Karyawan beraktivitas di mainhall gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, Senin, 25 Oktober 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Pasar Modal

Ironi dan Disrupsi Bisnis Sekuritas di Tengah Pertumbuhan Investor Pasar Modal RI

  • Sejumlah perusahaan sekuritas menutup bisnisnya sebagai perantara pedagang efek alias pialang saham. Kondisi ini justru terjadi ketika jumlah investor pasar modal Indonesia sedang bertumbuh pesat.
Pasar Modal
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – Belakangan ini marak kabar perusahaan sekuritas yang akan menutup bisnisnya sebagai perantara pedagang efek alias pialang saham. Kondisi ini justru terjadi ketika jumlah investor pasar modal Indonesia sedang bertumbuh pesat.

Dikutip dari laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perusahaan sekuritas adalah perusahaan yang sudah mengantongi ijin usaha dari OJK untuk bisa melakukan kegiatan usaha sebagai pihak perantara pedagang efek, pihak penjamin emisi efek, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan ketentuan dan peraturan pengawas pasar modal.

Pada awal Oktober 2021 misalnya, PT Batavia Prosperindo Sekuritas (BZ) mengumumkan bakal mengembalikan Surat Persetujuan Anggota Bursa (SPAB) secara sukarela kepada Bursa Efek Indonesia (BEI). Grup Batavia mengaku akan fokus ke bisnis asset management (AM).

Masih pada bulan yang sama, PT Citigroup Sekuritas Indonesia (CG) juga dikabarkan ‘menyerah’ dalam menjalankan bisnis ini dan berniat hengkang dari Tanah Air. Kedua broker ini disebut telah menghentikan pelayanannya kepada nasabah.

Merujuk data BEI, modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) Batavia Sekuritas saat ini senilai Rp26,40 miliar. Sedangkan, Citigroup Sekuritas memiliki MKBD sebesar Rp301,67 miliar. Adapun berdasarkan aturan, nilai minimum MKBD perusahaan efek adalah sebesar Rp25 miliar.

Berdasarkan catatan TrenAsia.com, setidaknya terdapat 11 SPAB yang telah dicabut paksa maupun sukarela oleh otoritas Bursa sejak tahun 2018. Di sisi lain, baru 1 SPAB baru yang diterbitkan dalam jangka waktu sekitar 3 tahun terakhir.

Menariknya, penutupan bisnis sekuritas terjadi ketika jumlah investor saham tengah melejit. Bahkan, rekor tertinggi sepanjang sejarah tercipta pada tahun ini dengan terdaftarnya 1 juta investor saham baru sepanjang 2021 menjadi 2.697.832 investor per 31 Agustus 2021.

Angka tersebut naik hampir dua kali lipat dibandingkan dengan pencapaian pada tahun 2020 dengan jumlah single investor identification (SID) saham baru sebanyak 590.658. Lantas mengapa banyak perusahaan sekuritas yang ‘angkat kaki’ di tengah potensi tersebut?

Disrupsi Teknologi dan Lanskap Baru Investor RI

Rekor tertinggi sepanjang sejarah tercipta pada tahun ini dengan terdaftarnya 1 juta investor saham baru sepanjang 2021 menjadi 2.697.832 investor per 31 Agustus 2021.. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Pengamat Pasar Modal, Satrio Utomo mengatakan bahwa saat ini telah terjadi perubahan lanskap pada investor pasar modal Indonesia. Hal ini seiring dengan menjamurnya investor ritel ketika memasuki era pandemi COVID-19.

Ia bilang, fenomena tersebut terbukti dengan total SID yang melesat tajam pada tahun ini dan diperkirakan akan terus bertambah. Kondisi ini, kata dia, berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya, di mana jumlah investor masih ratusan ribu dan cenderung tidak berkembang.

Dengan dominasi investor ritel yang terjadi saat ini, ia menilai bahwa perusahaan sekuritas harus menyiapkan sistem teknologi yang mumpuni. Di sisi lain, investasi di bidang teknologi tidak dapat terbilang murah. Sehingga, sekuritas yang memiliki sistem teknologi baik yang dapat bertahan.

