Ilustrasi perdagangan aset kripto
Fintech

Investor Mengeluhkan Pajak Terlalu Besar, Transaksi Aset Kripto dalam Negeri Merosot

  • Transaksi aset kripto di dalam negeri mengalami kemerosotan karena pajak yang terlalu besar sehingga membuat para investor dan trader beralih ke exchange di luar Indonesia.

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Transaksi aset kripto di dalam negeri mengalami kemerosotan karena pajak yang terlalu besar sehingga membuat para investor dan trader beralih ke exchange di luar Indonesia.

Menurut laporan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), data per September 2023 menunjukkan bahwa nilai transaksi dalam dunia kripto mencapai Rp94,4 triliun.

Angka ini menunjukkan penurunan yang signifikan sebesar 69% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya dengan transaksi mencapai Rp306,4 triliun.

Selain itu, jika merujuk pada 2021, terdapat catatan yang menunjukkan tingkat transaksi yang jauh lebih tinggi, mencapai Rp859,4 triliun.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun sempat membeberkan bahwa selain animo yang turun pascapandemi, pajak yang dikenakan pada transaksi aset kripto di dalam negeri pun rupanya direspon dengan kurang baik oleh para investor.

Chief Compliance Officer (CCO) Reku, Robby, yang menjabat juga juga sebagai Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo)-Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI), mengungkapkan bahwa para pelaku usaha yang bergerak di perdagangan aset kripto sudah memproyeksikan penurunan akibat pajak ini.

Sebagai bagian dari bursa aset kripto, Reku dikatakan Robby telah menerima keluhan dari pengguna sejak setahun yang lalu terkait penerapan pajak.

Hal ini telah mendorong investor aset kripto untuk mencari platform di luar negeri. Masalah utamanya adalah bahwa platform bursa global yang menjadi tujuan investor aset kripto belum memiliki lisensi di Indonesia.

"Ini dapat berdampak negatif bukan hanya bagi pelaku usaha, namun juga investor dan ekosistem kripto secara keseluruhan juga,” ungkap Robby kepada TrenAsia, dikutip Rabu, 8 November 2023.

Robby menjelaskan bahwa saat ini penerapan pajak di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan dengan negara lain. Dikatakan olehnya, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) final mencapai 1% dari tarif PPN umum atau setara dengan 0,11% ternyata cukup memberatkan bagi para peminat aset kripto. 

Sementara itu, banyak negara lain seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Australia, dan Brazil tidak menerapkan pajak pada aset kripto.

Tingginya beban pajak yang harus ditanggung oleh investor telah menyebabkan arus modal yang signifikan ke luar negeri, yang berpotensi membuat transaksi tidak lagi terjadi di Indonesia.

"Masyarakat pun juga tidak mendapatkan perlindungan hukum seperti halnya mereka bertransaksi di exchange lokal," tutur Robby.

Anggota Aspakrindo-ABI, yang merupakan kelompok pelaku usaha di sektor aset kripto, berpendapat bahwa diperlukan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan untuk mengatasi masalah pajak dan keberadaan bursa ilegal.

“Persoalan ini menyangkut banyak pihak, jadi dibutuhkan kolaborasi antarpemangku kepentingan sehingga tercipta industri yang sehat dan menguntungkan seluruh pelaku di ekosistem aset kripto Indonesia,” pungkas Robby.