logo
Mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra. (Reuters/Athit Perawongmetha)
Nasional

Jadi Dewan Penasihat Danantara, Inilah Profil dan Kontroversi Thaksin Shinawatra

  • Kepala BPI Danantara Rosan Perkasa Roeslani menunjuk Mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, sebagai anggota Dewan Penasihat Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) pada Senin, 24 Maret 2025.

Nasional

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Kepala BPI Danantara Rosan Perkasa Roeslani menunjuk Mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, sebagai anggota Dewan Penasihat Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) pada Senin, 24 Maret 2025.

Rosan menegaskan pemilihan pengurus Danantara telah melalui proses seleksi yang ketat, dengan melibatkan tiga perusahaan jasa konsultan atau headhunter.

Dia menyebut Presiden Prabowo Subianto tidak menolak nama-nama yang diusulkan sebagai calon pengurus Danantara setelah mempertimbangkan latar belakang para kandidat.

Terkait hal itu, siapa sebenarnya sosok Thaksin Shinawatra?

Profil Thaksin Shinawatra

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Akademi Kepolisian Thailand, Thaksin melanjutkan studi di Amerika Serikat dan memperoleh gelar magister serta doktor di bidang peradilan pidana.

Sekembalinya ke Thailand, ia memulai karier sebagai perwira polisi sebelum beralih ke dunia bisnis, mendirikan perusahaan telekomunikasi sukses, Advanced Info Service (AIS), serta konglomerat Shin Corporation pada 1987.

Mantan polisi yang beralih menjadi taipan telekomunikasi, Thaksin memanfaatkan kekayaannya yang besar untuk mendanai pencalonan politik pertamanya yang sukses pada 2001. Ia menarik dukungan dari wilayah pedesaan di utara dan timur laut melalui berbagai kebijakan di bidang kesehatan dan ketenagakerjaan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan serta pendapatan masyarakat.

Dikenal berkat kebijakan populis dan perannya dalam memodernisasi perekonomian Thailand, Thaksin menjadi tokoh berpengaruh di negaranya. Selama masa kepemimpinannya, Thailand mengalami pertumbuhan ekonomi serta kemajuan dalam layanan kesehatan dan pendidikan. Namun, reputasinya turut tercoreng oleh tuduhan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Dilansir dari Al Jazeere, sebagai pemimpin Partai Thai Rak Thai, Thaksin menjadi perdana menteri Thailand pertama yang berhasil menyelesaikan satu masa jabatan penuh dan kembali terpilih dengan kemenangan telak pada 2005.

Thaksin dikenal dengan kebijakan populis yang berfokus pada pengentasan kemiskinan, pengembangan infrastruktur, pemberdayaan usaha kecil dan menengah, serta implementasi program perawatan kesehatan universal.

Namun, pemerintahannya juga dipenuhi kontroversi, termasuk pendekatan tegas terhadap pemberontakan di wilayah selatan yang mayoritas Muslim serta kebijakan perang melawan narkoba yang menyebabkan ribuan korban jiwa.

Lahir pada Juli 1949 di Chiang Mai, kota di utara Thailand, Thaksin berasal dari keluarga terkemuka keturunan Tionghoa. Ia memulai bisnis kecil sebagai dealer komputer pada 1987 dan mengembangkannya menjadi Shin Corporation, konglomerat telekomunikasi terbesar di Thailand.

Thaksin pertama kali memasuki dunia politik pada 1994 ketika ditunjuk sebagai menteri luar negeri. Namun, ia hanya menjabat selama tiga bulan sebelum pemerintahan saat itu runtuh. Pada tahun berikutnya, ia berhasil memenangkan kursi legislatif di Bangkok dan menjadi pemimpin Partai Palang Dharma.

Ketika Partai Palang Dharma bergabung dalam koalisi pemerintahan Perdana Menteri Banharn Silpa-archa pada 1995, Thaksin diangkat sebagai wakil perdana menteri. Ia kembali menduduki posisi yang sama pada 1997 di bawah pemerintahan Chavalit Yongchaiyudh.

Pada 9 Februari 2001, Raja Bhumibol Adulyadej mengangkatnya sebagai perdana menteri Thailand. Namun, masa jabatannya hampir terancam berakhir ketika Komisi Anti-Korupsi Nasional Thailand menuntutnya di Mahkamah Konstitusi atas tuduhan menyembunyikan aset pada 3 April 2001.

