<p>Ilustrasi Omnibus Law/ Istimewa</p>
Industri

Inilah 6 Hal Penting dalam Omnibus Law Perpajakan

  • JAKARTA – Dalam mengoptimalkan penerimaan negara pada tahun 2020, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan menerapkan Omnibus Law Perpajakan. Omnibus Law Perpajakan memiliki 6 pilar. Pertama, Untuk meningkatkan pendanaan investasi pemerintah akan menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) yang penurunannya dilakukan secara bertahap. Mulai dari 22% di tahun 2021 dan 2022, kemudian untuk tahun 2023 sampai seterusnya menjadi […]

Industri
wahyudatun nisa

wahyudatun nisa

Author

JAKARTA – Dalam mengoptimalkan penerimaan negara pada tahun 2020, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan menerapkan Omnibus Law Perpajakan.

Omnibus Law Perpajakan memiliki 6 pilar. Pertama, Untuk meningkatkan pendanaan investasi pemerintah akan menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) yang penurunannya dilakukan secara bertahap. Mulai dari 22% di tahun 2021 dan 2022, kemudian untuk tahun 2023 sampai seterusnya menjadi 20%.

Tarif PPh Badan Wajib Pajak Go Publik juga akan dikurangi sebesar 3% dari tarif umum. Selanjutnya, PPh akan dihapus dari dividen dalam negeri dan tarif PPh Pasal 26 atas bunga akan disesuaikan berdasarkan penghasilan wajib pajak luar negeri.

Direktur Jendral Pajak (Dirjen Pajak) Suryo Utomo menyatakan, nantinya pajak yang telah dibayarkan akan dikembalikan kepada dunia usaha untuk dapat menggerakkan ekonomi.

Sementara dari sisi penerimaan pajak, penurunan tarif ini akan berimbas terhadap menurunnya penerimaan hingga Rp 80 triliun. Akan tetapi hal itu dapat dimitigasi dengan perluasan basis pajak dari ekstensifikasi dan intensifikasi pajak.

Pilar kedua, sistem teritori untuk penghasilan luar negeri. Pemerintah telah merencanakan penghasilan tertentu termasuk dividen dari luar negeri tidak dikenakan PPh selama masih diinvestasikan di Indonesia. Kemudian penghasilan Warga Negara Asing (WNA) yang Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) hanya dikenakan PPh atas penghasilannya di Indonesia.

Selanjutnya pilar ketiga, penentuan Subjek Pajak Orang Pribadi yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal kurang dari 183 hari di Indonesia atau lebih dari 183 hari di luar negeri dapat menjadi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Sedangkan WNA yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari, maka dia menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN).

Keempat, mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela. pemerintah akan merelaksasi hak pengkreditan pajak masukan bagi Penguasaha Kena Pajak (PKP) serta akan mengubah sanksi administrasi dari pajak, pabean, dan cukai serta imbalan bunga.

“Kalau denda penalti 10 kali lipat, kalau bendanya salah (benda kena pabean), itu akan langsung mematikan industri itu sendiri,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai Heru Pambudi.

Kelima, menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri. DJP akan memberi pajak transaksi elektronik dengan menunjuk plaform untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selanjutnya, pajak akan dikenakan terhhadap SPLN atas transaksi berbasis elektronik tersebut.

Pilar Keenam, pengaturan fasilitas dalam UU Perpajakan, pemerintah akan memberikan tax holiday, super deduction, fasilitas PPh untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), PPh untuk Surat Berharga Negara (SBN) , dan keringanan/pembebasan Pajak Daerah oleh Kepala Daerah.

Target Penerimaan

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penerimaan pajak di tahun 2019 sebesar Rp1.332,1 triliun atau setara dengan 84,4% dari target semula, yakni sebesar Rp1.577,56 triliun.

Pada APBN tahun 2020, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp1.642,6 triliun. Artinya, pertumbuhan penerimaan pajak di tahun ini sebesar 4,12% dari target APBN tahun sebelumnya.

Maka dari itu pemerintah perlu usaha yang lebih keras lagi untuk mencapai targetnya dengan pertumbuhan yang lebih tinggi ini.

Pemerintah akan berupaya untuk mencari titik keseimbangan antara peningkatan investasi dan peningkatan penerimaan dari pajak.

“Tarif pajak yang dianggap mengganggu investasi misalnya satu daerah mengenakan pajak penggunaan air tanah. Dari cara menghitung basisnya jadi mirip royalti. Padahal perusahan tersebut sudah membayar royalti. Kita akan melihat lagi evaluasinya seperti apa. Kita akan melihat Perda yang sudah ada. Tidak hanya tarif, tapi basis dan cara pengenaan.” tandas Dirjen Perimbangan Keuangan (Dirjen PK) Prima Astera.