Ironi Hukum, Perusahaan Miliki Sertifikat Laut Meski Dilarang UU
- Sejumlah wilayah laut yang telah dipagari telah memiliki sertifikat resmi. Pemerintah segera melakukan penyelidikan terkait perizinan kawasan yang telah dipasangi pagar laut. Diketahui bahwa wilayah tersebut memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM)
Nasional
JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR Riyono Caping mengungkap, sebanyak 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya di Banten mengalami dampak langsung dari pembangunan pagar laut. Pagar yang membentang sepanjang 30 km tersebut memengaruhi perekonomian 21.950 jiwa. Keberadaan pagar laut ini tidak hanya merugikan nelayan dan pembudidaya, tetapi juga dikhawatirkan dapat merusak ekosistem laut di wilayah tersebut.
Tak kalah mengejutkan ternyata sejumlah wilayah laut yang telah dipagari tersebut telah memiliki sertifikat resmi. Pemerintah segera melakukan penyelidikan terkait perizinan kawasan yang telah dipasangi pagar laut. Diketahui bahwa wilayah tersebut memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) diera kepemimpinan Joko Widodo.
Berdasarkan catatan kementrian ATR/BPN Sebanyak 263 SHGB dan 17 SHM telah diterbitkan di wilayah pesisir Kabupaten Tangerang, yang pemiliknya mencangkup sejumlah korporasi besar seperti, PT Intan Agung Makmur, PT Cahaya Inti Sentosa, dan beberapa individu.
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menyatakan bahwa SHGB yang baru diterbitkan pada 2023 akan dievaluasi ulang. Jika ditemukan cacat hukum, sertifikat tersebut dapat dibatalkan tanpa memerlukan perintah pengadilan selama masih dalam kurun waktu lima tahun sejak diterbitkan.
- Saham TLKM Mendadak Diserbu Investor, Apa Katalisnya?
- Donald Trump Umumkan Darurat Energi, Apa Dampaknya ke Indonesia?
- Ketika Kampus Makin Diseret ke Pusaran Bisnis Lewat Izin Tambang
"Manakala nanti terbukti berada di luar garis pantai, dan manakala terbukti tidak complient, manakala terbukti tidak sesuai dengan prosedur, dan manakala terbukti tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, kami akan tindak sesuai dengan aturan yang perundang-undangan yang ada," tegas Nusron Wahid, di Kantor Kementerian ATR/BPN, dikutip Rabu, 22 Januari 2024.
Pemerintah juga sedang menginvestigasi dugaan pelanggaran prosedur dalam penerbitan SHGB di atas laut. Jika terbukti ada pelanggaran, pihak-pihak yang terlibat, termasuk juru ukur, akan dikenakan sanksi tegas.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut merespons dengan membuka ruang bagi masyarakat untuk melaporkan dugaan korupsi dalam penerbitan SHGB tersebut, dengan syarat menyertakan bukti pendukung.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menegaskan bahwa penerbitan sertifikat di atas laut adalah ilegal sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18. Atas arahan Presiden Prabowo Subianto, pagar laut yang berada di wilayah Tangerang dan Bekasi akan dibongkar bersama instansi terkait.
"Tadi saya mendapatkan press conference juga dari Menteri ATR/BPN bahwa sudah ada sertifikat yang ada di dalam laut. Saya perlu sampaikan, kalau di dasar laut itu tidak boleh ada sertifikat. Jadi itu sudah jelas ilegal juga," terang Wahyu kepada awak media di Istana Presiden Jakarta.
- Saham TLKM Mendadak Diserbu Investor, Apa Katalisnya?
- Donald Trump Umumkan Darurat Energi, Apa Dampaknya ke Indonesia?
- Ketika Kampus Makin Diseret ke Pusaran Bisnis Lewat Izin Tambang
Wilayah Laut Tak Boleh di Miliki Perorangan
Wilayah laut Indonesia, termasuk perairan teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan landas kontinen, menurut undang-undang sepenuhnya dikuasai oleh negara. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 menegaskan bahwa individu maupun badan hukum tidak memiliki hak untuk mengklaim kepemilikan atas wilayah laut melalui sertifikat tanah.
Aturan diatas mempertegas ketentuan, bahwa laut merupakan kekayaan negara yang tidak dapat diprivatisasi dan harus digunakan untuk kepentingan umum. Setiap kegiatan atau pembangunan yang dilakukan di wilayah laut wajib mendapatkan izin dari pemerintah.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 dan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012, izin ini harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampak terhadap lingkungan, tata ruang, serta ekosistem laut. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pembangunan di laut dilakukan secara berkelanjutan dan tidak merusak ekosistem yang ada.
Selain itu, reklamasi di wilayah laut diatur dengan ketat melalui peraturan zonasi laut dan regulasi lainnya. Pemerintah melarang pengalihan fungsi area tertentu untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan penggunaan wilayah laut tetap sesuai dengan peruntukannya dan tidak mengganggu keseimbangan alam.