Pada 2006, ketika menghadiri Sidang Umum PBB di Amerika Serikat, Thaksin digulingkan melaui kudeta militer.

Setelah itu, Thaksin menghabiskan 15 tahun dalam pengasingan untuk menghindari tuntutan hukum atas dugaan korupsi. Meski berada di luar negeri, ia tetap memiliki pengaruh kuat dalam politik Thailand melalui partai-partai yang berafiliasi dengannya serta anggota keluarganya yang aktif di pemerintahan.

Pada 2023, Thaksin kembali ke Thailand dan menjalani hukuman penjara singkat sebelum memperoleh pembebasan bersyarat.

Kepulangannya bertepatan dengan terpilihnya putri bungsunya Paetongtarn Shinawatra, sebagai Perdana Menteri Thailand termuda pada Agustus 2024. Paetongtarn melanjutkan jejak politik keluarga Shinawatra, yang sebelumnya juga dijalankan oleh Yingluck Shinawatra, adik perempuan Thaksin, yang menjabat sebagai perdana menteri dari 2011 hingga 2014.

Pada Desember 2024, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, menunjuk Thaksin sebagai penasihat informal untuk mendukung kepemimpinan Malaysia di ASEAN pada 2025.

Penunjukan ini bertujuan memanfaatkan pengalaman Thaksin sebagai tokoh politik dalam memperkuat visi ASEAN. Anwar meyakini bahwa kontribusi Thaksin akan memberikan dampak positif bagi Malaysia selama masa kepemimpinannya di ASEAN.

Thaksin tetap menjadi sosok berpengaruh sekaligus kontroversial dalam politik Thailand. Para pendukungnya menyanjung kebijakan populisnya yang dinilai berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, para kritikus menuduhnya bersikap otoriter dan terlibat dalam praktik korupsi.

Kembalinya Thaksin ke arena politik, baik secara langsung maupun melalui peran keluarganya, terus membentuk dinamika politik Thailand dan kawasan Asia Tenggara. Namun, mengingat rekam jejak politiknya yang kompleks, peran barunya juga berpotensi memicu beragam reaksi dan menjadi sorotan di tingkat internasional.

Kontroversi Thaksin Shinawatra

Berikut beberapa kontroversi yang melibatkan Thaksin:

1. Kasus Penyembunyian Kekayaan

Thaksin menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand pada 9 Februari 2001. Namun, jauh sebelum itu, ia telah menghadapi tuduhan serius terkait penyembunyian aset. Pada 1997, saat menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Thaksin diduga gagal melaporkan kekayaan senilai sekitar 2,37 miliar baht.

Kasus ini dikenal sebagai “Stock Hiding Case,” di mana Thaksin dituduh mengalihkan kepemilikan saham kepada staf rumah tangga dan perantara untuk menyembunyikan asetnya, tindakan yang dianggap melanggar Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (B.E. 2542).

2. Kasus Penjualan Saham Shin Corporation ke Temasek Holdings dan Kudeta

Salah satu skandal terbesar yang melibatkan Thaksin terjadi pada 23 Januari 2006, ketika ia menjual saham Shin Corporation kepada perusahaan Singapura, Temasek Holdings. Dari transaksi ini, keluarga Shinawatra meraup keuntungan sebesar 73 miliar baht.

Penjualan tersebut memicu kemarahan publik karena saham yang dijual dianggap sebagai aset nasional yang seharusnya tidak jatuh ke tangan asing. Transaksi ini dilakukan dengan memanfaatkan celah hukum yang membebaskan penjualan saham di bursa efek dari kewajiban pajak.

Tindakan ini memicu gelombang protes besar yang dipimpin oleh Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD). Demonstrasi yang berlangsung selama berbulan-bulan akhirnya mendorong Thaksin membubarkan parlemen pada 24 Februari 2006.

Pada 19 September 2006, saat Thaksin di New York untuk menghadiri sidang PBB, militer Thailand melancarkan kudeta dan mengambil alih pemerintahan. Setelah kudeta, asetnya senilai 76 miliar baht dibekukan, sementara partainya, Thai Rak Thai, dibubarkan oleh pengadilan.

