
Isu Kenaikan Royalti Nikel, Apa Dampaknya Bagi Saham ANTM, MBMA, dan NCKL?
- Isu tentang potensi kenaikan royalti nikel telah menjadi topik yang membayangi pergerakan harga saham emiten pertambangan logam, terutama saat harga komoditas nikel menunjukkan tren yang tidak konsisten.
Bursa Saham
JAKARTA - Isu tentang potensi kenaikan royalti nikel telah menjadi topik yang membayangi pergerakan harga saham emiten pertambangan logam, terutama saat harga komoditas nikel menunjukkan tren yang tidak konsisten.
Beberapa pemberitaan mengangkat kemungkinan pemerintah untuk menaikkan tarif royalti nikel dari 10% menjadi 15%. Meskipun demikian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan tegas membantah adanya isu tersebut.
Namun, para analis dari BRI Danareksa Sekuritas, Naura Reyhan Muchlis dan Timothy Wijaya, berpendapat bahwa potensi kenaikan royalti ini dapat mengurangi profitabilitas emiten pertambangan logam. Meskipun ESDM membantahnya, isu tersebut tetap memberikan tekanan terhadap prospek harga saham sektor ini.
- Apakah Sudah Telat Beli Bitcoin di Kisaran Harga US$100.000? Simak Ramalan Para Ahli
- Sore Ini Prabowo Reshuffle Kabinet, Berikut Daftar Pejabat yang Kemungkinan Diganti
- Profil Brian Yuliarto, Calon Mendiktisaintek dalam Reshuffle Kabinet Prabowo
Berdasarkan perhitungan BRI Danareksa Sekuritas, kenaikan royalti nikel sebesar 5% dapat berisiko menurunkan laba bersih PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) hingga 9% dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) hingga 3%, khususnya terkait dengan penjualan bijih saprolit.
Kenaikan tarif tersebut juga dapat melemahkan pertumbuhan laba bersih PT Trimegah Bangun Perkasa Tbk (NCKL) hingga 2%, dan penurunan sebesar 8% terhadap laba bersih PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) yang terkait dengan penjualan bijih limonit.
“Meskipun dampaknya terhadap perusahaan berbeda, kami menilai kenaikan royalti ini berpotensi paling merugikan ANTM dan MBMA, mengingat margin besar yang terkait dengan penjualan bijih logam,” jelas mereka.
Selain isu domestik, kebijakan pemerintah Filipina yang berencana melarang ekspor bijih nikel dalam lima tahun ke depan juga menambah tekanan terhadap sektor ini. Kebijakan tersebut dapat mengurangi pasokan bijih nikel global, yang berisiko berdampak pada penurunan pasokan nikel untuk smelter di Indonesia.
Berdasarkan RKAB yang disetujui tahun lalu, Indonesia diketahui mengimpor sekitar 10 juta ton bijih nikel dari Filipina. Meski begitu, BRI Danareksa Sekuritas menilai bahwa pelaksanaan larangan ekspor bijih nikel oleh Filipina akan menemui banyak tantangan.
Dengan adanya sejumlah faktor yang saling memengaruhi, BRI Danareksa Sekuritas mempertahankan peringkat netral untuk saham emiten logam, mengingat stagnannya harga nikel dan kelebihan pasokan nikel global yang masih berlangsung.
Di sisi lain, saham dengan prospek terbaik di sektor logam adalah PT Timah Tbk (TINS), yang direkomendasikan untuk dibeli dengan target harga Rp2.300. NCKL juga direkomendasikan beli dengan target harga Rp1.500, dan ANTM dengan target harga Rp2.000.
Selain itu, BRI Danareksa Sekuritas juga merekomendasikan untuk membeli saham MBMA dengan target harga Rp530, saham PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) dengan target harga Rp2.400, dan mempertahankan saham INCO dengan target harga Rp3.900.