Insentif Properti dan Otomotif (Serial 3): Jauh Panggang dari Api
Pemerintah memberikan banyak stimulus untuk masyarakat kelas menengah dan atas terutama pada pembelian rumah dan mobil. Simak liputan khusus dalam serial “Insentif Properti dan Otomotif”
Industri
JAKARTA – Sudah satu tahun lebih pandemi melanda, dan tampaknya belum menunjukkan akan berakhir. Kita semua tahu, virus yang menyerang kesehatan ini juga melumpuhkan perekonomian dunia. Tak terkecuali Indonesia
Sepanjang 2020, pertumbuhan ekonomi hampir seluruh negara mengalami pelemahan hingga resesi. Bahkan, Indonesia pun harus legawa mencatat angka minus 2,19% untuk Produk Domestik Bruto (PDB) sepanjang 2020.
Gelontoran stimulus yang disiapkan sejak tahun lalu, beberapa di antaranya dilanjutkan kembali. Untuk mendongkrak daya beli masyarakat agar tak semakin loyo, sejumlah insentif baru pun diluncurkan tahun ini.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- Tandingi Telkomsel dan Indosat, Smartfren Segera Luncurkan Jaringan 5G
- Bangga! 4,8 Ton Produk Tempe Olahan UKM Indonesia Dinikmati Masyarakat Jepang
Relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 0% menjadi salah satu kebijakan yang didorong untuk mendongkrak produktivitas dan penjualan sektor otomotif akibat pandemi.
Selama sembilan bulan yang dimulai sejak 1 Maret 2021, masyarakat yang membeli mobil akan mendapat insentif tersebut. Namun, perlu diketahui jenis mobil yang disuntik PPnBM berlaku untuk mobil sedan 4×2 kurang dari 1.500 cc.
Adapun insentif fiskal ini diberikan dalam tiga tahapan. Periode pertama yang berakhir Juni 2021, diskon PPnBM yang diberikan sebesar 100% alias dibebaskan.
Periode kedua, insentifnya berupa potongan PPnBM sebesar 50% yang diberikan mulai 2 Juni sampai 1 September 2021. Terkahir, diskon PPnBM sebesar 30% diberikan mulai 2 September hingga 1 Desember 2021.
Menteri Perekonomian (Menko) Airlangga sebelumnya menyebut, PPnBM mobil ini dapat mendorong dunia usaha. Menurutnya, relaksasi ini sekaligus akan meningkatkan produksi mobil hingga 81.752 unit.
“Industri otomotif merupakan salah satu sektor manufaktur yang terkena dampak pandemi COVID-19 paling besar. Jadi, insentif ini untuk meningkatkan pembelian dan produksi kendaraan bermotor,” ungkapnya di Jakarta, pekan lalu.
Pelaku Industri Girang
Para pelaku usaha di sektor industri pun girang menyambut kebijakan ini. Dengan adanya PPnBM, pengusaha industri mobil mengaku mengalami peningkatan jumlah permintaan.
Vice President Toyota Astra Motor Henry Tanoto mengatakan, kebijakan ini membuat para pelaku industri sangat percaya diri untuk menaikkan penjualan dari model kendaraan yang mendapatkan insentif.
Menurutnya, setelah diumumkannya kebijakan relaksasi PPnBM oleh pemerintah, pihaknya melihat respons positif dari masyarakat. Jumlah permintaan jenis mobil yang mendapat insentif pajak itu pun melonjak.
“Tentunya kami akan mendukung dan berupaya berkontribusi terhadap target pemerintah untuk peningkatan penjualan hingga 82.000 unit,” mengutip keterangan tertulis, Selasa, 9 Maret 2021.
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
- Pemberdayaan Perempuan di Perusahaan Jepang Masih Alami Krisis Pada Tahun 2021
Senada, Bussiness Innovation and Sales & Marketing Director PT Honda Prospect Motor Yusak Billy juga menilai, dampak diumumkannya kebijakan PPnBM untuk kendaraan langsung dirasakan pelaku industri.
Pada Maret 2021, misalnya, terjadi peningkatan permintaan hingga 50% dibandingkan dengan periode yang sama bulan lalu. Honda sendiri menargetkan mampu mempertahankan market share sebesar 14%.
Yusak bilang, pihaknya sangat mengapresiasi kebijakan seperti ini karena bisa memajukan perekonomian melalui industri otomotif. Tak hanya itu, baginya hal ini juga menjadi tantangan bagi industri untuk mampu memenuhi permintaan konsumen yang meningkat.
“Jadi kami terus memonitor supaya suplai produk kendaraan bisa mengikuti permintaan,” katanya.
Jamu Tak Manjur
Akan tetapi, di sisi lain Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyebut, kondisi saat ini bukan momentum ideal memiliki mobil baru.
Menurutnya, pendapatan masyarakat selama pandemi mengalami penurunan tajam. Pasalnya, mayoritas orang yang masih bisa bekerja saja dianggap sudah untung. Sebab, banyak pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan. Imbasnya, konsumsi rumah tangga sepanjang 2020 pun melorot tajam hingga minus 2,63%.
“Upaya pemerintah untuk mendorong masyarakat beli mobil cukup kontradiktif dengan penanganan pandemi. Buat apa ada PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) mikro yang tujuannya mengendalikan pandemi, kalau masyarakat justru didorong jalan-jalan pakai mobil baru?” ungkapnya kepada TrenAsia.com.
