Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat melakukan groundbreaking smelter tambang tembaga milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik, Jawa Timur. Foto: BPMI Setpres/Lukas
Industri

Jalan Panjang Smelter Freeport dari Sumbawa, ke Halmahera, dan Berakhir di Gresik

  • Pembangunan smelter ini memang menjadi salah satu kewajiban Freeport Indonesia ketika Kontrak Karya (KK) yang berlaku dari 1967 diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 2018.

Industri

Reza Pahlevi

JAKARTA – PT Freeport Indonesia (PTFI) memilih Gresik sebagai lokasi pabrik peleburan dan pemurnian atau smelter miliknya. Pada beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun melakukan groundbreaking smelter ini.

“Ini adalah sebuah kebijakan strategis terkait dengan industri tambang tembaga, setelah kita menguasai 51 persen saham Freeport,” ujar Jokowi dalam acara groundbreaking tersebut, Selasa, 12 Oktober 2021.

Pembangunan smelter ini memang menjadi salah satu kewajiban Freeport Indonesia ketika Kontrak Karya (KK) yang berlaku dari 1967 diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 2018. 

Perubahan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 1 tahun 2017 tentang perubahan keempat atas Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara.

Adanya IUPK ini mewajibkan Freeport untuk melakukan beberapa hal, antara lain adalah melakukan divestasi saham 51% untuk kepemilikan Indonesia, membangun smelter di dalam negeri, dan menyetor penerimaan negara yang lebih besar jika dibandingkan dengan penerimaan melalui KK.

Pembangunan smelter ini berarti Freeport mulai menunaikan salah satu kewajibannya tersebut. Jika mengacu pada peraturan, pembangunan smelter ini harus selesai dalam waktu lima tahun. Dengan penandatanganan IUPK dilakukan pada 2018, smelter ini seharusnya selesai pada 2023.

Rencana Sumbawa yang Gagal

Pertambangan emas dan tembaga PT Freeport Indonesia (PTFI) di bawah Holding BUMN Tambang MIND ID / Ptfi.co.id

Sebelum menjatuhkan hati di Gresik, Freeport awalnya berniat bekerja sama dengan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) untuk membangun smelter di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Lokasi ini berdekatan dengan tambang tembaga Batu Hijau yang dikelola AMNT juga.

Kontrak karya AMNT, saat itu masih bernama PT Newmont Nusa Tenggara, memang diubah menjadi IUPK bersamaan dengan Freeport. Yang berbeda adalah Freeport diambil alih oleh pemerintah Indonesia, Newmont saat itu diambil alih oleh perusahaan energi milik konglomerat yang juga menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Arifin Panigoro, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC).

Pada 2019 lalu, Amman bahkan sudah menyiapkan desain kapasitas smelter bila Freeport jadi bekerja sama. Saat itu, kapasitas smelter diperkirakan dapat mengolah 2,6 juta ton konsentrat tembaga jika Freeport ikut bergabung dalam proyek yang sama. 

Kapasitas ini jauh lebih besar dari smelter Freeport yang dibangun di Gresik saat ini. Smelter tersebut disebut dapat mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga tiap tahunnya.

Pengamat pertambangan sekaligus mantan anggota Komisi VII DPR RI 2014-2019, Kurtubi bercerita dirinya bersama rombongan Komisi VII lainnya bahkan sudah sempat mengunjungi lokasi yang menjadi rencana pembangunan smelter. Waktu itu, dirinya mengaku hadir bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu, Ignasius Jonan. 

Sayangnya, Freeport membatalkan kerja sama ini hingga rencana smelter berkapasitas raksasa tersebut kandas. 

“Padahal menurut saya, kalau smelter dibangun di Sumbawa (berbarengan dengan Amman) akan menghemat biaya pembangunan dan biaya operasi smelter,” ujar Kurtubi yang juga pernah menjabat sebagai Komisaris PT Newmont Nusa Tenggara ini.

Menurutnya, biaya operasi seperti pengangkutan hasil tambang akan lebih murah jika dibandingkan dengan ke Gresik. Ongkos yang lebih mahal ini nantinya bahkan harus dibayar non stop selama smelter beroperasi hingga puluhan tahun mendatang.

Batalnya Freeport bekerja sama dengan Amman membuat mereka akhirnya membangun smelter tembaga sendiri. Sempat diproyeksikan memiliki kapasitas pengolahan 1,3 juta ton konsentrat tembaga, kapasitas smelter Amman turun menjadi 900.000 ton. 

“Kapasitas 900.000 ton ini telah disesuaikan dari rencana kapasitas sebelumnya yang mencapai 1,3 juta ton per tahun. Penyesuaian kapasitas ini dilakukan karena adanya tantangan pembangunan akibat pandemi COVID-19,” ujar Presiden Direktur AMNT Rachmat Makkasau dalam keterangan resmi beberapa waktu lalu.

