Korporasi

Irfan Setiaputra: Garuda Indonesia Tetap Terbang Tapi Harus Untung!

  • Dirut Garuda Indonesia Irfan Setiaputra optimistis GIAA bisa mengubah nasib menjadi perusahaan yang menguntungkan mulai saat ini.
Korporasi
Laila Ramdhini

Laila Ramdhini

Author

JAKARTA – Maskapai nasional PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) memasuki babak baru usai melewati proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU. Keberhasilan perusahaan pelat merah ini melakukan restrukturisasi utang juga tidak terlepas dari peran Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra.

Banyak yang meragukan kinerja Garuda Indonesia hingga pemerintah diminta untuk menyuntik mati Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini. Maklum, maskapai pelat merah ini memang sudah megalami kerugian bertahun-tahun. 

Berdasarkan Daftar Piutang Tetap (DPT) yang diterbitkan Tim Pengurus PKPU, per 14 Juni 2022, Garuda Indonesia memiliki total utang hingga Rp142,42 triliun kepada 501 kreditur.

Meski demikian, Irfan optimistis Garuda bisa mengubah nasib menjadi perusahaan yang menguntungkan mulai saat ini.

“Hari ini filosofinya kita tetap harus terbang tapi menguntungkan,” ujar Irfan, kepada TrenAsia.com, belum lama ini.

Irfan memaparkan Garuda Indonesia mulai berbenah usai proses PKPU. Seperti diketahui, Garuda Indonesia berhasil melakukan restrukturisasi utang setelah diberikan waktu selama 270 hari di masa PKPU. Irfan menyebut para kreditur menyetujui untuk memperpanjang tenor hingga menunda kewajiban pembayaran utang.

Di sisi lain, mendukung proses restrukturisasi ini, pemerintah pun telah menggelontorkan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp7,5 triliun di penghujung 2022. Irfan menyebut dana PMN ini juga sekaligus meyakinkan para kreditur atas komitmen Negara sebagai pemegang saham mayoritas perusahaan untuk melaksankan kewajibannya.

Mulai Untung usai Paceklik Panjang

Optimisme Irfan sejatinya telah terbukti pada tahun ini. Akhirnya, Garuda berhasil membalikkan kerugian dengan mencetak laba bersih sebesar US$ 3,76 miliar atau setara Rp 57,3 triliun pada Semester I-2022.

Padahal, setidaknya dalam lima tahun ke belakang, Garuda Indonesia terus mencatatkan rugi. Berdasarkan laporan keuangan perseroan, GIAA meraup pendapatan rugi bersih US$4,16 miliar atau sekitar Rp62 triliun sepanjang 2021.

Angka tersebut membengkak sekitar 70,4% dibandingkan dengan kerugian tahun 2020. Dalam catatan TrenAsia.com, ini sekaligus menjadi rugi bersih terbesar dalam lima tahun terakhir.

Sementara, pada 2019, GIAA mencatat kerugian US$38,94 juta, kemudian 2018 GIAA mengalami rugi US$231,16 juta. Sedangkan 2017 GIAA rugi US$216,58 juta.

Untuk mencapai target sebagai perusahaan yang untung, Irfan telah menyiapkan berbagai strategi bagi Garuda Indonesia.  Pertama, mengurangi jenis pesawat yang tidak sesuai dengan kebutuhan maskapai. Irfan menjelaskan saat ini Garuda memiliki pesawat CRJ Bombardier, padahal tipe pesawat ini digunakan untuk commuting. 

“Ini tidak cocok dengan karakter masyarakat Indonesia yang biasanya bepergian dengan pesawat udara untuk jarak jauh dan waktu yang lama.

Kedua, Garuda akan menutup rute-rute penerbangan yang tidak menguntungkan. Irfan menjelaskan hal yang membuat Garuda rugi besar yakni beban operasional yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan perusahaan (revenue).

Terakhir, maskapai Garuda juga akan mencari pendapatan baru di luar bisnis penumpang, misalnya bisnis kargo.