<p>Wisma BNI 46 menjadi simbol gedung-gedung pencakar langit di Jakarta / Shutterstock</p>
Nasional

Ingin keluar dari Jebakan Negara Berpenghasilan Rendah, Indonesia Incar Kanggotaan OECD

  • Proses aksesi ini didukung oleh dasar politik yang kuat melalui Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Selain itu, reformasi struktural melalui Undang-Undang Cipta Kerja juga menjadi fokus utama.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA -  Indonesia sedang dalam proses aksesi untuk bergabung dengan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Langkah ini diharapkan  agar dapat memperkuat posisinya dan daya tawarnya di kancah ekonomi global.  

Bergabungnya Indonesia di kelompok ini juga dianggap penting untuk  keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap .  Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim Indonesia telah memenuhi sebagian besar indikator yang disyaratkan oleh OECD, terutama dalam bidang lingkungan hidup dan pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Proses aksesi ini didukung oleh dasar politik yang kuat melalui Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Selain itu, reformasi struktural melalui Undang-Undang Cipta Kerja juga menjadi fokus utama. 

"Kita adalah salah satu negara yang ingin naik menuju negara berpenghasilan tinggi. Dan OECD adalah negara penghasilan tinggi. Oleh karena itu, dengan masuk aksesi OECD Indonesia adalah negara yang berproses untuk masuk OECD tercepat," terang Airlangga, di dalam acara Tatap Muka – Orasi Ilmiah BJ Habibie Memorial Lecture: Peran Iptek dan Inovasi menuju Indonesia Emas 2045 di Jakarta, dikutip 25 Juli 2024.

Undang-undang ini mencakup revisi terhadap sekitar 70 undang-undang yang bertujuan meningkatkan daya saing dan iklim investasi di Indonesia. Hasilnya, peringkat daya saing Indonesia menurut Institute for Management Development (IMD) meningkat dari posisi 34 ke 27.

Untuk memenuhi standar keanggotaan penuh OECD, Indonesia saat ini sedang menyusun ‘Initial Memorandum’ yang mencakup 26 sektor, termasuk keuangan, ekonomi, antikorupsi, persaingan sehat, kebijakan konsumen, ekonomi digital, dan kebijakan teknologi. 

Tim Nasional Percepatan OECD, yang melibatkan berbagai pihak terkait, aktif dalam menyelesaikan dokumen ini guna memastikan semua persyaratan keanggotaan dapat terpenuhi.

"Brasil untuk masuk OECD lima tahun, (Sedangkan) Indonesia enam bulan. Oleh karena itu kita juga akan dorong dalam tiga tahun bisa memenuhi seluruh persyaratan (agar menjadi anggota penuh)," papar Airlangga.

Target Pertumbuhan Ekonomi

Saat ini, Indonesia memiliki populasi sekitar 270 juta jiwa memiliki pendapatan per kapita sekitar US$5000 atau sekitar Rp81,35 juta (kurs Rp16.270). Namun Menteri Koordinator Bidang Perekonomain Airlangga Hartarto mengklaim  pada tahun 2045, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 320 juta dengan pendapatan per kapita antara US$26000 hingga US$30000 atau sekitar Rp423 juta atau sekitar Rp488 juta.

"Kalau kita lihat sekarang Indonesia ini pendapatan per kapitanya di akhir tahun ini sekitar US$5000," ungkap Airlangga.

Namun untuk mencapai tahap tersebut pemerintah Indonesia masih menghadapi tantangan signifikan guna mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen serta investasi rata-rata yang tumbuh mendekati 7 persen per tahun.

"Presiden terpilih bapak Prabowo Subianto berharap pertumbuhan kita bisa mencapai 8 persen di tahun ketiga, empat, atau lima. Kemudian ada juga tantangan untuk keluar dari middle income trap. Ini kita punya tantangan agar pertumbuhan kita  bisa dalam income 6-7 persen ke depan,"  terang Airlangga.

Pemerataan pendapatan tetap menjadi tantangan utama, terutama dalam upaya mengentaskan daerah-daerah dari middle-income trap. Dengan aksesi ke OECD dan reformasi struktural yang sedang dilakukan, Airlangga yakin Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan untuk mencapai target yang telah ditetapkan.