Nasional

Jadi Polemik, Siapa Sebenarnya Jaka Tingkir

  • Nama Jaka Tingkir menjadi pembicaran akhir-akhir ini. Sebuah lagu berjudul Jaka Tingkir Ngomber Dawet menjadi hits tetapi juga memunculkan kontroversi.
Nasional
Amirudin Zuhri

Amirudin Zuhri

Author

JAKARTA-Nama Jaka Tingkir menjadi pembicaran akhir-akhir ini. Sebuah lagu berjudul Jaka Tingkir Ngomber Dawet menjadi hits tetapi juga memunculkan kontroversi. Lagu itu dianggap tidak sopan karena tidak menghormati seorang sosok besar Jawa. Siapa sebenarnya Jaka Tingkir ini? 

Jaka Tingkir diperkirakan lahir tahun 1549 dengan nama  asli Mas Karebet. Dia adalah putra dari Ki Kebo Kenanga atau yang juga dikenal sebagai Ki Ageng Pengging. Disebut ki Ageng Pengging karena dia menjadi penguasa Pengging. Sebuah daerah yang berada di Kabupaten Boyolali Jawa Tengah.

Sedang asal usul nama Karebet karena dia lahir saat Kebo Kenanga menanggap pagelaran wayang karebet.

Karebet masih keturunan dari Brawijaya V. Karena ayah dari Kebo Kenanga yakni Handayaningrat dinikahkan dengan Pembayun, putri  Raja Majapahit tersebut.

Tetapi Brawijaya V sendiri juga nama yang dipertanyakan. Meski begitu populer di kalangan masyarakat terutama Jawa, nama itu sebenarnya tidak muncul dalam berbagai catatan resmi ataupun prasasti. 

Sejumlah ahli meyakini Brawijaya V adalah Kertabumi. Nama Brawijaya yang berarti Bhre Wijaya sebenarnya mulai digunakan oleh Kertawijaya raja Majapahit yang berkuasa  1447-1451.  Dari sini kemudian nama itu disematkakn ke raja-raja berikutnya hingga Kertabumi yang berkuasa pada 1468 -1478.

Dan berbeda dengan pendapat umum, Kertabumi atau Brawijaya V bukan raja terakhir Majapahit. Yang benar dia adalah raja Majapahit terakhir yang pusat kekuasaanya ada di Trowulan Mojokerto Jawa Timur. 

Pada tahun 1478 Girindrawardhana merebut kekuasaan dari Brawijaya V dan kemudian memindahkan pusat kekuasaan ke Daha di Kediri. Sampai kemudian pada tahun 1527 kerajaan ini diserbu oleh Raden Patah dari Demak. Dan itulah akhir dari Mapahit.

Pada saat Majapahit diserang dan dihancurkan Girindrawardhana putra-putra  Brawijaya V menyingkir dan tercerai berai ke banyak daerah. Bahkan Brawijaya juga dipercaya  juga melarikan diri hingga pegunungan seribu di pesisir selatan Jawa.

Sekarang kita kembali ke Mas Karebet. Kebo Kenanga, ayah Karebet adalah murid dari Syech Siti Jenar atau Abdul Jalil atau Syeh Lemah Abang. Tokoh yang juga memiliki banyak versi dalam sejarah. Babat Tanah Jawi menyebut Syeh Siti Jenar adalah wali yang menyelewengkan ajaran Islam. Hingga kemudian dihukum mati oleh dewan Wali.

Tetapi catatan lain menyebut hal yang berbeda. Ini bisa anda baca di Novel Suluk Sang Pembaharu karya Agus Sunyoto. Meski bentuknya novel, buku ini didasarkan pada ratusan catatan sejarah yang dia dapat terutama versi sejarah Cirebon.

Dalam buku itu dikisahkan yang dibunuh wali bukanlah Syeh Siti Jenar. Tetapi orang yang mengaku dirinya sebagai Syeh Siti Jenar. Bahkan ada tiga syeh siti jenar palsu yang dibunuh dengan dua di antaranya dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Syarif Hidyatullah. Sementara Syeh Siti Jenar tetap hidup menyepi di tempat kelahirannya di daerah Caruban. 

Dalam versi ini bahkan Sunan Kalijaga dan Syarif Hidayatullah adalah murid utama dari Syeh Siti Jenar. Untuk lebih jelasnya anda bisa membaca Suluk Sang Pembaru karya Agus Sunyoto. Buku yang secara detil membahas Syeh Siti Jenar dari kelahirannya, ajarannya hingga akhir hidupnya.

