Jam Kiamat Tidak Bergerak, Bumi Tetap 100 Detik Menjelang Kepunahan Massal
- The Bulletin of the Atomic Scientists, sebuah organisasi yang bertujuan untuk menyebarkan informasi guna mengurangi ancaman buatan manusia, mengumumkan bahwa jam kiamat atau Doomsday Clock tidak berubah pada hari Kamis 20 Januari 2022
Tekno
WASHINGTON- The Bulletin of the Atomic Scientists, sebuah organisasi yang bertujuan untuk menyebarkan informasi guna mengurangi ancaman buatan manusia, mengumumkan bahwa jam kiamat atau Doomsday Clock tidak berubah pada hari Kamis 20 Januari 2022.
Doomsday Clock sendiri adalah simbol seberapa dekat bumi dengan kepunahan massal akibat ulah manusia. 20 Januari ditetapkan sebagai waktu untuk setting ulang jam sekaligus memperingati lahirnya simbol tersebut.
Mereka mengatakan meski 2021 memunculkan sejumlah perkembangan baik tetapi juga membawa tantangan baru. "Jam Kiamat tetap stabil pada 100 detik menjelang tengah malam," kata presiden Buletin Rachel Bronson.
- IHSG Dibuka ke Zona Merah, MNC Sekuritas Rekomedasikan Saham AGRO, IMAS, PTPP, TINS
- Rusia DIprediksi Segera Serang Ukraina, Biden Sebut NATO Terpecah
- Lifepal Targetkan Tumbuh Agresif di 2022
“Tapi stabil bukanlah kabar baik. Faktanya, ini mencerminkan penilaian dewan [Bulletin] bahwa kita terjebak dalam momen berbahaya, yang tidak membawa stabilitas maupun keamanan.”
Jam telah beringsut menjadi dua menit hingga tengah malam pada tahun 2018 dan kemudian menjadi 100 detik pada tahun 2020. Jarak terdekat dari jam kiamat menuju tengah malam terjadi pada puncak Perang Dingin tahun 1953.
Berbicara di acara virtual seting ulang jam tahun ini, Bronson menyerukan tindakan untuk memastikan planet yang lebih aman dan lebih sehat. “Kita harus terus mendorong jarum jam menjauh dari tengah malam,” katanya.
Jam Kiamat diciptakan oleh The Bulletin of the Atomic Scientists pada tahun 1947. Organisasi ini telah didirikan dua tahun sebelumnya oleh Albert Einstein, J Robert Oppenheimer, Eugene Rabinowitch dan ilmuwan Universitas Chicago.
Jam terjauh dari tengah malam adalah 17 menit. Itu terjadi pada tahun 1991 ketika Presiden Amerika George HW Bush dan timpalannya dari Soviet Mikhail Gorbachev menandatangani Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis (START). Sebuah perjanjian untuk mengurangi jumlah senjata nuklir dan rudal balistik.
Amerika Serikat dan Rusia sepakat untuk memperpanjang perjanjian itu tahun lalu. Namun, Sharon Squassoni, ketua bersama the Bulletin Science and Security Board, mengatakan perjanjian itu adalah "uang muka kecil untuk stabilitas strategis yang sangat dibutuhkan" antara Washington dan Moskow.
“Dalam lingkungan saat ini, di mana kita tidak memiliki stabilitas perlombaan senjata atau stabilitas krisis, ketegangan di Ukraina membayangi,” kata Squassoni.
“Dalam perubahan iklim, kemajuan retoris belum diimbangi dengan tindakan cepat. Dan di bidang biosekuriti, tren mengarah ke lebih sedikit, daripada lebih banyak kerja sama untuk mengidentifikasi dan mengelola atau mengurangi ancaman.”
- Jual 900 Foto Selfie, NFT Ghozali Everyday Laku Hingga Rp14 Miliar
- SpaceX Milik Elon Musk Ingin Bangun Bandara Pesawat Supersonik di Ibu Kota Baru RI
- Pertamina Temukan Sumber Migas Baru di Jambi, Ini Besarannya
Para pemimpin dunia berjanji untuk mengekang emisi pemanasan planet pada KTT iklim PBB di Glasgow tahun lalu, tetapi para ahli dan ilmuwan di acara Buletin pada hari Kamis menekankan perlunya tindakan segera, daripada janji-janji lisan.
“Setiap tahun aktivitas manusia yang terus membuang karbon dioksida ke atmosfer hampir secara permanen meningkatkan total penderitaan manusia dan perusakan ekosistem yang timbul dari gangguan iklim global,” kata Raymond Pierrehumbert, seorang profesor fisika di Universitas Oxford.
Ancaman biologis
Sementara itu, Asha M George, direktur eksekutif Komisi Bipartisan untuk Biodefense, sebuah LSM yang berfokus pada ancaman biologis, mengatakan pandemi COVID-19 memaparkan kerentanan manusia pada peristiwa biologis.
George membunyikan alarm tentang kemungkinan pandemi lain setelah pandemi saat ini berakhir. Ancaman yang ditimbulkan oleh langkah-langkah keamanan tidak memadai di laboratorium yang bekerja dengan patogen berbahaya, serta bahaya program senjata biologis.
“Negara-negara di seluruh dunia setidaknya harus memperkuat kemampuan mereka untuk memantau penyakit menular,” katanya.
“Tidak peduli apa sumbernya, mereka harus berasumsi bahwa wabah yang terjadi di negara lain tidak akan tetap berada di sana dalam perbatasan atau wilayah mereka. Dan mereka harus mengambil tindakan luar biasa sekarang sebelum program senjata biologis menghasilkan perang biologis.”