IPO Jumbo Belum Berdampak Positif pada IHSG, BEI Ungkap Hal Ini
- Pelaku pasar masih bersikap menunggu atau "wait and see" terhadap dampak kebijakan tarif dari Presiden AS, Donald Trump, yang belum memberikan kepastian arah kebijakan global.
Bursa Saham
JAKARTA - Di tengah maraknya aksi penawaran umum saham perdana (initial public offering atau IPO) dengan nilai emisi besar, atau yang biasa disebut IPO jumbo, Bursa Efek Indonesia (BEI) masih menghadapi tantangan besar dalam mendorong kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Meski IPO jumbo mulai mewarnai pasar saham Indonesia sejak akhir tahun lalu, kenyataannya IHSG tetap belum menunjukkan lonjakan signifikan. Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Irvan Susandy, mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan IHSG bergerak lesu di tengah maraknya IPO besar tersebut.
Irvan mencatat bahwa pelemahan IHSG juga terjadi di seluruh bursa Asia Tenggara, dengan pengecualian Amerika Serikat dan China. "Pelemahan indeks terjadi di semua bursa Asia Tenggara, kecuali Amerika Serikat dan China," jelas Irvan dalam keterangannya pada Senin, 13 Januari 2025.
- Loyo di Awal Pekan, IHSG Hari Ini 13 Januari 2025 Ditutup Melemah 72 Poin
- SMRA dan ARTO Tiarap, LQ45 Hari Ini 13 Januari 2025 Ditutup Melemah di 810,97
- Pria di China Bangun Replika Rumah Shin-chan, Habiskan Rp6,6 Miliar
Berdasarkan data BEI per 10 Januari 2025, mayoritas indeks saham di kawasan Asia Tenggara memang menunjukkan penurunan. Di Singapura, misalnya, Strait Times Index (STI) hanya mengalami penguatan tipis sebesar 0,37% sejak awal tahun 2025. Sementara itu, IHSG tercatat menguat 0,13%, lebih baik dibandingkan empat negara ASEAN lainnya.
Di sisi lain, beberapa IPO jumbo yang tercatat di BEI sejak akhir tahun lalu, seperti PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) dan PT Bangun Kosambi Sukses Tbk (CBDK), menunjukkan potensi besar dalam menarik investor.
AADI, yang berhasil meraup dana Rp4,3 triliun dalam IPO-nya pada Desember 2024, menjadi contoh IPO besar yang turut memberi warna di pasar saham Indonesia. Namun, meski ada gelombang IPO besar, pergerakan IHSG tetap terhambat oleh beberapa faktor, salah satunya adalah rendahnya volume transaksi di awal tahun.
Sebagai contoh, nilai transaksi harian Bursa sejak awal tahun tidak pernah menyentuh angka Rp10 triliun, meskipun nilai transaksi tertinggi tercatat pada 7 Januari 2025, sebesar Rp9,54 triliun.
Irvan juga mengungkapkan bahwa pelaku pasar masih bersikap menunggu atau "wait and see" terhadap dampak kebijakan tarif dari Presiden AS, Donald Trump, yang belum memberikan kepastian arah kebijakan global. Hal ini mempengaruhi keputusan investor yang enggan melakukan pembelian besar dalam jangka pendek.
Walau demikian, beberapa pihak optimistis bahwa IPO berkualitas tetap dapat mendorong pasar modal Indonesia ke arah yang lebih positif. Direktur Utama Mandiri Sekuritas, Oki Ramadhana, percaya bahwa kondisi makroekonomi Indonesia yang solid tetap menjadi landasan yang kuat untuk pertumbuhan IHSG.
"Yang perlu kita fokuskan adalah bagaimana kita membawa IPO berkualitas tinggi yang dapat merangsang pertumbuhan pasar modal," ujar Oki.
Mandiri Sekuritas sendiri memproyeksikan IHSG pada akhir 2025 bisa mencapai level 8.150, dengan kisaran antara 7.140-8.590, dengan fokus pada sektor-sektor konsumsi, pangan, properti, telekomunikasi, transportasi, dan retail.
Meski ada sejumlah tantangan yang perlu dihadapi, optimisme tetap terjaga. Jika sektor-sektor unggulan terus berkembang dan investor semakin percaya pada prospek pasar modal Indonesia, ada kemungkinan besar bahwa IPO jumbo akan memberikan kontribusi signifikan bagi kinerja IHSG ke depan.