Kembali ke Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging yang merupakan murid dari Syeh Siti Jenar. Sebagai penguasa Pengging, dia menolak untuk tunduk kepada Demak. Sebenarnya masuk akal karena keberadaan Pengging sendiri jauh lebih tua dari Demak. Bahkan Majapahit. Pengging awalnya adalah kerajaan yang sudah ada sejak jaman Mataram Kuno. 

Kalau Anda pernah mendengar legenda  Bandung Bandawasa yang disebut membangun Candi Prambanan ini juga berkaitan dengan Pengging. Pemuda sakti yang mencintai Roro Jongrang itu dikisahkan berasal dari Pengging.

Hingga Handayaningrat atau ayah Kebo Kenanga,  Pengging masih berstatus kerajaan. Hingga Kebo Kenanga mengubahnya hanya menjadi semacam padepokan. Handayaningrat atau raja terakhir Pengging juga dikenal sangat setia kepada Majapahit. Inilah yang menjadikan Pengging enggan tunduk pada Demak.

Tetapi konsekuensinya Ki Ageng Pengging dihukum mati oleh Demak. Meski lagi-lagi versi Agus Sunyoto, Kebo Kenanga tetap hidup bersama gurunya Syeh Siti Jenar di Caruban.

Hidup di Tingkir dan Berguru ke Ki Ageng Selo

Ketika Ki Ageng Pengging meninggal, Karebet masih anak-anak. Hingga kemudian dirawat oleh Nyai Ageng Tingkir. Ki Ageng Tingkir suaminya masih saudara sepupu dengan Ki Ageng Pengging. Namun dia juga sudah meninggal saat Karebet dibawa ke Tingkir. 

Seperti Pengging, Tingkir juga nama sebuah wilayah. Daerah ini terletak di pegunungan Salatiga yang berbatasan dengan Boyolali. Tingkir sekitar 80 km utara Pengging. Jadi kalau misal naik pedati mungkin butuh waktu satu hari untuk menempuhnya. Mulai saat itulah Mas Karebet kemudian dikenal sebagai Jaka Tingkir. 

Selanjutnya Jaka Tingkir berguru kepada Ki Ageng Selo. Selo juga nama daerah yang ada di lereng Merbabu daerah Boyolali. Sekitar 60 km barat Pengging.  Ki Ageng Selo juga masih keturunan Brawijaya V dari garis Bondan Kejawen yang memiliki anak Getas Pandawa dan kemudian menurunkan  Ki Ageng Selo, 

 Ki Ageng Selo memiliki cucu yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Pemanahan. Ini adalah anak dari Ki Ageng Ngenis. Juga ada Ki Penjawi yang merupakan anak angkat Ki Ageng Ngenis. Saat berguru itulah ketiga orang tersebut yakni Jaka Tingkir, Pemanahan dan Penjawi bersahabat. Bahkan dipersaudarakan.

Setelah berguru Jaka Tingkir kemudian pergi ke Demak dan akhirnya diterima sebagai seorang prajurit. Namun saat itu Demak tidak lagi dipimpin Raden Patah. Tetapi Sultan Trenggono. Dia adalah raja ketiga Demak karena Pati Unus yang menjadi raja kedua menggantikan Raden Patah tidak berkuasa lama. Dia wafat setelah melakukan serangan ke Malaka.

Karier Jaka Tingkir  terus naik hingga menjadi salah satu pimpinan pasukan khusus pengawal raja. Namun dia juga mendapat sejumlah cela termasuk mengganggu putri raja dan membunuh sesama prajurit. Jaka Tingkir bahkan sempat diusir dari Demak oleh Trenggono. Hingga kemudian dengan intrik yang dikenal sebagai kebo Danu dia bisa kembali ke Kraton dan bahkan diangkat sebagai menantu trenggono. 

Kebo Danu dipercaya sebagai seekor kerbau  yang sengaja dibuat gila oleh Jaka Tingkir yang kemudian dia mengamuk di Demak.Dan akhirnya Jaka Tingkir yang bisa menundukkannya. Tetapi juga ada pendapat Kebo Danu adalah gambaran seorang manusia yang oleh Jaka Tingkir diskenario mengancam Demak. Dan saat itulah Jaka Tingkir tampil jadi pahlawan dengan mengalahkannya. Gambaran ini yang digunakan SH Mintarja saat menulis novel Naga Sasra Sabuk Inten yang berlatar pada sejarah Demak. Skuel Kebo Danu digambarkan adalah pertempuran antara Jaka Tingkir dan Arya Saloka. Dua sosok yang sebenarnya bersahabat.

