Penggundulan Hutan di Papua
Nasional

Ironi Reforestasi di Tengah Masifnya Pembukaan Lahan untuk Food Estate

  • Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkapkan akan segera menyusun peta jalan dan rencana strategis untuk melakukan reforestasi pada 12 juta hektare hutan yang telah rusak. Ini merupakan langkah lanjutan dari arahan Presiden Republik Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Baku, Azerbaijan.

Nasional

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati luar biasa. Indonesia memiliki hutan hujan tropis yang sangat luas, terutama di Kalimantan, Papua, dan Sumatera. Hutan ini termasuk salah satu ekosistem yang paling kaya akan keanekaragaman hayati di dunia.

Dilansir dari ditsmp.kemdikbud.go.id, di hutan Indonesia, kita dapat menemukan berbagai spesies langka, seperti orangutan, harimau sumatera, dan badak bercula satu, yang semuanya merupakan spesies endemik yang hanya dapat ditemukan di sini.

World Bank menyatakan, hutan tropis di Indonesia berperan penting sebagai sumber pangan, bahan bakar, tempat tinggal, dan penghidupan bagi lebih dari seperlima penduduknya. Selain itu, hutan juga memiliki peran penting dalam upaya melawan perubahan iklim.

Namun, banyak masyarakat yang bergantung pada hutan Indonesia, yang merupakan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, sebagai sumber mata pencaharian, masih menghadapi tantangan ekonomi. Mereka sering terjebak dalam kemiskinan yang tinggi dan memiliki sedikit peluang untuk mengelola lahan di sekitar kawasan hutan.

Dilansir dari fwi.or.id, deforestasi tahun 2017 hingga 2021 tercatat dengan nilai rata-rata 2,54 juta hektare per tahun, yang setara dengan enam kali luas lapangan sepak bola per menit, telah menggiring Indonesia pada jurang krisis iklim. Situasi ini memperlihatkan bahwa hutan Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkapkan akan segera menyusun peta jalan dan rencana strategis untuk melakukan reforestasi pada 12 juta hektare hutan yang telah rusak. Ini merupakan langkah lanjutan dari arahan Presiden Republik Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Baku, Azerbaijan.

“Minggu depan saya akan kumpulkan para Dirjen terkait untuk membuat road map dan strategic planing. Pihak swasta dan akademisi juga akan dilibatkan dalam merumuskannya,” tutur Menteri Kehutanan Raja Antoni, dilansir dari menlhk.go.id.

Dia optimistis perintah Presiden Prabowo melalui Utusan Khusus tersebut dapat dilaksanakan.

Adapun, Utusan Khusus Presiden untuk Isu Perubahan Iklim Hashim Djojohadikusumo mengungkapkan, pemerintah Indonesia telah mulai mencari calon pihak yang berminat untuk program penghijauan pada 12,7 juta hektar lahan hutan rusak di Indonesia. Salah satu yang menunjukkan minat adalah Jeff Bezos, CEO Amazon.

Belasan juta hektare lahan ini diklaim mengalami kerusakan parah akibat sejumlah faktor, termasuk kebakaran besar yang terjadi pada tahun 1992, 1997, dan 2016. Inisiatif baru dari pemerintahan Prabowo ini diumumkan oleh Hashim, yang juga menjabat sebagai Ketua Delegasi Indonesia, di Paviliun Indonesia dalam acara COP29, Senin, 11 November 2024.

Saat ini, 12,7 juta hektare hutan yang rusak tersebut terdiri dari tanah tandus yang ditumbuhi rumput atau semak belukar. Rencana reforestasi bertujuan untuk mengubah lahan menjadi wilayah hijau dengan tutupan tanaman keras dan tanaman buah. Menurutnya konsep reforestasi ini sudah terbukti bisa berhasil.

“Dan bukti konsep ini sudah dapat ditunjukkan pada dunia di satu lokasi bernama Semboja Lestari, satu jam perjalanan di utara Balikpapan, di mana 1000 hektar lahan telah sepenuhnya tercipta kembali dari kondisi sebelumnya padang rumput,” ujar Hashim.

Samboja Lestari, yang mencakup sekitar 1.800 hektar, adalah inisiatif yang menggabungkan kebutuhan ekologi dan bisnis. Saat ini, wilayah ini dikelola oleh Borneo Orangutan Survival dan dimaksudkan sebagai tempat penangkaran serta rehabilitasi orangutan yang terancam punah akibat berbagai faktor di Kalimantan.

