Bank Indonesia (BI).
Makroekonomi

Jaga Rupiah, BI Pertahankan Suku Bunga di 6 Persen

  • Fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah, dari dampak tingginya ketidakpastian ekonomi global akibat arah kebijakan Amerika Serikat (AS) serta eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai wilayah

Makroekonomi

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI-Rate pada level 6% di bulan Desember 2024. Bank sentral juga menjaga suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25% dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025. Selain itu untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. 

“Fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah, dari dampak tingginya ketidakpastian ekonomi global akibat arah kebijakan Amerika Serikat (AS) serta eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai wilayah,” ujar Perry, dalam konferensi pers, Jakarta, Rabu, 18 Desember 2024.

Ke depannya, Bank Indonesia akan terus memantau pergerakan nilai tukar rupiah, prospek inflasi, serta dinamika kondisi ekonomi yang berkembang, untuk memanfaatkan peluang penurunan suku bunga dalam kebijakan lanjutan.

Sementara, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial yang longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit atau pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas yang mendukung pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, termasuk UMKM dan ekonomi hijau.

Ini dilakukan melalui penguatan strategi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang mulai diberlakukan pada Januari 2025, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Kebijakan sistem pembayaran juga difokuskan untuk mendorong pertumbuhan, terutama di sektor perdagangan dan UMKM, dengan memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas penerimaan digitalisasi dalam sistem pembayaran.

Perlu diketahui, BI Rate tetap bertahan di angka 6% memasuki bulan ketiga. Perubahan BI Rate terjadi dalam Rapat Dewan Gubernur BI pada 17-18 September 2024, yang memutuskan penurunan BI Rate sebesar 25 bps, dari 6,25% menjadi 6%.

Sementara, pada September 2024, suku bunga Deposit Facility menjadi 5,25%, dan suku bunga Lending Facility turun 25 bps menjadi 6,75%. Kebijakan ini diambil untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

“Ketidakpastian pasar keuangan global semakin meningkat, disertai dengan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Rencana kebijakan perdagangan di AS, yang mencakup kenaikan tarif impor, komoditas, dan perluasan cakupan negara, telah meningkatkan risiko fragmentasi perdagangan global,” ucap Perry.

Perkembangan ini, ditambah dengan eskalasi ketegangan geopolitik di banyak negara, diperkirakan akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2025 melambat menjadi 3,1%, turun dari 3,2% pada 2024.

Di sisi lain, inflasi global mengalami peningkatan dibandingkan perkiraan sebelumnya, yang dipengaruhi oleh gangguan rantai suplai. DAiperburuk dengan potensi penurunan suku bunga bank sentral AS, yaitu Fed Funds Rate (FFR), yang berpotensi lebih lambat akibat inflasi yang lebih tinggi.

Di sisi lain, kebijakan fiskal AS yang lebih ekspansif mendorong yield US Treasury tetap tinggi, baik untuk tenor jangka pendek maupun jangka panjang. Akibatnya, penguatan dolar AS secara luas terus berlanjut, disertai dengan perubahan preferensi investor global yang mengalihkan alokasi portofolionya kembali ke AS.

“Kondisi ini memperburuk tekanan pelemahan berbagai mata uang dunia dan menghambat aliran modal asing ke negara berkembang. Nilai tukar rupiah pun ikut terdepresiasi dalam hingga saat ini,” kata Perry.

Pada Desember 2024 (hingga 17 Desember 2024), nilai tukar rupiah melemah sebesar 1,37% (ptp) dari bulan sebelumnya.

Pelemahan ini dipengaruhi oleh meningkatnya ketidakpastian global, terutama terkait dengan arah kebijakan AS, ruang penurunan FFR yang lebih rendah, penguatan dolar AS secara luas, serta risiko geopolitik yang memperkuat preferensi investor global untuk mengalihkan portofolionya kembali ke AS.