Ilustrasi ekonomi hijau
Korporasi

Ingin Investasi Berkelanjutan dengan Mengacu Prinsip ESG? Hati-hati Greenwashing!

  • Greenwashing dari segi definisi adalah komunikasi yang sengaja menyesatkan, melebih-lebihkan tentang pencapaian keberlanjutan atau penghijauan dari suatu kegiatan, perusahaan, ataupun produk investasi.

Korporasi

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Sustainability Investment Director Schroders plc Anastasia Petraki mengatakan bahwa greenwashing perlu menjadi perhatian dalam berinvestasi yang berkelanjutan dengan mengacu pada pengutamaan prinsip lingkungan (environmental), sosial (social), dan tata kelola (governance) atau ESG.

Ia mengatakan, greenwashing adalah komunikasi yang sengaja menyesatkan, melebih-lebihkan tentang pencapaian keberlanjutan atau penghijauan dari suatu kegiatan, perusahaan, ataupun produk investasi.

Petraki pun mengungkapkan dua alasan mengapa greenwashing perlu menjadi perhatian para investor yang berminat untuk berinvestasi dengan mengacu prinsip ESG.

"Pertama, jika kita berbicara tentang greenwashing di tingkat aktivitas atau perusahaan, risikonya adalah kesalahan alokasi modal. Ini berarti bahwa uang yang dimaksudkan untuk tujuan berkelanjutan justru digunakan untuk kegiatan yang tidak benar-benar berkelanjutan," ungkap Petraki melalui podcast Schroders beberapa waktu lalu.

Jika  kesalahan alokasi modal itu terjadi, maka arus uang untuk kegiatan yang berkelanjutan pun akan terpangkas sehingga ekonomi tidak dapat berkembang maju dan bahkan dapat merusak kepercayaan investor akan investasi yang berkelanjutan.

"Kedua, jika kita berbicara tentang greenwashing pada tingkat produk investasi, risikonya adalah mis-selling. Artinya, orang membeli produk yang menjanjikan suatu nilai yang sebenarnya tidak ada," kata Petraki.

Hal itu pun menjadi penanda kegagalan dalam hal perlindungan konsumen. Secara tidak langsung, hal tersebut juga merampas pendanaan yang dibutuhkan kegiatan berkelanjutan.

Kendati demikian, Petraki tidak memungkiri bahwa greenwashing bisa terjadi tanpa disengaja oleh suatu entitas bisnis. Pasalnya, belum ada verifikasi yang benar-benar bisa memastikan data-data lapangan yang benar-benar akurat.

Contohnya, saat menghitung emisi dari produsen mobil. Sangat sulit untuk mengetahui data emisi yang akurat dari setiap mobil yang produsen perjualbelikan sehingga pada akhirnya yang bisa dibuat hanyalah berupa perkiraan yang belum tentu benar-benar mencerminkan fakta.

Maka dari itu, Petraki pun menegaskan bahwa solusinya adalah para penyelenggara usaha tidak boleh menghindar dari tanggung jawab untuk membuat laporan keberlanjutan.

"Regulator di seluruh dunia mencoba mengatasi masalah ini dengan melihat bagaimana meningkatkan kejelasan dan transparansi seputar investasi berkelanjutan," kata Petraki.

Beberapa negara sudah berupaya agar dampak keberlanjutan dari investasi masyarakat bisa benar-benar transparan sehingga dapat meminimalisasi kemungkinan greenwashing, dan ada tiga komponen paling umum yang menurut Petraki saat ini tengah diupayakan, yaitu:

1. taksonomi yang mengklasifikasikan kegiatan ekonomi mana yang bersandar pada prinsip keberlanjutan,

2. pemerintahan yang meminta pengungkapan tambahan untuk produk investasi yang memang memiliki fitur berkelanjutan, serta

3. pelaporan perusahaan untuk memastikan bahwa pasar mendapatkan data seputar eksposur risiko keberlanjutan dan bagaimana penanganannya.

"Regulator dan pembuat kebijakan menjadikan transparansi sebagai prioritas nomor satu untuk keuangan berkelanjutan karena seperti halnya investor, mereka melihat kurangnya pemahaman dan data yang sama sebagai penghalang potensial untuk pertumbuhan lebih lanjut di pasar," tutur Petraki.

Sementara itu, Equity Analyst Schroders Indonesia Aditya Sutandi mengungkapkan hal senada terkait pentingnya perhatian kepada potensi greenwashing.

Aditya pun menjelaskan, untuk meminimalisasi terjadinya greenwashing, aspek yang perlu lebih dicermati dalam laporan keberlanjutan suatu perusahaan adalah ikhtisar berkelanjutan yang berhubungan misalnya dengan jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan operasional, kesetaraan gender, upaya pencegahan korupsi, dan sebagainya.

Ketimbang aspek tanggung jawab sosial korporasi (corporate social responsibility), ikhtisar keberlanjutan adalah aspek yang lebih tepat untuk diberi penilaian dari teropong ESG.

Pasalnya, bisa saja ada perusahaan yang memang menjalankan program CSR setiap tahunnya dalam jumlah yang banyak, namun pada akhirnya tidak benar-benar memberikan dampak keberlanjutan baik dari program itu sendiri maupun dari aktivitas bisnisnya.

"Kalau kita hanya fokus ke CSR itu, dikhawatirkan bisa terjadi greenwashing," kata Adhitya dalam acara media gathering di kantor Schroders Indonesia, Rabu, 2 November 2022.