Jadi Kontributor Utama Perekonomian Nasional, Peritel dan UMKM Malah Ditekan oleh Regulasi dan Kenaikan Cukai Rokok
- Pelaku usaha ritel serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menolak adanya kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) pada 2025.
Nasional
JAKARTA – Pelaku usaha ritel serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menolak adanya kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) pada 2025. Cukai rokok yang terus mengalami kenaikan hingga double digit setiap tahunnya telah menekan pendapatan para pelaku usaha kecil. Saat ini kontribusi pelaku usaha kecil mencapai 60% dari total PDB.
Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo) Anang Zunaedi mengatakan potensi tingginya kenaikan cukai rokok untuk tahun depan masih membayangi dan meresahkan peritel serta pelaku UMKM di Indonesia. Tingginya kenaikan cukai rokok yang terjadi tiap tahun telah menurunkan daya beli konsumen terhadap rokok bercukai. Hal ini sekaligus membuka pintu peredaran rokok ilegal di masyarakat karena permintaan konsumen terhadap rokok di Indonesia relatif sama, namun daya belinya tidak mampu mengimbangi kenaikan cukai.
“Cukai rokok yang terus-menerus naik ini hanya membuat konsumen justru beralih kepada produk tembakau tanpa cukai. Karena ketika cukai itu naik, masyarakat akan menyesuaikan untuk adaptasi belanja sesuai kemampuannya,” ujarnya kepada media belum lama ini.
- Mobil Indonesia Laris di Negara Ini, Nilai Ekspornya Capai Rp44,9 Triliun di Semester I 2024
- China-Jepang-Singapura Dominasi Impor Indonesia, Apa Saja?
- Berawal dari Upeti, Pajak Kini Sumbang Penerimaan Negara Rp2.000 Triliun
Bagi Anang, rencana kenaikan cukai rokok tahun depan hanya akan membuat fenomena rokok ilegal semakin parah dan mempersulit para pedagang kecil.
“Rokok itu menyumbang hampir 50 persen dari total penjualan para pedagang kecil, dan mayoritas semua pedagang ritel itu menjual rokok, karena ini adalah produk fast moving. Kalau ada kenaikan cukai lagi justru membuat pedagang makin lemah,” tegasnya.
Selain itu, kebijakan kenaikan cukai rokok yang tinggi belum mampu membuat pendapatan negara dari cukai hasil tembakau bertambah dan malah melemah. Dengan adanya dampak ganda ini, Anang menilai kebijakan kenaikan cukai double digit terbukti memberikan dampak negatif bagi masyarakat, pedagang kecil, maupun negara.
Sebagai pelaku usaha, AKRINDO berusaha menaati peraturan yang ada termasuk dengan tidak menjual rokok ilegal pada usahanya. Akan tetapi maraknya rokok illegal yang semakin besar kerap menggerus pendapatan usaha ritel, baik kecil maupun besar, yang berusaha untuk tetap taat pada hukum yang berlaku.
Anang berharap agar pemerintah benar-benar melalukan evaluasi atas kebijakan kenaikan cukai rokok yang telah diimplementasikan dalam beberapa tahun terakhir, agar pada tahun depan kebijakan yang ditetapkan dapat menguntungkan dan memberikan efek positif bagi semua pihak.
“Alangkah baiknya pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan yang lebih kepada ekonomi kerakyatan, sehingga nanti tercipta multiplier efect yang lebih positif,” tambahnya.
Tidak hanya potensi kenaikan cukai rokok, Anang turut mengkhawatirkan adanya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang dinilai mengancam keberlangsungan peritel maupun UMKM di seluruh Indonesia. Sebab jika disahkan, sejumlah pasal pengaturan tembakau dalam RPP Kesehatan seperti adanya jarak penjualan rokok sejauh 200 meter dari instansi pendidikan akan berdampak langsung kepada omzet para pedagang kecil.
“RPP Kesehatan yang terbaru ini sangat mengekang bagi penjual atau bagi peritel, baik koperasi maupun UMKM, di mana pembatasan tempat penjualan akan sangat mengganggu bagi kami. Padahal situasi ekonomi saat tengah melemah,” kata Anang.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI), Ali Mahsun Atmo menyesalkan apabila RPP Kesehatan disahkan dengan pasal tembakau yang berlaku, terutama berkaitan dengan larangan zonasi 200 meter yang mengancam keberlangsungan pelaku usaha kecil UMKM. Ia khawatir hal ini akan betul-betul membunuh ekonomi pedagang ke depannya.
“Selaku Ketua APKLI, saya menolak RPP Kesehatan tentang larangan zonasi 200 meter, juga larangan penjualan rokok eceran. Karena ini betul-betul akan membunuh ekonomi rakyat dan memberikan dampak signifikan terhadap omzet mereka, juga terhadap masyarakat ekonomi bawah untuk membeli rokok,” tegasnya.
Adapun terkait kenaikan cukai 2025, Ali membenarkan adanya penurunan omzet secara signifikan yang dialami oleh para pedagang kecil akibat kenaikan cukai yang tinggi. “perokok di republik ini terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Penjualnya juga banyak dari pedagang kecil dan asongan yang bergantung pada penjualan rokok,” imbuhnya.
Ali turut mengkritisi pemerintah yang terkesan hipokrit dalam menetapkan regulasi, termasuk pada kebijakan kenaikan cukai rokok double digit yang sudah berlangsung selama beberapa tahun belakangan.
“Pemerintah tidak jujur, kebijakan yang katanya untuk menekan jumlah perokok justru saya lihat ini untuk memperbesar pendapatan negara dari cukai rokok. Dari (target) Rp271 triliun nanti mungkin jadi Rp300 triliun per tahun. Nah ini yang saya bilang pemerintah double standard,” terangnya.
Di tengah tidak kondusifnya pasar akibat rokok legal yang harus bersaing dengan rokok ilegal, pedagang kecil berada pada posisi terhimpit dan terancam keberlangsungannya. Ali pun meminta pemerintah untuk tidak menaikkan cukai tahun 2025. Ia berharap kebijakan itu akan memulihkan kondusivitas pasar, serta mencegah semakin merajalelanya rokok ilegal.