Presiden Suriah, Bashar Al Assad
Dunia

Ironi Suriah di Bawah Bashar Al Assad: Dulu Warganya Mengungsi, Kini Tampung 250.000 Pengungsi

  • Sejak dimulainya serangan Israel terhadap Hizbullah di Lebanon, Bashar al-Assad yang dulu dikenal sebagai diktator kejam Suriah, membuka pintu bagi para pengungsi Lebanon.

Dunia

Muhammad Imam Hatami

DAMASKUS - Selama lebih dari satu dekade, Suriah menjadi simbol dari krisis kemanusiaan global akibat perang saudara yang menghancurkan seluruh wilayah negara tersebut, mengakibatkan jutaan warganya melarikan diri mencari perlindungan di berbagai negara. 

Namun kini, sebuah ironi baru muncul : Suriah, yang dulunya menjadi asal para pengungsi, kini menjadi tujuan bagi ribuan orang yang melarikan diri dari krisis terbaru di Timur Tengah.

Pada akhir bulan September 2024, setidaknya 250.000 orang dari Lebanon melarikan diri ke Suriah akibat serangan udara Israel. Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR),  Filippo Grandi, melakukan kunjungan ke Damaskus untuk bertemu dengan Presiden Bashar al-Assad dan pejabat Suriah guna membahas krisis ini serta memberikan dukungan kepada warga Lebanon yang kini berada di Suriah.

"Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, Filippo Grandi, menyelesaikan kunjungan mendesak ke Suriah pada hari Selasa untuk memobilisasi dukungan bagi 250.000 orang yang telah menyelamatkan diri dari serangan udara di Lebanon dan menyeberang ke Suriah, Grandi bertemu dengan Presiden Bashar al-Assad dan pejabat senior pemerintah lainnya untuk membahas cara terbaik guna mendukung kedatangan baru saat mereka memasuki negara tersebut dan di tempat tujuan akhir mereka," ungkap rilis resmi UNHCR, di Damaskus, dilansir Kamis, 10 Oktober 2024.

Suriah sebagai Tempat Perlindungan

Sejak dimulainya serangan Israel terhadap Hizbullah di Lebanon, Bashar al-Assad yang dulu dikenal sebagai diktator kejam Suriah, membuka pintu bagi para pengungsi Lebanon. 

Kebijakan Assad mendapat pujian PBB dan Grandi, yang menekankan pentingnya menjaga keselamatan para pengungsi Lebanon. Padahal, Suriah sendiri masih dalam proses pemulihan dari konflik internal yang masih berlangsung dan mengakibatkan terlantarnya jutaan warga.

"Saya menghargai bahwa pemerintah (Bashar Al Assad) telah menjaga perbatasan tetap terbuka untuk semua orang. Banyak warga Suriah telah kembali ke negara ini, meskipun dalam keadaan tertekan akibat serangan udara. Saya menekankan pentingnya pemerintah untuk memastikan keselamatan dan keamanan mereka yang tiba dari Lebanon. Saya juga memberi tahu Presiden tentang upaya untuk memobilisasi sumber daya kemanusiaan guna mendukung kesejahteraan mereka," ujar Grandi.

Sejak awal perang saudara Suriah yang meletus pada tahun 2011, lebih dari 6 juta orang telah mengungsi dari negara tersebut, sementara jutaan lainnya menjadi pengungsi antar provinsi didalam negara tersebut. 

Banyak dari para Pengungsi Suriah yang tinggal di kamp-kamp pengungsi di negara-negara tetangga, seperti Turki, Lebanon, Yordania, dan Eropa. Namun kini, Suriah menjadi tempat yang dipilih ribuan warga Lebanon untuk mencari keselamatan dari kekerasan.

Krisis Pengungsi Baru dan Bantuan Internasional

Grandi menjelaskan bahwa pihaknya telah menggalang dana sebesar US$324 juta atau sekitar Rp5 triliun (kurs Rp15.650) untuk mendukung kebutuhan pengungsi Lebanon serta masyarakat Suriah yang menjadi tuan rumah mereka. 

Dana ini akan digunakan untuk memberikan bantuan kemanusiaan selama enam bulan ke depan, mencakup kebutuhan dasar seperti makanan, perawatan kesehatan, dan tempat tinggal bagi para pengungsi.

Kondisi di Lebanon semakin memburuk dengan terus berlanjutnya serangan Israel, sementara itu Hizbullah terus berjuang melakukan perlawanan dengan meluncurkan roket ke wilayah Israel. 

Israel sendiri mengklaim bahwa serangan ini bertujuan menciptakan kondisi yang aman bagi kembalinya sekitar 60.000 penduduk dari wilayah utara yang telah mengungsi.

Kehadiran pengungsi dari Lebanon menambah tantangan panjang bagi Suriah yang tengah mencoba bangkit dari keterpurukan akibat konflik panjang. Infrastruktur yang rusak, ekonomi yang terpuruk, dan tantangan politik dalam negeri masih menjadi beban berat bagi pemerintahan Bashar al-Assad.

Di sisi lain, meski Suriah telah terbiasa dengan arus pengungsi, pertanyaan besar masih tersisa, bagaimana negara yang dulu porak-poranda oleh perang kini akan mengelola krisis pengungsi baru? Apakah Suriah siap menjadi tempat perlindungan yang stabil untuk tetangganya, ketika masa depan domestiknya sendiri masih penuh ketidakpastian?