektivitas antar wilayah.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengklaim bahwa penyelesaian proyek-proyek infrastruktur ini telah memberikan dampak positif pada pertumbuhan ekonomi regional. Akses yang lebih baik ke pusat-pusat ekonomi meningkatkan daya saing daerah, mengundang investasi sektor swasta, dan menciptakan lapangan kerja baru.

Dari segi mengundang investasi, keberhasilan Jokowi sulit disangkal. Dari tahun ke tahun pemerintah sukses meningkatkan capaian penanaman modal. Jika tahun 2021 realisasi investasi mencapai Rp901 triliun, maka tahun lalu penanaman modal melesat menjadi Rp1.418,9 triliun. 

Menurut data Kementerian Investasi/BKPM realisasi investasi periode triwulan I (Januari-Maret) tahun 2024 sebesar Rp401,5 triliun atau meningkat 22,1% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pemerintah menyatakan realisasi investasi pada periode ini berhasil menciptakan lapangan kerja bagi 547.419 Tenaga Kerja Indonesia. 

Bansos untuk Kepentingan Sesaat

Sayangnya, menjelang berakhirnya masa jabatan sang presiden dua periode itu meruyak sejumlah kabar tak sedap yang mementahkan capaian di bidang infrastrutur dan investasi. Tak lain kabar itu adalah meningkatnya angka kemiskinan dan sulitnya anak-anak muda dari Generasi Z mendapatkan pekerjaan. 

Target Jokowi menurunkan angka kemiskinan sampai 7,5% di akhir masa jabatannya masih jauh panggang dari api. Menurut data Badan Pusat Statistik per Maret 2023 masih ada di angka 9,36% atau 25,9 juta orang dari total populasi. 

Untuk menekan angka kemiskinan pemerintah tampak sangat mengandalkan bantuan sosial (bansos). Angka bansos yang ada di kisaran Rp200.000-Rp600.000 jelas sangat jauh dari kebutuhan biaya hidup sesungguhnya. 

Bansos juga hanya dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat, yakni saat pemilihan presiden. Demi menggenjot perolehan suara calon dukungan petahana, pemerintah getol menggelontorkan bansos di hari-hari menjelang pencoblosan. 

Urusan mengejar pertumbuhan ekonomi yang berujung pada kesejahteraan masyarakat, pemerintah abai menangani peningkatan kualitas SDM. Tak heran jika saat ini angka pengangguran juga melonjak. Tanpa modal kemampuan menguasai teknologi dan meningkatkan kapasitas diri sangat sulit untuk bisa diserap pasar kerja.

PHK di Jalur Tol Trans Jawa

Alhasil meningkatnya infrastruktur dan pencapaian di bidang penanaman modal tak seiring dengan penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Setidaknya itu terungkap dari data Survei Angkatan Kerja Nasional tahun 2009, 2014, 2019 dan 2024. Dari tahun 2009 hingga 2014 lapangan kerja di sektor formal menyerap 15,6 juta orang. Di periode lima tahun berikutnya jumlah itu merosot menjadi 8,5 juta orang. Angka itu kembali turun pada periode 2019-2024 menjadi 2 juta orang saja. 

Belum lagi dengan data tingkat pengangguran terbuka Februari 2024 yang kian membuat miris. Menurut data itu pengagguran terbuka yang melibatkan lulusan SMK mencapai 8,62%. Ada pun lulusan diploma IV, S1, S2, S3 mencapai 5,63%. 

Menurunnya jumlah pekerja di sektor formal merupakan gambaran dari PHK yang dilakukan di beberapa tahun terakhir. Dari fakta itu pemerintah tak bisa tidak wajib mendorong investasi yang mempunyai kapasitas dalam menyerap angkatan kerja dalam jumlah yang besar. 

Jangan hanya pembangunan infrastruktur yang digenjot, target investasi dikerek tinggi, tapi regulasi yang dibuat tak sejalan dengan penciptaan lapangan kerja. Maraknya PHK di bidang TPT (tekstil dan produksi tekstil) di Jawa Tengah dan Jawa Barat ---yang  notabene berlokasi di sepanjang jalur tol Trans Jawa-- baru-baru ini menunjukkan betapa abainya pemerintah mengawal keberlanjutan sebuah industri yang mampu menyerap angkatan kerja dalam jumlah besar. 

Jangan sampai aksesibilitas dan konektivitas yang sudah susah payah dibangun menjadi sia-sia belaka.