<p>Suasana pelayanan nasabah disalah satu kantor cabang milik Bank Permata, di Jakarta. Foto; Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Ekonomi, Fintech & UMKM

Investor Asing Ramai-ramai Akuisisi Bank di Indonesia

  • JAKARTA – Saat-saat pandemi COVID-19 dan berapa waktu terakhir, tren akuisisi saham perbankan kecil hingga kakap Indonesia oleh investor asing kian marak. Peneliti Bidang Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menyebut ada dua dampak dari tren akuisisi bank di Tanah Air oleh investor asing. “Jadi, akuisisi perbankan […]

Ekonomi, Fintech & UMKM
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Saat-saat pandemi COVID-19 dan berapa waktu terakhir, tren akuisisi saham perbankan kecil hingga kakap Indonesia oleh investor asing kian marak.

Peneliti Bidang Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menyebut ada dua dampak dari tren akuisisi bank di Tanah Air oleh investor asing.

“Jadi, akuisisi perbankan oleh (investor) asing bisa dilihat dari dua sisi, yakni sisi positif dan negatif,” kata Abdul saat berbincang dengan reporter TrenAsia.com, Selasa, 23 Juni 2020.

Dari sisi positif, ujarnya, tindakan akuisisi tersebut dapat menutup gap ketersediaan dana di dalam negeri. Menurutnya, dana di dalam negeri sangat terbatas, terlebih saat kondisi ekonomi sedang sulit seperti sekarang.

“Kalau pun ada investor domestik yang ingin membeli, kondisi saat ini dinilai masih sulit, apalagi bagi pemerintah,” ujarnya.

Atasi Persoalan Perbankan

Oleh karena itu, lanjut Abdul, pada saat investor asing masuk, setidaknya persoalan yang dialami oleh perbankan bisa diatasi. Hal ini penting agar permasalahan tidak berlanjut dan menimbulkan risiko sistemik terhadap bank-bank lain.

“Akuisisi tersebut dapat mengamankan bank dari krisis-krisis sitemik. Tidak bisa dimungkiri, satu bank dengan bank lainnya pasti memiliki keterkaitan aset, misalnya dari sisi liabilitas,” jelas Abdul.

Sebaliknya untuk sisi negatif, Abdul menyebut penguasaan asing terhadap perbankan cenderung tidak menjalankan fungsi intermediasi dengan baik.

“Asing biasanya lebih senang mengambil dari segi income saja, dibandingkan melaksanakan penyaluran kredit,” katanya.

Dampak negatif lainnya, Abdul menjelaskan bahwa akuisisi perbankan oleh asing dapat memperburuk defisit transaksi berjalan dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh adanya transfer keuntungan ke luar negeri.

Apabila neraca transaksi berjalan memburuk, ungkap Abdul, maka akan berdampak pada nilai tukar rupiah maupun faktor-faktor ekonomi makro lainnya.

Situasi Membaik

Meskipun demikian, menurut data Bank Indonesia (BI), per Mei 2020, Neraca Perdagangan tercatat surplus US$2,09 miliar, membaik dari kondisi April 2020 yang mengalami defisit US$372,1 juta. Ke depan, BI memperkirakan terdapat kecenderungan defisit transaksi berjalan akan lebih rendah, yakni sekitar 1,5% PDB pada 2020.

Angka tersebut jauh di bawah perkiraan semula 2,5%-3,0% PDB. Demikian pula defisit transaksi berjalan pada 2021 diperkirakan akan berada di bawah 2,5%-3,0% PDB.

Di samping dampak positif dan negatif, Abdul menyebut tren akuisisi tersebut menunjukkan bahwa sektor perbankan di Indonesia sangat menarik untuk dilirik investor asing. Hal ini disebabkan oleh tingginya margin bunga bersih (net interest margin/NIM) perbankan di Indonesia.

“Ini sangat menarik karena rata-rata NIM perbankan di Indonesia tergolong tinggi,” terang Abdul. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan, per Maret 2020, NIM perbankan di Indonesia berada di angka 4,31%.

Menurutnya, angka tersebut jarang ditemukan di negara lain. Di kawasan Asia Tenggara, NIM Indonesia menempati level tertinggi. Untuk perbandingan, Singapura mencatatkan NIM 1,6% per Desember 2018 dan Filipina pada kuartal II-2019 membukukan NIM 3,62%.

Tengok saja, tiga bank terbesar di Singapura, seperti DBS, OCBC dan UOB pada kuartal II tahun lalu, masih membukukan NIM pada kisaran 1,6%-2,1%.

Investor Incar Indonesia

Faktor tersebut, katanya, yang menyebabkan investor asing berbondong-bondong untuk melirik perbankan di Indonesia.

