Dengan selesainya proses aksi korporasi ini, Red akan resmi menjadi anak perusahaan di bawah payung Nikon.
Dunia

Jam Kerja Tak Masuk Akal, Industri Film Indonesia Butuh Reformasi

  • Rifqi Novara, Asisten Sutradara dua, meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas di Jakarta Selatan. Rifqi, yang dalam perjalanan pulang setelah proses pra-produksi, diduga mengalami kecelakaan akibat kelelahan kerja Kejadian ini menyoroti masalah mendasar dalam industri film Indonesia: waktu kerja yang berkepanjangan.

Dunia

Ilyas Maulana Firdaus

JAKARTA — Pada Rabu, 28 Agustus 2024 lalu, dunia perfilman Indonesia kehilangan salah satu anggotanya yang sangat berharga. Rifqi Novara, seorang Asisten Sutradara dua yang dikenal berdedikasi tinggi dalam pekerjaannya, meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas di daerah Mampang, Jakarta Selatan. 

Rifqi, yang tengah dalam perjalanan pulang setelah menjalani proses pra produksi, mengalami kecelakaan tunggal yang diduga disebabkan oleh kelelahan kerja. Kejadian tragis ini bukan hanya merupakan kehilangan besar bagi keluarga dan koleganya, tetapi juga sebuah pengingat mendalam mengenai kondisi kerja yang perlu segera diperbaiki dalam industri film.

Masalah Kelelahan Kerja dalam Industri Film

Menurut keterangan dari pihak keluarga Rifqi, kecelakaan yang terjadi di tengah malam itu adalah akibat langsung dari beban kerja yang sangat berat. Rifqi Novara telah menghabiskan waktu yang sangat panjang untuk menyelesaikan tugas-tugas pra produksi, yang akhirnya berujung pada kecelakaan fatal. Kejadian ini memperlihatkan salah satu masalah mendasar yang sudah lama dihadapi oleh pekerja film di Indonesia: waktu kerja yang berkepanjangan atau overwork.

Ketua Umum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Ikhsan Raharjo, menegaskan bahwa kecelakaan ini seharusnya menjadi momentum untuk menyoroti perlunya reformasi dalam industri film. 

"Peristiwa kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan meninggalnya Rifqi Novara menjadi pengingat mendesaknya upaya perbaikan kondisi kerja dalam ekosistem industri film Indonesia. Salah satu isu yang perlu segera diselesaikan bersama adalah masalah waktu kerja berkepanjangan (overwork) yang dialami pekerja film Indonesia," ujar Ikhsan dikutip Senin, 2 September 2024.

Dokumentasi dan Peringatan Internasional

Masalah kelelahan kerja di industri film bukanlah hal baru. Menurut kertas posisi #Sepakatdi14: Advokasi Pembatasan Waktu Kerja dan Perlindungan Hak Pekerja Film Indonesia, yang dirilis oleh SINDIKASI bersama Indonesia Cinematographers Society (ICS) pada tahun 2022, kondisi kerja bagi pekerja film di Indonesia sangat memprihatinkan. 

Kertas posisi tersebut menyebutkan bahwa rata-rata pekerja film menghabiskan waktu 16 hingga 20 jam dalam sehari di lokasi syuting, yang berpotensi meningkatkan risiko serangan jantung iskemik atau stroke. Hal ini sesuai dengan peringatan dari International Labour Organization (ILO) dan World Health Organization (WHO) yang menyarankan bahwa bekerja lebih dari 55 jam per minggu dapat membahayakan kesehatan.

Tantangan dan Seruan untuk Perubahan

Ikhsan Raharjo mengungkapkan bahwa normalisasi terhadap praktik overwork dan minimnya perlindungan hak pekerja adalah tantangan besar dalam upaya perbaikan kondisi kerja di industri film. "Normalisasi terhadap praktik overwork dan minimnya perlindungan hak pekerja menjadi tantangan besar dalam mewujudkan perbaikan kondisi kerja pada industri film. Terlebih, pemerintah masih pasif dalam melihat masalah ini," jelas Ikhsan.

Melihat situasi tersebut, SINDIKASI menyerukan kepada seluruh pekerja film Indonesia untuk berserikat dan bergabung dalam upaya memperbaiki kondisi kerja. Organisasi ini saat ini sedang merancang pembentukan Komite Pekerja Film sebagai wadah bagi pekerja film yang ingin bergabung untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan memperbaiki ekosistem industri perfilman.

Ikhsan menekankan bahwa masalah yang dihadapi oleh pekerja film Indonesia adalah masalah sistemik yang tidak bisa diatasi oleh satu atau dua organisasi saja. "Masalah yang dihadapi pekerja film Indonesia merupakan masalah sistemik yang tidak bisa diselesaikan satu atau dua organisasi saja apalagi individu. 

Kolaborasi antara berbagai pihak dinilai sangat di butuhkan termasuk organisasi profesi, pemerintah, dan industri dinilai sangat penting untuk menciptakan perubahan yang berarti. Diskusi terbuka dan kerja sama lintas sektor diharapkan dapat membawa solusi yang komprehensif dan berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi kerja dalam industri film Indonesia.