Ironi Industri Gula RI: Si Mantan Raja Ekspor yang Kini Importir Terbesar Dunia
- Pada era 1930-an, Indonesia yang saat itu dikenal sebagai Hindia Belanda pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Kala itu, produksi gula mencapai 2,9 juta ton per tahun dengan luas perkebunan tebu sekitar 196 ribu hektare.
Nasional
JAKARTA - Pada era 1930-an, Indonesia yang saat itu dikenal sebagai Hindia Belanda pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Kala itu, produksi gula mencapai 2,9 juta ton per tahun dengan luas perkebunan tebu sekitar 196 ribu hektare.
Dilansir dari jalurrempah.kemdikbud.go.id, selain rempah-rempah, gula menjadi salah satu komoditas unggulan di Nusantara. Meskipun Banda Naira dikenal sebagai penghasil rempah utama dunia, posisinya digeser oleh Jawa yang pada waktu itu menjadi salah satu produsen gula terbaik. Dalam kurun waktu tahun 1800-1930, gula menjadi produk olahan alam yang paling penting di dunia.
Kegigihan pemerintah Belanda dalam mengembangkan industri gula membuahkan hasil pada tahun 1930. Hindia Belanda menjadi pengekspor utama gula dunia dengan 179 pabrik yang tersebar di Jawa.
- Dilema Cuti Melahirkan, Antara Keadilan dan Diskriminasi Perempuan
- Dampak PHK, Shahibul Qurban Kelas Menengah Menurun
- Melihat Penyebab dan Dampak Morgan Stanley Turunkan Rating Saham Indonesia Jadi Underweight
Masa kejayaan itu, yang dimulai dari era liberal pada tahun 1874 hingga menjelang Perang Dunia Pertama pada tahun 1914, menjadikan gula Indonesia sebagai produk ekspor unggulan di bawah pemerintahan Hindia Belanda.
Pada masa tersebut, hampir setengah dari total produksi gula sebesar tiga juta ton dari 200.000 hektare perkebunan di Jawa diekspor.
Akibatnya, pada awal dan pertengahan abad ke-20, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menetapkan Indonesia sebagai eksportir gula terbesar di dunia setelah Kuba, bahkan melebihi produksi India yang merupakan produsen terbesar dunia saat itu.
Dikutip dari Jurnal berjudul “Suikersyndicaat Hindia Belanda 1870 – 1941,” pada awal abad ke-20, kualitas gula dari Hindia Belanda dianggap sebagai yang terbaik/berkualitas paling bagus di dunia. Inilah yang mendorong para pengusaha untuk memilih industri gula sebagai prioritas utama mereka.
Perlu diketahui bahwa pada masa itu, industri gula di Hindia Belanda hanya terdapat di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan tanah Jawa yang subur dan kontur yang cocok untuk penanaman tebu. Selain itu, sumber daya manusia di Jawa, yang mayoritas orang Jawa lebih maju dibandingkan wilayah lain di Hindia Belanda.
Kolonial Hindia Belanda menyadari bahwa hasil bumi, terutama gula, merupakan salah satu sumber pemasukan terbesar bagi kas mereka, terutama untuk mengisi kekosongan kas kerajaan setelah perang Diponegoro.
Menyadari besarnya potensi komoditas gula di Indonesia, mereka berupaya mengembangkan hasil bumi tersebut menjadi sebuah industri. Mulai dari teknologi, pembuatan gula yang dulunya dilakukan secara tradisional menggunakan alat penggiling dari kayu dan diputar oleh tenaga manusia atau hewan ternak.
Kini, proses tersebut telah bertransformasi menjadi penggunaan alat penggiling canggih bernama vacuum pan. Mesin ini merupakan kombinasi dari teknologi industri yang berkembang di dunia Barat pada saat itu dengan agrikultur di Jawa.
Dalam kurun waktu 10 tahun, volume ekspor gula meningkat dari 6.710 ton pada tahun 1830 menjadi 61.750 ton pada tahun 1840. Tiga puluh tahun kemudian, ekspor gula naik lebih dari 100%, mencapai 146.670 ton.
Banyaknya pabrik gula yang didirikan, seperti Pabrik Gula Merican, Pabrik Gula Tegowangi, Pabrik Gula Kawarasan, Pabrik Gula Pesantren, Pabrik Gula Purwoasri, dan Pabrik Gula Minggiran di wilayah Kediri, menunjukkan upaya pengembangan industri perkebunan tebu dan pengolahan gula pada masa Hindia Belanda.
Dikutip dari jurnal bertajuk “Dinamika Industri Gula Sejak Cultuurstelsel Hingga Krisis Malaise Tahun 1830-1929,” perkembangan industri gula memberikan keuntungan besar bagi pemiliknya dan menyumbangkan pendapatan pajak kepada pemerintah kolonial.
Berkat keuntungan dari perdagangan gula, beberapa kota di Pulau Jawa berkembang pesat, seperti Semarang dan Surabaya, serta kota-kota lainnya. Melalui perkebunan tebu, masyarakat Pulau Jawa mulai mengenal sistem pembayaran upah dalam bentuk uang. (Poesponegoro&Notosusanto, 1984: 185).
- Unjuk Kekuatan di Depan Pintu Amerika, Kapal Selam Nuklir Rusia Tiba di Kuba
- Saham Apple Cetak Rekor Usai Perkenalkan AI di iOS18
- Harga Emas Hari Ini: Kembali Naik Rp3.000
Dilansir dari laman resmi UGM, 90 tahun kemudian, pada tahun 2020, dengan luas area yang lebih dari dua kali lipat, produksi gula hanya mencapai 2,5 juta ton. Bahkan, sejak tahun 1970-an, Indonesia beralih dari negara eksportir menjadi negara pengimpor gula.
Indonesia menjadi importir gula terbesar di dunia, dengan volume impor mencapai 5,8 juta metrik ton atau 10,11% dari total impor global pada periode 2022/2023. Posisi ini diikuti oleh China dan Amerika Serikat yang masing-masing mengimpor 3,8 juta metrik ton dan 3,15 juta metrik ton.