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- Cegah Ledakan Kasus COVID-19, Pemerintah Geser dan Hapus Hari Libur Nasional Ini
- Penyaluran KPR FLPP: BTN Terbesar, Tiga Bank Daerah Terbaik
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 2020 porsi konsumsi masyarakat paling besar, yakni 49% untuk pangan, sisanya 50,7% untuk nonpangan.
Apabila dilihat lebih detail dari segi nonpangan, sebanyak 49,6% untuk perumahan dan barang kebutuhan rumah, seperti furnitur. Adapun porsi pengeluaran untuk kendaraan bermotor yang masuk dalam kelompok durable goods, hanya 9,77% dari total pengeluaran nonpangan.
Artinya, kata Bhima, yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini utamanya menjangkau pangan dan perumahan. Ini menjadi kebutuhan primer utama jika pemerintah ingin memompa daya beli. Sebaliknya, insentif kendaraan bermotor dianggap hanya berdampak lebih kecil terhadap total pengeluaran masyarakat.
“Pemerintah juga berargumen insentif ini diluncurkan karena sektor otomotif menyerap 1,5 juta orang. Lalu, bagaimana perhatian terhadap sektor terbesar yang harusnya jadi prioritas, yakni pertanian? Serapan tenaga kerja di sektor pertanian mencapai 29,7 persen dari total lapangan kerja alias 38 juta orang,” tuturnya.
Dengan demikian, dalam situasi pandemi sektor pertanian masih bisa menyerap lapangan kerja baru. Namun, sayangnya anggaran subsidi pupuk hanya dialokasikan Rp24,5 triliun di Anggaran Pendapan dan Belanja Negara (APBN) tahun lalu.
Menurut Bhima, insentif ini tidak adil. Jika perhitungannya menyasar pada jumlah tenaga kerja, maka disarankan agar fokus kebijakan ditujukan ke sektor pertanian atau pangan, ketimbang sektor industri otomotif.
Tidak Tepat Sasaran
Ekonom Indef lainnya, Tauhid Ahmad juga menilai kebijakan ini belum tepat sasaran bagi perekonomian. Sebab, sektor otomotif sendiri memiliki cakupan yang luas.
Menurutnya, untuk membantu perekonomian secara umum, kelompok yang didongkrak di sektor otomotif seharusnya justru menengah ke bawah. Kelompok inilah yang memiliki posisi paling dominan atas kepemilikan kendaraan roda dua.
“Kendaraan roda dua jelas menggambarkan perekonomian secara umum,” katanya saat dihubungi terpisah.
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Nvidia Tanam Uang Rp1,4 Triliun Demi Bangun Superkomputer
- Facebook Lakukan Pengujian, Oculus VR Bakal Tak Lagi Bebas Iklan
Dalam ilustrasi perekonomian secara global, lanjutnya, dilihat bukan dari kendaraan roda empat, melainkan roda dua. Jadi, Tauhid bilang insentif ini tidak cukup dengan hanya memberikan subsidi PPnBM sebesar 0%.
Perlu ada tambahan insentif lain, misalnya pembebasan untuk pajak daerah ataupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam hal ini, kita ketahui kalau motor tidak dipungut PPnBM karena tidak termasuk dalam kelompok barang mewah.
Di sisi lain, Tauhid menjelaskan, distribusi sektor angkutan terutama kendaraan umum di luar motor, kontribusinya dalam PDB kurang lebih 0,65%. PPnBM sendiri separuhnya berasal dari total populasi kendaraan, maka kemungkinan yang terdongkrak hanya 0,3%.
“Misalnya penjualannya bisa naik hingga dua kali lipat pun, tidak akan meningkatkan secara drastis terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tambahnya.
Untuk melihat efektivitas dari kebijakan ini, indikator yang dapat dilihat nantinya dari sisi inflasi. Apabila inflasinya naik drastis di atas 2,5%, Tauhid menjelaskan ekonomi bisa dikatakan bergerak.
Namun, jika angka inflasi masih di bawah 2%, itu menandakan daya beli masih rendah sehingga hasil kebijakan ini belum terlihat.
Kemudian, Tauhid juga mengatakan bahwa PPnBM berpotensi membuat negara kehilangan penghasilan lewat pajak. Nominal yang ditaksir kurang lebih Rp2,8 triliun. Meskipun pajak ini masih terkover dari PPN usaha, tapi nilainya tidak sebesar PPnBM.
“Dari sisi keuangan negara, masih banyak loss-nya. Soalnya ketika ada relaksasi pajak, otomatis penerimaan negara akan turun,” ujarnya.
Pada tahun lalu, misalnya, jumlah produksi kendaraan roda dua penurunannya hampir 50%. Produksi normal sebesar 400.000 unit per bulan, menjadi separuhnya. Begitu pun dengan kendaraan roda empat yang turun kurang lebih 30%.
Oleh karena itu, relaksasi ini dinilai lebih tepat diberikan kepada pengguna roda dua karena volumenya besar. Ini akan membuat multiplier cenderung lebih banyak. Adapun kontribusi sektor otomotif sendiri secara nasional, selama ini tercatat kurang lebih 1,35%.
“Sumbangannya tidak lebih besar ketimbang sektor lain, seperti makanan dan minuman, komunikasi, serta yang lainnya,” ungkapnya. (SKO)
Artikel ini merupakan serial laporan khusus investigasi yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul “Insentif Properti dan Otomotif.”