Hyundai KONA  Electric pada pameran Otomotif Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2021 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Serpong, Tangerang. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Industri

Insentif Meluncur, Gaikindo Sebut Target Produksi 1 Juta Mobil Listrik pada 2035 Tetap Berat

  • Gaikindo memaparkan sejumlah tantangan untuk mengembangkan mobil listrik.
Industri
Laila Ramdhini

Laila Ramdhini

Author

JAKARTA -  Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai target produksi 1 juta mobil listrik (electric vehicle/EV) pada 2035 akan cukup menantang dicapai, meskipun pemerintah telah mengumumkan soal insentif pembelian kendaraan listrik.

Sekretaris Jenderal Gaikindo Kukuh Kumara mengaku masih menunggu rincian insentif yang akan diberikan pemerintah.

"Insentif ini masih kita tunggu apakah cukup efektif apalagi untuk mencapai produksi 1 juta unit mobil listrik pada 2035. Terus terang ini sesuatu yang baru dan kalau kita lihat insentifnya juga kita belum tahu besarannya," katanya, dalam acara media gathering, Rabu, 8 Maret 2023.

Kukuh menuturkan mobil listrik juga kebanyakan merupakan pasar kelas menengah ke atas dan bukan pembeli pertama.

Ia pun menyinggung kendaraan hemat bahan bakar dan harga terjangkau (KB2H) atau low cost and green car (LCGC). Menurutnya, dengan harga di kisaran Rp150an juta, mobil LCGC saat ini telah memegang pangsa pasar hingga 23 persen dengan total produksi sekitar 200 ribu unit.

"Kalau 1 juta unit (target produksinya) ini cukup berat ya, tapi kita lihat perkembangannya seperti apa," imbuhnya.

Ekosistem Mobil Listrik

Di sisi lain, Kukuh menilai pengembangan ekosistem mobil listrik di Indonesia sebaiknya dilakukan secara bertahap. Pasalnya, pengembangan kendaraan listrik bukan hanya bergantung pada insentif pembelian, tetapi juga dukungan infrastrukturnya.

Kukuh menyebut minat konsumen China yang pemerintahnya memberikan insentif sebesar US$15.000 untuk pembelian kendaraan bermotor saja bisa langsung anjlok saat insentifnya dikurangi pemerintah.

"Padahal di China infrastrukturnya luar biasa. Ada 20-30 jalan tol di setiap 50 kilometer, ada charging station. Itu pun masih berat," katanya.

Begitu pula kesiapan infrastruktur pengisian baterai yang perlu diperhatikan secara seksama. Ia tidak ingin kekacauan antrean kendaraan listrik seperti yang terjadi di Australia pada tahun baru lalu.

Kukuh memaparkan Australia memiliki pasar yang hampir sama dengan Indonesia. Dari produksi 1,3 juta unit kendaraan setahun, EV hanya mencapai 20.000 unit. 

"Tahun baru kemarin bahkan katanya ada chaos karena mereka yang punya EV mau tahun baruan, baterai habis mau charging tapi antre semua karena kan mengisinya tidak seperti antre bahan bakar 5 menit selesai," katanya.

Kukuh juga khawatir pengumuman pemerintah soal pemberian bantuan insentif pembelian kendaraan listrik akan mengganggu penjualan. Hal itu menurutnya pernah terjadi saat ada isu insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) yang diberikan pada tahun 2021 lalu.

"Kejadiannya sama dengan waktu dulu ada isu relaksasi PPnBM DTP pada 2020 mau dikeluarkan. Drop (anjlok penjualan) dari Agustus sampai September 2020, ternyata tidak keluar. Makanya saya tidak mau komentar takut mengganggu penjualan. Kita tunggu insentifnya," tutur Kukuh.