Thaksin kembali ke Thailand pada 28 Februari 2008 setelah partai pendukungnya, People’s Power Party, memenangkan pemilu. Namun, setelah menghadiri Olimpiade Beijing pada tahun yang sama, ia memilih melarikan diri dari Thailand dan kemudian dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Sejak saat itu, Thaksin menjalani kehidupan di pengasingan selama 15 tahun. Pada 2009, pihak berwenang Thailand mengeluarkan surat penangkapan internasional terhadapnya.

3. Kasus Penyalahgunaan Kekuasaan

Pada Oktober 2008, Thaksin dijatuhi hukuman dua tahun penjara atas kasus konflik kepentingan terkait pembelian tanah oleh istrinya saat itu, Khunying Potjaman na Pombejra. Pada tahun 2003, ketika Thaksin masih menjabat sebagai perdana menteri, istrinya memenangkan lelang untuk membeli tanah milik negara yang berlokasi di pusat kota Bangkok.

Meskipun telah divonis bersalah, Thaksin tidak menjalani hukumannya karena melarikan diri ke luar negeri dan berhasil menghindari hukuman selama lebih dari satu dekade.

4. Kasus Penghinaan Terhadap Raja Thailand

Mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra menghadapi tuduhan penghinaan terhadap Kerajaan Thailand, di mana kritik terhadap monarki dilarang keras berdasarkan hukum lese-majeste.

Thaksin diduga mencemarkan nama baik keluarga kerajaan dalam wawancara dengan sebuah surat kabar Korea Selatan pada 21 Mei 2015. Dalam wawancara tersebut, ia menuding anggota dewan rahasia terlibat dalam mendukung kudeta tahun 2014 yang menggulingkan pemerintahan adiknya, Yingluck Shinawatra.

Menurut kepolisian, pernyataan Thaksin dalam wawancara itu dianggap melanggar Pasal 112 KUHP, yang dikenal sebagai undang-undang lese-majeste, serta Undang-Undang Kejahatan Komputer.

5. Kasus Suvarnabhumi Airport

Thaksin juga dikaitkan dengan dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Bandara Suvarnabhumi, yang resmi dibuka pada 28 September 2006, hanya satu minggu setelah ia digulingkan melalui kudeta militer. Meski penyelidikan awal tidak menemukan bukti konkret keterlibatan Thaksin dalam praktik korupsi, pengelolaan bandara tersebut dinilai penuh dengan konflik kepentingan.

Setelah 15 tahun hidup di pengasingan, Thaksin kembali ke Thailand pada 22 Agustus 2023. Namun, setibanya di negara itu, ia langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Pada tahun 2024, ia menerima pengampunan kerajaan dan dibebaskan dari tahanan.

6. Kampanye Perang Melawan Narkoba 

Pada 14 Januari 2003, Thaksin meluncurkan kampanye Perang Melawan Narkoba dengan target memberantas peredaran narkoba dalam tiga bulan. Kebijakan ini menyebabkan 2.275 kematian akibat eksekusi di luar hukum (extrajudicial killings) dalam periode tersebut.

Menurut laporan Human Rights Watch, sebagian besar korban tidak memiliki keterkaitan langsung dengan perdagangan narkoba dan hanya menjadi sasaran dalam daftar hitam yang disusun pemerintah.

Thaksin membantah tuduhan tersebut, dengan menyatakan eksekusi dilakukan oleh jaringan narkoba untuk membungkam mereka yang dianggap sebagai ancaman.

Namun, hasil investigasi Human Rights Watch serta panel independen yang dibentuk setelah kudeta 2006 menyimpulkan bahwa kematian-kematian tersebut merupakan akibat dari kebijakan keras yang diterapkan di bawah kepemimpinan Thaksin.

Thaksin juga dikritik atas penanganannya terhadap pemberontakan di wilayah selatan Thailand yang mayoritas berpenduduk Muslim. Pada tahun 2004, sebanyak 84 demonstran Muslim tewas akibat tindakan keras aparat keamanan dalam insiden Tak Bai, yang kemudian memicu kecaman dari berbagai organisasi hak asasi manusia internasional.