Investasi Energi Fosil Bakal Disetop? Arcandra Tahar Ungkap Dampaknya
Kampanye anti investasi di energi fosil semakin kuat disuarakan oleh berbagai pihak.
Industri
JAKARTA – Batu bara masih diandalkan sebagai sumber dominan pembangkit listrik di kawasan Asia.
Di Indonesia, lebih dari separuh sumber listrik berasal dari pembangkit yang berbahan komoditas tersebut. Begitu pun di China, penyumbang CO2 ini juga masih menjadi sumber utama dengan persentase penggunaan sebesar 60% untuk pembangkit listrik.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019 Arcandra Tahar menyebut, ketergantungan terhadap batu bara bisa dikurangi dengan cara mengubah Pembangkit listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi Tenaga Gas (PLTG).
Menurutnya, sebagai bagian dari energi fosil, gas bumi jauh lebih bersih dibandingkan dengan batu bara dan minyak bumi.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Selain itu, PLTG bisa difungsikan sebagai base load, seperti PLTU yang tidak bisa digantikan oleh energi terbarukan, yakni angin dan matahari tanpa bantuan baterai.
“Jadi, penggantian PLTU ke PLTG adalah sebuah keniscayaan dalam masa transisi dari energi fosil ke energi terbarukan,” mengutip akun resmi Instagram @arcandra.tahar, Kamis, 10 Juni 2021.
Rencana Stop Investasi Migas
Seperti diketahui, akhir-akhir ini kampanye anti investasi di energi fosil semakin kuat disuarakan oleh berbagai pihak. Tidak hanya lembaga keuangan, seperti European Investment Bank (EIB), Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan International Energy Agency (IEA) juga ikut bersuara untuk berhenti berinvestasi di bidang hidrokarbon.
Adapun salah satu tujuan dari kampanye ini tak lain untuk mempercepat terwujudnya Net Zero Emission (NZE) pada 2050. Diharapkan, kenaikan suhu bumi di bawah dua derajat celsius pada akhir abad ini bisa tercapai.
Di sisi lain, investasi hulu migas merupakan investasi jangka panjang yang dimulai lewat kegiatan ekplorasi.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- Tandingi Telkomsel dan Indosat, Smartfren Segera Luncurkan Jaringan 5G
- Bangga! 4,8 Ton Produk Tempe Olahan UKM Indonesia Dinikmati Masyarakat Jepang
Arcandra mengungkapkan, kegiatan tersebut tidak hanya untuk gas bumi saja. Maka, menghentikan investasi di hulu migas artinya juga menghentikan usaha untuk mendapatkan gas bumi yang lebih kompetitif.
Padahal, ia bilang, gas bumi tidak bisa sampai ke pengguna akhir tanpa infrastruktur seperti pipa, Liquefied Natural Gas (LNG) plant, kapal LNG, LNG storage dan regasification unit.
“Dampak yang ditimbulkan oleh tekanan tidak berinvestasi di migas, bisa berakibat pada ketersedian gas bumi. Apabila berkurang, infrastruktur gas juga tidak terbangun dan harga gas menjadi mahal,” tuturnya.
Terlebih, jika persyaratan untuk Carbon Capture Storage (CCS) gas CO2 yang ikut diproduksi diterapkan, maka harga gas akan akan mengalami kenaikan. Dampaknya, PLTU tetap menjadi pilihan untuk dioperasikan karena harga gas yang tidak terjangkau.
Strategi Peralihan ke EBT
Lantas, bagaimana rencana penggunaan gas pada masa transisi, dari energi fosil ke energi terbarukan?
Sebelumnya, Arcandra mengungkapkan penggunaan hidrogen (H2) dapat menjadi salah satu teknologi sumber energi terbarukan (EBT).
Menurutnya, selama ini hidrogen kerap digunakan pada industri petrochemical, refinery, solar panel dan industri kaca.
“Hidrogen juga digunakan sebagai alternatif sumber energi atau fuel cells untuk kendaraan listrik,” katanya.
Meskipun demikian, apakah ia termasuk dalam energi yang ramah lingkungan? Arcandra pun menjelaskan beberapa aspek terkait hidrogen. Pertama, diketahui sebagian besar atau 99% dari hidrogen yang diproduksi sekarang ini, berasal dari hydrocarbons.
“Terdapat 71 persen dari hasil pengolahan natural gas menjadi CO2 dan H2,” jelasnya.
Adapun hidrogen yang berasal dari gas alam tersebut bernama Grey Hydrogen. Sedangkan sisanya, diproduksi melalui olahan batu bara lewat teknologi gasifikasi. Proses ini disebut dengan Brown Hydrogen.
Arcandra menambahkan, ada pula sebagian kecil hidrogen yang diproduksi dari natural gas dan dikombinasikan dengan penginjeksian CO2. Hidrogen dengan proses ini dinamakan dengan Blue Hydrogen.
Maka, jika 99% dari hidrogen yang diproduksi saat ini berasal dari hidrokarbon dan ditambah dengan CO2 yang dihasilkan, Green Hydrogen menjadi pilihan teknologi yang ramah lingkungan.
Green hydrogen, terangnya, berasal dari pengolahan air lewat proses elektrolisis dengan menggunakan listrik EBT. Proses ini akan menghasilkan hidrogen yang murni dan zero carbon.
Tantangan Hidrokarbon
Meskipun demikian, teknologi ini masih memiliki sejumlah tantangan dari sisi biaya produksi yang sangat bergantung pada biaya listrik dan utilisasi dari plant yang dibangun.
Data dari Wood Mackenzie menunjukkan, Green Hydrogen bisa bersaing dengan Grey, Brown, dan Blue Hydrogen apabila biaya listriknya dibawah US$0.03/kWh. Selain itu, plant utilization rate juga mesti di atas 50%.
“Dua hal ini menjadi syarat yang berat untuk dipenuhi saat ini,” ungkap Arcandra. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk membuat tekonologi elektrolisis menjadi lebih efisien.
Selain itu, bisa dilakukan dengan menambah penetrasi EBT agar biaya listrik lebih murah. Terakhir, menaikkan carbon pricing bagi industri yang masih menggunakan sumber energi yang menghasilkan karbon.
Tak heran, untuk mengendalikan efek negatif perubahan iklim di dunia, banyak negara yang mencanangkan net-zero gas emission pada 2050.
“Jadi, untuk mencapai tujuan tersebut, banyak hal harus dilakukan, misalnya membuat kebijakan yang ramah lingkungan. Selain itu, mendorong investasi yang berbasis kepada energi terbarukan dan mengembangkan teknologi yang mampu menggantikan sumber energi fosil,” tuturnya. (LRD)