<p>Ilustrasi penipuan digital. Sumber gambar: Kaskus</p>
Nasional

Ini Alasan Mengapa Kasus Penipuan Keuangan di Indonesia Tinggi

  • JAKARTA – The Asian Banker dan GBG, perusahaan teknologi global dalam manajemen fraud dan compliance, verifikasi identitas, dan intelijen, menyebutkan tiga faktor utama penyebab tingginya fraud atau penipuan keuangan di Indonesia. Pertama, dipengaruhi oleh tingginya pengguna internet di Indonesia. Banyaknya masyarakat yang menggunakan media sosial menyebabkan akses data semakin mudah. Informasi yang tersebar di internet pun dengan mudah dikumpulkan […]

Nasional
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – The Asian Banker dan GBG, perusahaan teknologi global dalam manajemen fraud dan compliance, verifikasi identitas, dan intelijen, menyebutkan tiga faktor utama penyebab tingginya fraud atau penipuan keuangan di Indonesia.

Pertama, dipengaruhi oleh tingginya pengguna internet di Indonesia. Banyaknya masyarakat yang menggunakan media sosial menyebabkan akses data semakin mudah. Informasi yang tersebar di internet pun dengan mudah dikumpulkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Selain itu, masyarakat juga dinilai kurang memperhatikan kebijakan privasi sebelum menggunakan sebuah platform. Sering kali, aturan-aturan tersebut dilewatkan dan disepelakan.

“Orang-orang sangat mudah mengeklik untuk menyetujui,” kata Managing Director GBG June Lee dalam konferensi daring, Rabu, 30 September 2020.

Kemudian, investasi terhadap keamanan teknologi oleh perusahaan keuangan di Indonesia juga masih rendah. Akhirnya, penjaringan potensi dan risiko kejahatan internet tidak berjalan maksimal.

June menambahkan, sebelum menjalankan layanannya, industri keuangan harus memastikan sistem keamanan kepada pihak regulator. Selain sebagai jaminan, langkah tersebut juga memungkinkan bagi otoritas terkait untuk memberikan masukan dan evaluasi.

Potensi fraud meningkat 68%

Diketahui, tingkat fraud atau kejahatan penipuan di Indonesia, khususnya di sektor keuangan dan perbankan dinilai tidak menunjukkan adanya penurunan. Bahkan, kasus ini diprediksi bakal meningkat hingga 68% pada 2021.

Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya penggunaan internet di tengah situasi pandemi COVID-19. Di samping itu, adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) semakin mendorong masyarakat untuk melakukan transaksi secara digital, tak terkecuali dalam mengakses layanan keuangan.

June menyebut, pinjaman online atau pinjol menjadi salah satu layanan keuangan yang paling banyak diakses. Di sisi lain, 43% industri keuangan di Indonesia saat ini memang tengah melirik potensi besar dari financial technology (fintech). Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan lima negara lainnya, yakni Vietnam 38%, Thailand 33%, Malaysia 28%, China 25%, dan Australia 19%.

Selain fintech, hasil penelitian juga menyebutkan potensi keuangan digital lainnya, yakni dompet seluler 42%, aplikasi perbankan seluler 37%, pembayaran tagihan 35%, aplikasi kartu kredit instan 35%, e-banking 33%, pembayaran instan 25%, transfer dana 25%, aplikasi rekening bank instan 25%, sms banking 25%, invoice payment 23%, cryptocurrency 23%, dan persetujuan elektronik 20%.

Untuk meminimalisasi risiko tersebut, June mengimbau beberapa hal, yakni masyarakat wajib mengetahui detail tujuan penggunaan data dan informasi. Selain itu, pengguna juga harus meningkatkan literasi digital mengenai berbagai jenis kejahatan digital, mulai jenis hingga perbedaan setiap penipuan.

Ketiga, pemerintah perlu membuat kebijakan baru untuk lebih melindungi keamanan nasabah dan industri keuangan.

“Semakin cepat regulasi dibuat seiring dengan peningkatan edukasi, akan semakin baik menanggulangi potensi terjadinya fraud. Sebab, para pelaku juga semakin canggih memanfaatkan celah untuk melangsungkan aksinya,” tutur June.