Tantangan

Meski begitu, reforestasi memiliki beberapa tantangan. Salah satu tantangan utama dalam reboisasi adalah tingginya biaya yang dibutuhkan. Proses penanaman dan perawatan pohon memerlukan investasi besar, serta memakan waktu lama untuk mulai memberikan dampak yang nyata. Memerlukan usaha besar dan lama dibandingkan manjaga hutan yang tersisa.

Reboisasi juga bisa menghadapi berbagai kendala sosial dan politik. Beberapa masyarakat mungkin enggan menanam kembali pohon karena faktor budaya atau ekonomi. Selain itu, masalah seperti konflik lahan dan kepemilikan tanah sering kali menghalangi pelaksanaan reboisasi.

Soal Proyek Food Estate

Adik Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Delegasi Indonesia untuk COP29 Hashim Djojohadikusumo, merespons kritik terkait proyek food estate atau lumbung pangan yang dinilai memperburuk deforestasi. 

“Kami memahami kalau ada yang tidak menyetujui kebijakan dan program keamanan pangan Indonesia, terutama di level komunitas internasional,” kata Hashim, dalam pidato pembukaan Paviliun Indonesia pada Konferensi Iklim ke-29 (COP29) di Baku, Azerbaijan, Senin, 11 November 2024.

Hashim menjelaskan kebijakan pengembangan food estate didasari oleh kebutuhan Indonesia untuk memastikan ketahanan pangan nasional di tengah ancaman eksternal. Belajar dari krisis beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi lonjakan harga pangan yang signifikan selama pandemi Covid-19 serta akibat konflik Ukraina-Rusia.

Dia juga menegaskan program food estate selaras dengan komitmen lingkungan yang telah disepakati Indonesia. Menurutnya, program lumbung pangan ini tidak bertentangan dengan komitmen tersebut karena bertujuan untuk menjamin ketahanan pangan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad, yang turut hadir di COP29 menyampaikan bahwa program Food Estate bukanlah solusi untuk mengatasi masalah pangan di Indonesia. Ia menilai program ini malah berpotensi menjadi celah untuk eksploitasi sumber daya alam dan hutan.

Indonesia memiliki komitmen FOLU (Forestry and Other Land Use) Net Sink 2030 dengan target pengurangan deforestasi sebanyak 4,22 juta hektare hingga tahun 2030. Berdasarkan dokumen Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, deforestasi Indonesia pada tahun 2019 telah mencapai 4,8 juta hektare, yang berarti target deforestasi telah terlampaui dengan kekurangan 577 ribu hektare.

Dengan meluncurkan program Food Estate, justru mengancam pencapaian komitmen iklim Indonesia yang telah disepakati kepada dunia.

“Proses pemulihan ekosistem melalui restorasi dan rehabilitasi lahan membutuhkan waktu sangat lama dan seringkali tidak mampu mengembalikan ekosistem ke kondisi semula, seperti ekosistem gambut dan mangrove,” kata Nadia dalam keterangan tertulis, Rabu, 13 November 2024.

“Pencegahan deforestasi harus diutamakan untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC). Mengandalkan restorasi dan rehabilitasi saja akan mempersulit pencapaian komitmen iklim Indonesia. Cegah dulu, baru restore,” sambungnya.

Working Group ICCAs Indonesia (WGII) Cindy Julianty juga mengkritik program ini. Ia berpendapat program ini gagal mengatasi masalah ketahanan pangan dan justru memicu konflik dengan masyarakat adat.

“Fakta empiris di Merauke menunjukkan lebih dari dua juta hektar hutan, yang merupakan wilayah adat masyarakat Malid, Maklew, Khimaima, dan Yei, dibabat untuk Food Estate,” ujarnya.

Ia menyoroti tumpang tindih antara target restorasi hutan seluas 12,7 juta hektar di bawah pemerintahan Prabowo dan wilayah adat serta Kelola rakyat. “Apakah target ini akan dilakukan melalui proses konsultasi dan FPIC, dan apakah masyarakat adat atau lokal menjadi penerima manfaat dari agenda restorasi ini?” tanyanya.