Konflik Tahta Demak

Ketika Trenggono wafat pada 1546  saat menyerang ke wilayah Jawa Timur, kursi tahta Demak kemudian menjadi panas.  Sultan Prawoto, putra Trenggono naik tahta tetapi dia hanya berkuasa sekitar tiga tahun yakni sampai 1549. Dia wafat karena dibunuh oleh orang yang disebut sebagai utusan Arya Penangsang.

Siapa Arya Penangsang? Dia adalah putra Pangeran Sekar. Kakak dari Trenggono yang berarti sama-sama putra Raden Patah. Ketika Pati Unus wafat, Raden Kinkin atau Pangeran Sekar merasa lebih berhak menjadi raja. Tetapi kemudian dia dibunuh oleh Prawoto. Putra pertama Trenggono. Menggunakan keris Setan Kober, Raden Kinkin meninggal di tepi sungai hingga kemudian dikenal sebagai Pangeran Seda Lepen.

Ketika Trenggono wafat, kemudian Arya Penangsan yang merupakan putra Sekar Seda Lepen disebut menuntut hak menjadi raja. Bahkan juga dengan Keris Setan Kober dia mengutus orang menghabisi Sultan Prawoto. Tetapi entah bagaimana yang naik tahta setelah Prawoto adalah Jaka Tingkir atau Mas Karebet yang saat itu menjadi Adipati Pajang. 

Ada yang menyebut Karebet naik tahta karena dua anak Trenggono yang lain adalah perempuan. Ada satu laki-laki yang bernama Raden Timur tetapi dianggap tidak layak menjadi raja. Untuk diketahui saat itu pengangkatan raja Demak harus melalui persetujuan dari dewan wali sanga yang saat itu diketuai Sunan Kudus. 

Tetapi ada versi lain yang menyebut bahwa Arya Penangsang yang saat itu menjadi Adipati Jipang memang yang paling berhak menjadi raja. Bahkan dewan wali telah menyetujuinya. Tetapi pada akhirnya Karebetlah yang naik menjadi tahta.  

Setelah berkuasa Jaka Tingkir kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya dan memindahkan pusat kekuasaan ke Pajang. Sebuah daerah yang sekarang ada di wilayah Solo Jawa Tengah.

Arya Penangsang dikisahkan terus mengobarkan perang. Pada masa ini nama Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Penjawi muncul lagi. Saat itu Hadiwajaya melakukan sayembara siapa yang bisa mengkhiri perlawanan Arya Penangsang maka akan mendapat tanah pardikan. Tanah pardikan adalah daerah yang masih menjadi bagian dari sebuah kerajaan, tetapi dia tidak wajib membayar pajak.

Dengan skenario yang disusun Pemanahan dan Penjawi, Danang Sutawijaya akhirnya bisa mengakhiri hidup Arya Penangsang. Sutawijaya adalah putra Pemanahan tetapi diangkat anak oleh Hadiwijaya. Sutawijaya juga dikenal dengan sebutan Mas Ngabehi Loring Pasar.

Atas keberhasilan ini Pemanahan dan Penjawi mendapat hadiah tanah pardikan. Penjawi mendapatkan wilayah Pati yang sudah berkembang. Sementara Pemanahan mendapat Alas Mentaok. Daerah yang pada suatu hari nanti tempat berdirinya  kerajaan mataram dengan raja pertamanya Sutawijaya dan bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga.

Hadiwijaya sendiri berkuasa dari tahun 1568-1582 atau sekitar 14 tahun. Pada akhir kekuasaanya Pajang berkonflik dengan Mataram yang dipimpin Senopati. Saat menyerang Mataram Hadiwijaya dikabarkan jatuh dari gajah tunggangannya. Dia sempat dibawa pulang k Pajang sebelum kemudian meninggal dunia. 

Trenggono  memilik putra bernama Raden Benawa. Tetapi menolak menjadi raja karena tidak suka dengan keduniaan. Akhirnya kekuasaan Pajang berakhir dan Mataram menjadi pusat kekuasaan di Jawa saat itu.  (Dari berbagai sumber)