Sempat Melipir Diajak Tsingshan ke Halmahera

Proses pemurnian emas di smelter PT Aneka Tambang (Persero) Tbk alias Antam / Facebook @OfficialAntam

Selain di Sumbawa, Freeport juga sempat mendapat tawaran dari perusahaan smelter asal China, Tsingshan Group, untuk membangun smelter tembaga di Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Jika jadi, smelter ini akan melengkapi pemurnian nikel milik Tsingshan di lokasi yang sama.

Tsingshan bahkan sempat menawarkan untuk membiayai 92,5% dari total nilai proyek dan Freeport hanya butuh merogoh kocek untuk sisanya 7,5%. Dengan nilai investasi diperkirakan mencapai total US$2,5 miliar, Freeport berarti hanya mengeluarkan biaya US$187,5 juta.

Meski menguntungkan dari segi biaya, tawaran ini tidak begitu menguntungkan jika dilihat dari kepemilikan sahamnya. Jika saat itu jadi bekerja sama, Freeport hanya memiliki 30% saham smelter tersebut dan sisanya dimiliki oleh Tsingshan.

Deputi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) Septian Hario Seto sempat mengatakan kapasitas pengolahan smelter ini dapat mencapai 2,4 juta ton konsentrat tembaga. Jumlah tersebut diperkirakan dapat menghasilkan 600.000 ton katoda tembaga.

Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan smelter tersebut juga dapat menghasilkan asam sulfat yang menjadi bahan baku baterai lithium.

“Ini asam sulfat menjadi bahan baku baterai. Di satu sisi, di sana juga ada smelter nikel ore. Kalau ini sesuai rencana, smelter nikel ore sudah jalan, maka 2023 kami akan produksi lithium baterai N811,” ujar Luhut beberapa waktu lalu.

Sayang beribu sayang, rencana ini pun kandas juga. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan batalnya rencana ini karena smelter tersebut dianggap tidak lebih baik daripada rencana pembangunan di Gresik setelah dikaji.

“Tidak lebih baik daripada rencana pembangunan di JIIPE,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Mantap di Gresik

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto,dan Menteri BUMN Erick Thohir, saat melakukan groundbreaking smelter tambang tembaga milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik, Jawa Timur. Foto: BPMI Setpres/Lukas

Setelah melirik ke sana ke mari, Freeport pun akhirnya memantapkan pembangunan smelter di Gresik saja. Rencana pembangunan smelter di Gresik ini sebenarnya sudah ada sejak 2014, empat tahun sebelum perubahan KK menjadi IUPK pada 2018.

Saat itu, pihak Freeport menyebut mereka membutuhkan lahan 80 hektare untuk pembangunan smelter. Gresik dipilih karena pertimbangan jaminan infrastruktur dan industri pengguna produk sampingan smelter.

Kawasan industri Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE) milik PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) akhirnya dipilih sebagai lokasi smelter berkapasitas 1,7 juta ton konsentrat tembaga tersebut. 

Freeport akan menghabiskan dana sebesar US$3,5 miliar atau sekitar Rp42 triliun untuk membangun smelter ini. AKRA sendiri mendapatkan kontrak sewa tanah untuk pembangunan serta konstruksi infrastruktur smelter tersebut.

AKRA akan menyewakan tanah jangka panjang selama 80 tahun. Ini dibagi menjadi masa sewa awal 18 tahun, diikuti 2 tahun lagi. Selanjutnya, Freeport berhak memperpanjang selama enam periode, masing-masing 10 tahun sesuai dengan persyaratan dan ketentuan dalam perjanjian.

Corporate Secretary AKRA Suresh Vembu mengungkapkan, Freeport membutuhkan lahan dan layanan tambahan di KEK JIIPE Gresik untuk pengembangan, pembangunan, dan pengoperasian smelter.

“KEK JIIPE akan menyediakan tanah untuk disewakan serta utilitas dan layanan pendukung untuk operasional pemurnian tembaga beserta infrastruktur pendukung,” ujar Suresh dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Agustus lalu.

Selanjutnya, AKRA memberikan hak eksklusif kepada PTFI atas penggunaan dan akses infrastruktur BMS yang dibangun untuk PTFI selama 40 tahun. Infrastuktur tersebut terdiri dari dermaga khusus untuk PTFI, trestle, jembatan, dan pengambilan air laut.

Executive Director ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan pemilihan lokasi smelter di Gresik ini memang lebih masuk akal. Menurutnya, Gresik akan lebih dekat ke industri yang membutuhkan bahan baku dari hasil smelter.

“Jika dibandingkan dengan dari Halmahera, hitungan logistiknya lebih mahal ketika hasil dari smelter kebanyakan diserap di Pulau Jawa dan Sumatra,” ujar Komaidi kepada TrenAsia.com, Senin, 18 Oktober 2021.