Kartu BPJS Kesehatan. / Facebook @BPJSKesehatanRI</p>
Nasional

Iuran BPJS Jangan Naik, Benahi Saja Internalnya

  • JAKARTA – Saleh Partaonan Daulay, anggota Komisi IX DPR RI dari fraksi PAN meminta pemerintah membatakan Peraturan Presiden (Perpres) 64/2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Alih-alih menaikkan iuran, Saleh berpendapat pemerintah perlu membenahi internal BPJS terlebih dahulu. Seperti memperbaiki masalah pendataan kepesertaan, fraud, pelayanan di fakes-faskes, ketersediaan kamar untuk rawat inap, […]

Nasional
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Saleh Partaonan Daulay, anggota Komisi IX DPR RI dari fraksi PAN meminta pemerintah membatakan Peraturan Presiden (Perpres) 64/2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Alih-alih menaikkan iuran, Saleh berpendapat pemerintah perlu membenahi internal BPJS terlebih dahulu. Seperti memperbaiki masalah pendataan kepesertaan, fraud, pelayanan di fakes-faskes, ketersediaan kamar untuk rawat inap, stock obat, dan persoalan birokrasi yang kadang-kadang berbelit akibat banyaknya aturan yang dikeluarkan.

“Waktu itu, kita merasakan belum tepat waktunya untuk menaikkan iuran. Kemampuan ekonomi masyarakat dinilai rendah. Kan aneh sekali, justru pada saat pandemi COVID-19 ini pemerintah malah menaikkan iuran. Padahal, semua orang tahu bahwa masyarakat dimana-mana sedang kesusahan,” kata Saleh dalam keterangan resminya, Jumat, 15 Mei 2020.

Ada beberapa alasan fundamental mengapa perpres itu perlu dibatalkan. Pertama, perpres itu dinilai tidak mengindahkan pendapat dan anjuran yang disampaikan oleh DPR. Sebelumnya, Saleh menyatakan bahwa DPR telah menyampaikan keberatannya terhadap rencana kenaikan itu melalui rapat-rapat di Komisi IX dan rapat-rapat gabungan Komisi IX bersama pimpinan DPR.

Kedua, pemerintah dapat dinilai tidak patuh pada putusan Mahkamah Agung Nomor 7/P/HUM/2020 yang membatalkan Perpres 75/2019. Dia mengkhawatirkan opini masyarakat yang dapat menuduh pemerintah dianggap menentang putusan peradilan. Padahal, putusan MA bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada Presiden.

“Kalau mau lebih spesifik, kita bisa merujuk pada pasal 31 UU tentang MA yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal ini mengamanatkan dua hal. Pertama, sesuatu yang dibatalkan berarti tidak dapat digunakan lagi. Kedua, kalau sudah dibatalkan tidak boleh dibuat lagi. Apalagi, substansinya sama, yaitu kenaikan iuran”.

Bagi mantan ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah itu, Perpres baru ini mencerminkan kekuasaan eksekutif yang jauh melampaui legislatif dan yudikatif. Dia menyayangkan hal tersebut mengingat di dalam negara demokrasi, eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kedudukan yang sama tinggi dan keputusan ketiga lembaga itu harus saling menguatkan, bukan saling mengabaikan.

Ketiga, dikeluarkannya Perpres 65/2020 itu diyakini akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Pasalnya, masyarakat banyak sekali yang berharap agar pemerintah mengikuti putusan MA. Namun kenyataannya, pemerintah malah kembali menaikkan.

Keempat, kenaikan iuran yang diamanatkan dalam perppu 64/2020 dinilai belum tentu menyelesaikan persoalan defisit BPJS Kesehatan. Apalagi, kenaikan iuran ini belum disertai dengan kalkulasi dan proyeksi kekuatan keuangan BPJS pasca kenaikan. Patut diduga, bahwa kenaikan iuran ini hanya menyelesaikan persoalan keuangan BPJS sesaat saja.

“Kalau iuran naik, bisa saja orang-orang akan ramai-ramai pindah kelas. Kelas I dan II bisa saja mutasi kolektif ke Kelas III. Selain itu, bisa juga orang enggan untuk membayar iuran. Bisa juga orang tidak mau mendaftar jadi peserta mandiri. Dan banyak lagi kemungkinan lain yang bisa terjadi sebagai konsekuensi dari kenaikan iuran ini. Kalau semua itu terjadi, pasti akan berdampak pada kolektabilitas iuran dan penghasilan BPJS.”