Jalan Terjal Prabowo Tambah Populasi Kelas Menengah
- Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi pemerintahan Prabowo Subianto dapat menambah sekitar 3% populasi kelas menengah di Indonesia. Namun proyeksi tersebut tampaknya tak sejalan dengan kondisi dan sejumlah kebijakan terkini yang justru mencekik kelas menengah.
Makroekonomi
JAKARTA—Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi pemerintahan Prabowo Subianto dapat menambah sekitar 3% populasi kelas menengah di Indonesia. Namun proyeksi tersebut tampaknya tak sejalan dengan kondisi dan sejumlah kebijakan terkini yang justru mencekik kelas menengah.
Apalagi, jumlah kelas menengah di Indonesia terus menurun di periode kedua pemerintahan Joko Widodo. Bukan naik menjadi orang kaya, tapi rawan nyungsep menjadi kalangan rentan miskin. Padahal, kelompok ini sering disebut menjadi penggerak utama ekonomi nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kelas menengah menurun sejak 2019 hingga 2024. Pada 2019, jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta orang atau 21,45% dari total penduduk.
Angka itu kemudian turun menjadi 53,83 juta atau 19,82%. Jumlah kelas menengah terus turun menjadi 48,27 juta atau 17,44% pada 2023. Di 2024, jumlah kelas menengah tinggal 47,85 juta atau 17,13%. Artinya, populasi kelas menengah di Indonesia berkurang 9,48 juta orang dalam periode 2019-2024.
Sebagai informasi, kriteria kelas menengah yang dipakai pemerintah adalah mereka yang pengeluarannya berkisar 3,5-17 kali garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia atau sekitar Rp2.040.262 - Rp9.909.844 per kapita per bulan. Adapun jumlah kalangan menuju kelas menengah (calon kelas menengah) mengalami kenaikan.
Pada 2019, jumlah kelompok ini tercatat 128,85 juta atau 48,2%. Angka tersebut naik menjadi 137,5 juta atau 49,22% pada 2024. Kriteria calon kelas menengah yakni memiliki pengeluaran berkisar 1,5-3,3 kali garis kemiskinan atau sekitar Rp874.398 - Rp2.040.262 per kapita per bulan.
Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar, mengatakan modus atau nilai yang paling sering muncul dalam pengeluaran kelas menengah adalah Rp2.056.494. Artinya, populasi kelas menengah cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokan kelas menengah yang sebesar Rp2.040.262.
Hal itu, imbuh Amalia, mengindikasikan kelompok kelas menengah akan lebih sulit untuk lompat menuju kelas atas.”Dan rentan untuk jatuh ke kelompok menuju kelas menengah bahkan rentan miskin,” jelasnya dalam rapat kerja dengan DPR, dikutip dari Antara, Kamis, 29 Agustus 2024.
Menurut Amalia, data tersebut menjadi catatan penting karena kelas menengah dan calon kelas menengah akan menjadi penopang perekonomian di masa mendatang. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kelas menengah dan menuju kelas menengah yang mencapai 66,6% dari total penduduk.
Adapun nilai konsumsi pengeluarannya menembus 81,49% dari total konsumsi masyarakat. “Penguatan daya beli diperlukan ,tidak hanya untuk kelompok miskin tapi juga kelas menengah, terutama menuju kelas menengah,” ujar Amalia.
Anomali Kebijakan
Masalahnya, kebijakan pemerintah saat ini seringkali tidak linear dengan upaya menjaga daya beli kelas menengah. Sederet kebijakan perpajakan seperti kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan penyesuaian tarif baru pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 jelas menambah beban masyarakat, terutama kelas menengah.
Demikian halnya dengan penetapan kenaikan tarif cukai hasil tembakau serta penerapan cukai jenis baru seperti untuk minuan berpemanis dalam kemasan dan plastik. Tak berhenti di situ, belakangan masyarakat dibayangi pembatasan pembelian BBM bersubsidi, potensi kenaikan tarif listik hingga kenaikan tarif tol. Harga eceran tertinggi (HET) minyak dan beras juga mengalami kenaikan.
Di sektor perumahan, derita kelas menengah bakal semakin lengkap apabila pemerintah menerapkan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Peserta Tapera diketahui wajib membayar iuran sebesar 3% dari gaji ataupun upah. Belum lagi uang kuliah tunggal (UKT) yang sewaktu-waktu dapat mengalami kenaikan.
Baca Juga: Menguji Klaim Jokowi Soal Keberhasilan Bangun Ekonomi
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengingatkan kelas menengah merupakan penopang perekonomian Indonesia. Namun kondisi mereka saat ini justru menghadapi tekanan dari kebijakan pemerintah.
Bhima pun tidak kaget apabila jumlah kelompok menengah terus menyusut. “Indikator shrinking middle class atau menyusutnya kelas menengah menjadi alarm bahwa setiap inflasi biaya pendidikan, termasuk biaya perguruan tinggi, berdampak pada tekanan daya beli kelompok menengah,” terangnya.
Kelas menengah, imbuhnya, bisa semakin terhimpit apabila ada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang bisa memengaruhi berbagai kenaikan biaya hidup. Sebagai informasi, Bappenas mencanangkan pertumbuhan populasi kelas menengah sebesar 3% pada 2024-2029. Diharapkan, jumlah kelas menengah dapat menembus 80% dari jumlah populasi pada 2045.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengakui ada penurunan kelas menengah. Dia mengklaim salah satu penyebab jatuhnya kelas menengah adalah pandemi COVID-19. “Untuk menjaga kelas menengah, kami bakal mendorong pertumbuhan perekonomian yang stabil dan tinggi,” ujarnya.