Jabatan Ketua Dilucuti, Anwar Usman Masih Hakim Konstitusi
- MKMK juga memerintahkan kepada wakil ketua MK agar dalam waktu 2x24 jam segera memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan MK yang baru sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Nasional
JAKARTA - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membacakan putusan terkait dugaan pelanggaran kode etik oleh Hakim MK dalam sidang yang digelar Selasa 7 November 2023. Sidang yang berlangsung sejak pukul 16.00 WIB dipimpin oleh Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dengan didampingi dua anggota MKMK lainnya, Wahiduddin Adams dan Bintan R Saragih di Gedung MK.
Dalam amar putusan tersebut, MKMK menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) kepada Anwar Usman. MKMK juga memerintahkan kepada wakil ketua MK agar dalam waktu 2x24 jam segera memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan MK yang baru sebagaimana diatur dalam undang-undang.
“Memutuskan Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan,” ucap Jimly dalam membacakan putusan, dipantau secara daring melalui saluran Youtube Mahkamah Konstitusi.
- Samsung Luncurkan Galaxy M34 5G, Diklaim Cocok untuk Digital Native
- China Berhasil Tanam Selada dan Tomat di Ruang Angkasa
- Laba Bersih Bank Amar Meroket hingga 193 Persen pada Kuartal III-2023
Jimly dalam membacakan amar putusan tersebut juga menjatuhkan sanksi kepada Anwar Usman bahwa dirinya tidak berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK hingga masa jabatannya sebagai Hakim Konstitusi habis. Terakhir, MKMK menjatuhkan sanksi kepada Anwar Usman bahwa dirinya tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan perselisihan hasil pemilu.
Perselisihan pemilu yang dimaksud meliputi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan Gubernur, Wali Kota, dan Bupati yang berpotensi menimbulkan timbulnya benturan kepentingan.
Dalam kesimpulan yang dibacakan terdapat beberapa hal yang tidak dapat dibuktikan terkait laporan oleh pelapor. MKMK tidak menemukan cukup bukti terkait adanya pelanggaran prosedur yang diperintahkan oleh Anwar Usman dalam proses pembatalan pencabutan permohonan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Selain itu, MKMK juga tidak menemukan cukup bukti terkait Anwar Usman berbohong dalam ketidakhadirannya dalam RPH.
- Ukraina Kian Dekat Menuju Keanggotaan Uni Eropa
- Sambut IKN, Balikpapan Kembangkan Sistem Bus Rapid Transit Terpadu
- Profil Anthony Tan, Bos Grab yang Tersandung Isu Dukung Israel
Namun demikian, MKMK menemukan beberapa pelanggaran yang terbukti dilakukan oleh Anwar Usman. “Hakim terlapor tidak menjalankan fungsi kepemimpinan secara optimal sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Penerapan Angka 5,” ucap Jimly. Anwar Usman juga terbukti sengaja membuka intervensi pihak luar dalam pengambilan putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Selain itu, ceramah Anwar Usman di Universitas Islam Sultan Agung Semarang berkaitan erat dengan substansi perkara batas usia Capres Cawapres sehingga terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama dan Prinsip Ketakberpihakan. Dalam kesimpulan itu, Jimly juga memaparkan bahwa MKMK tidak berwenang dalam menilai putusan MK soal Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Putusan tersebut juga diwarnai dengan adanya dissenting opinion (perbedaan pendapat) dari anggota MKMK, Bintan R Saragih. Dirinya menyatakan bahwa memberikan putusan sesuai aturan dan tingkat pelanggaran etik yang dilakukan. Bintan menyatakan memberikan sanksi pemberhentian tidak hormat sebagai Hakim Konstitusi kepada Anwar Usman dalam dissenting opinion yang diajukannya.
Tak Pengaruhi Gibran Maju Cawapres
Diputuskannya kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan Hakim MK oleh MKMK pada hari ini tidak mempengaruhi Gibran yang telah mendaftarkan diri sebagai Calon Wakil Presiden. Pasalnya, dalam putusan yang dibacakan oleh Jimly Asshiddiqie, MKMK tidak berwenang menilai putusan MK soal Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagaimana tercantum dalam nomor pertama kesimpulan putusan tersebut.
Dengan begitu, putusan MK Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia Capres-Cawapres masih tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum tetap. Oleh karenanya, setiap orang yang belum berusia genap 40 tahun namun telah berpengalaman sebagai kepala daerah dapat mencalonkan diri sebagai Capres atau Cawapres.