Selain itu, tingginya pasar perbankan di Indonesia juga menyebabkan investor asing tertarik menanamkan investasi. Abdul mengungkapkan, potensi bank sangat besar dalam menyalurkan produk-produknya dikarenakan banyaknya jumlah penduduk di Indonesia.

KB Kookmin Bank asal Korea Selatan resmi menguasai 51% saham PT Bank Bukopin Tbk. (BBKP) setelah menambah kepemilikan dari sebelumnya hanya 22%. / Facebook @bukopinsiaga

Mutakhir ini sejumlah bank di Indonesia tercatat telah diakuisisi oleh investor asing, seperti PT Bank Bukopin Tbk. (BBKP) yang 51% sahamnya resmi dimiliki oleh KB Kookmin Bank asal Korea Selatan.

Setelah kepemilikan saham sebelumnya hanya 22%, KB Kookmin akhirnya menyetorkan dana sebesar Rp1,46 triliun kepada BBKP, lewat penerbitan saham baru melalui hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue.

Selain itu, PT Bank Permata Tbk. (BNLI) juga resmi diambil alih oleh Bangkok Bank Public Company Limited atau Bangkok Bank. Nilai transaksi akuisisi sebesar 89,12% saham mencapai Rp33,66 triliun.

Nilai tersebut, menurut laporan dari Bangkok Bank, setara dengan valuasi 1,63 kali dari nilai buku Bank Permata per 31 Maret 2020. Dengan demikian, harga saham BNLI pada transaksi ini dihargai kurang lebih Rp1.344 per lembar.

Berikut aksi merger & akuisisi bank di Indonesia

1. PT Bank Agris Tbk. (AGRS) dan PT Bank Mitra Niaga Tbk. (NAGA)

Industrial Bank of Korea (IBK) asal Korea Selatan resmi mengakuisisi 95,79% saham PT Bank Agris Tbk. dengan nilai Rp1,14 triliun pada awal 2019. Setelah itu, IBK mengakuisisi 1,17 miliar saham PT Bank PT Mitra Niaga Tbk. senilai Rp478,53 miliar. Kemudian, kedua bank ini dilebur menjadi PT Bank IBK Indonesia Tbk.

2. PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. (BTPN)

Akhir Januari 2019, bank terbesar kedua asal Jepang, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) mengakuisisi 56,92% saham PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. Nilai transaksi mencapai Rp14,28 triliun. Kepemilikan SMBC di BTPN menjadi 97,34% kemudian dilebur dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI) dan menjadi PT Bank BTPN Tbk.

3. PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN) dan PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk. (BBNP)

Bank terbesar di Jepang, Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) mengakuisisi saham PT Bank Danamon Indonesia Tbk. dan PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk. pada April 2019 dengan nilai lebih dari Rp52 triliun. Selanjutnya, kedua bank itu di-merger menjadi Bank Danamon.

4. PT Bank Dinar Indonesia Tbk. (DNAR) dan PT Bank Oke Indonesia

Perusahaan pembiayaan asal Korea Selatan APRO Financial Co. Ltd. (APRO) mengakuisisi 77,38% saham PT Bank Dinar Indonesia Tbk. senilai Rp691 miliar pada awal November 2018. Kemudian Bank Dinar dilebur dengan PT Bank Oke Indonesia yang sebelumnya telah dimiliki mayoritas oleh APRO.

5. PT Bank Permata Tbk. (BNLI)

PT Bank Permata Tbk. juga resmi diambil alih oleh Bangkok Bank Public Company Limited atau Bangkok Bank yang berasal dari Thailand. Nilai transaksi akuisisi sebesar 89,12% saham mencapai Rp33,66 triliun. Bangkok Bank membeli saham milik PT Astra International Tbk. (ASII), dan Standard Chartered Bank (SCB).

6. PT Bank Bukopin Tbk. (BBKP)

KB Kookmin Bank asal Korea Selatan menambah kepemilikan saham PT Bank Bukopin Tbk. hingga 51%. Setelah kepemilikan saham sebelumnya hanya 22%, KB Kookmin akhirnya menyetorkan dana sebesar Rp1,46 triliun kepada BBKP, lewat penerbitan saham baru melalui hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue.

7. PT Bank Maspion Tbk. (BMAS)

PT Bank Maspion Tbk., entitas perbankan milik pengusaha Alim Markus melaui Grup Maspion, akan diakuisisi oleh bank investor asal Thailand. Pada pertengahan April 2020, sebanyak 30,01% saham bank dengan kode BMAS itu beralih ke Kasikorbank Public Company Limited (KBank) melalui Kasikorn Vision Company Limited (KVision). Hasilnya, KBank akan memiliki 40% saham Bank Maspion, karena sebelumnya sudah menggenggam 9,99%. (SKO)