Mahasiswa dan aktivis Greenpeace bersama Gregorius Yame dari Masyarakat Asli Papua Suku Awyu (kiri) bersolidaritas saat menghadiri sidang kasus pencabutan izin kawasan hutan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta belum lama ini.
Hukum Bisnis

Inpres Jokowi Tak Mempan, Pengusaha Tetap Gunduli Hutan Suku Awyu dan Moi Papua

  • Izin-izin yang terbit sebelum moratorium masih memungkinkan untuk dilaksanakannya aktivitas deforestasi, yang pada gilirannya berdampak negatif pada ekosistem hutan dan keberlanjutan lingkungan.
Hukum Bisnis
Muhammad Imam Hatami

Muhammad Imam Hatami

Author

MERAUKE - Kontroversi yang melingkupi proyek perkebunan kelapa sawit di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua semakin memanas dengan demonstrasi yang digelar oleh Suku Awyu dan Moi di depan Mahkamah Agung pada 27 Mei 2024. 

Demonstrasi ini merupakan bagian dari upaya mereka untuk meminta pembatalan izin yang diberikan kepada PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) untuk mengelola perkebunan sawit di wilayah tanah adat mereka.

"Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini," terang Hendrikus, salah satu perserta demo, dilansir dari laman Greenpeace, Senin 3 Juni 2024.

Proyek yang dijalankan oleh PT IAL ini telah menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan masyarakat adat Papua. Mereka mengklaim bahwa tanah yang diberikan izin kepada PT IAL merupakan hutan adat mereka, yang merupakan sumber kehidupan dan identitas budaya mereka.

Suku Awyu dan Moi khawatir aktivitas perkebunan sawit akan merusak hutan dan lingkungan mereka, yang selama ini menjadi tempat tinggal dan sumber penghidupan.

Suku Awyu dan Moi telah mengupayakan berbagai cara untuk melawan izin proyek perkebunan sawit ini. 

Mulai dari pengajuan gugatan sengketa ke Komisi Informasi Publik hingga gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.

Keluarnya Inpres Tidak Mempan Lawan Perusahaan

Menurut laporan Gecko Project Investigations Limited, organisasi nirlaba asal Inggris yang  fokus pada investigasi dan pelaporan mendalam tentang berbagai isu, Inpres No. 8 Tahun 2018 yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo untuk mengatasi deforestasi cenderung tidak mempan.

Penghancuran hutan masih terjadi di beberapa kawasan, termasuk di Proyek Tanah Merah di Boven Digoel, Papua, meskipun moratorium terhadap izin baru untuk perkebunan sawit telah diberlakukan.

Tidak mempannya Inprrs tersebut disebabkan oleh izin konsesi perkebunan sawit yang telah diterbitkan sebelum moratorium. 

Izin-izin yang terbit sebelum moratorium masih memungkinkan untuk dilaksanakannya aktivitas deforestasi, yang pada gilirannya berdampak negatif pada ekosistem hutan dan keberlanjutan lingkungan.

Siapa Pemilik PT IAL?

PT IAL dipimpin oleh Muh. Yabub Abbas selaku Direktur. Namun, ada indikasi bahwa perusahaan ini dimiliki oleh dua perusahaan asal Malaysia, yaitu Mandala Resources dan The Pahang Plantation Company Limited. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kontrol lokal terhadap proyek tersebut.

Pemerintah Provinsi Papua memberikan Persetujuan Teknis Pemenuhan Baku Mutu Emisi Udara kepada PT IAL atas surat dari Direktur PT. Indo Asiana Lestari Nomor 22/AL-MKS/X/2021, yang diterbitkan pada tanggal 22 November 2021, mengenai Permohonan Persetujuan Teknis (Pertek) Emisi.

Spekulasi mengenai kepemilikan PT IAL memunculkan kekhawatiran eksploitasi sumber daya papua oleh perusahaan asing.