“Jika investor ritel banyak, maka permainannya lebih banyak ke arah IT dan sistem-sistem yang lebih kompleks. Saat ini, sekuritas-sekuritas yang banyak melayani investor ritel adalah broker yang memiliki infrastruktur IT yang besar,” katanya kepada TrenAsia.com belum lama ini.

Senada dengan hal tersebut, Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Laksono W. Widodo juga menyebutkan hal serupa. Menurutnya, kompetisi bisnis sekuritas semakin ketat dengan adanya pengembangan teknologi yang semakin dominan. 

“Bisnis Sekuritas masih menarik, tapi membutuhkan komitmen dan permodalan yang tidak sedikit karena otomasi dan kebutuhan akan online business,” tutur dia kepada awak media.

Melihat kondisi tersebut, BEI mengaku telah menyiapkan strategi, di antaranya memberikan bantuan, baik dalam hal menyelenggarakan sosialisasi dan edukasi kepada para investor dan stakeholder pasar modal serta dalam bentuk subsidi dan bantuan lainnya kepada para perusahaan sekuritas.

Digitalisasi: Sebuah Keniscayaan

CEO Ajaib Group Anderson Sumarli / Istimewa

Tampaknya, disrupsi teknologi telah terjadi pada semua elemen kehidupan manusia. Tak terkecuali pada aktivitas investasi, terutama di pasar modal. Sebab itu, banyak perusahaan sekuritas yang berlomba-lomba menciptakan platform trading untuk memikat para investor.

Salah satu yang mampu memanfaatkan kondisi ini adalah Ajaib Sekuritas. Dengan infrastruktur teknologi disertai dengan berbagai penawaran menarik, perusahaan fintech investasi tersebut diklaim mampu menggaet 1 juta investor ritel, nyaris setengah dari keseluruhan investor saham domestik.

Bahkan, Ajaib dinobatkan menjadi unicorn ke-7 di Indonesia setelah menggalang dana Seri B senilai US$153 juta atau setara dengan Rp2,19 triliun (asumsi kurs Rp14.315 per dolar Amerika Serikat) dari DST Global. 

Pendanaan ini menjadikan Ajaib sebagai fintech investasi unicorn pertama di Asia Tenggara. Pencapaian ini diperoleh Ajaib dalam dua setengah tahun pertama, menjadikan Ajaib sebagai start up tercepat yang meraih status unicorn dalam sejarah Asia Tenggara.

Potensi cerah bisnis sekuritas juga ditunjukan oleh PT Trimegah Sekuritas Indonesia Tbk (TRIM). Prospeknya kian menjanjikan usai dicaplok konglomerat Garibaldi “Boy” Thohir yang juga menjabat salah satu komisaris di perusahaan raksasa teknologi berstatus decacorn, Gojek.

Ekonom dan Praktisi Pasar Modal dari LBP Institute, Lucky Bayu Purnomo melihat adanya peluang sinergi yang mungkin akan terjadi ke depannya. Setelah diakuisisi Boy Thohir, Trimegah berpotensi masuk ke dalam ekosistem GoTo.

Pada prinsipnya, kata dia, sebuah ekosistem digital dapat diintegrasikan dengan berbagai objek kegiatan usaha, termasuk perusahaan pialang efek atau sekuritas. Langkah ini sebagai upaya untuk meningkatkan nilai tambah perusahaan rintisan berbasis teknologi seperti GoTo.

“Di masa yang akan datang, sangat memungkinkan sebuah perusahaan sekuritas berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan fintech atau pun start up, di mana nilai tambah itu yang akan menjadi orientasi utamanya,” tutur dia saat berbincang dengan reporter TrenAsia.com beberapa waktu lalu.

Untuk mengukuhkan bisnisnya, TRIM bahkan melakukan pemisahan bisnis usaha alias spin off dengan mendirikan entitas usaha baru bernama PT Trimegah Sekuritas. Perusahaan baru ini akan fokus menjalankan bisnis perdagangan serta penjamin emisi efek di bawah holding TRIM.

Manajemen TRIM menyatakan bahwa rencana spin off bertujuan untuk membuka kesempatan kepada perseroan untuk terus berinovasi dan mengembangkan kegiatan usaha yang salah satunya mendukung pengembangan serta mengoptimalkan penggunaan pasar modal.