<p>Pilot F-35 Amerika/Foto: USAF</p>

Jangan-Jangan Kokpit Canggih Justru Membunuh Pilot

  • WASHINGTON-Angkatan Udara Amerika mencatat tingginya kecelakaan jet tempur mereka akibat terganggunya kesadaran pilot hingga tidak mampu mengkontrol pesawat. Kini Badan penelitian dan pengembangan Pentagon mencurgai peralatan yang sebenarnya dimaksudkan untuk menyelamatkan nyawa pilot militer di medan perang justru menyebabkan mereka menjadi bingung dan akhirnya jatuh. Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA), sebuah lembaga di bawah […]

Amirudin Zuhri

Amirudin Zuhri

Author

WASHINGTON-Angkatan Udara Amerika mencatat tingginya kecelakaan jet tempur mereka akibat terganggunya kesadaran pilot hingga tidak mampu mengkontrol pesawat.

Kini Badan penelitian dan pengembangan Pentagon mencurgai peralatan yang sebenarnya dimaksudkan untuk menyelamatkan nyawa pilot militer di medan perang justru menyebabkan mereka menjadi bingung dan akhirnya jatuh.

Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA), sebuah lembaga di bawah Kementerian Pertahanan Amerika kini mendanai upaya untuk mempelajari hubungan antara elektronik militer dan disorientasi spasial yakni kemampuan pilot untuk menentukan ketinggian, sikap, atau kecepatan udara yang benar.

Dalam satu insiden, disorientasi spasial menyebabkan pilot F-35 Jepang jatuh Samudra Pasifik dengan kecepatan hampir 700 mil per jam.

Sebagaimana ditulis Popular Mechanic Selasa 15 September 2020, secara umum, pesawat militer Amerika adalah yang paling canggih di dunia. Pesawat seperti F-35 Joint Strike Fighter membawa sejumlah sensor dari radar yang dipasang di hidung hingga cincin kamera inframerah. Pesawat militer juga memiliki radio, sistem kontrol, dan bentuk data lain yang bersaing untuk mendapatkan perhatian pilot. Semuanya memancarkan semacam radiasi radio atau elektromagnetik.

Meskipun fitur ini sangat berguna dan membantu pilot tetap hidup dalam situasi berbahaya, muncul pertanyaan adakah sisi yang lebih gelap dan tidak terdiagnosis dari perangkat elektronik ini?

Pentagon, seperti yang ditulis Forbes, ingin mencari tahu jawaban dari pertanyaan itu. Proyek Impact of Cockpit Electro-Magnetics on Aircrew Neurology (ICEMAN) oleh DARPA akan memeriksa efek medan elektromagnetik dan sinyal frekuensi radio untuk menentukan apakah mereka bertanggung jawab atas kasus disorientasi spasial.

Dari 1993 hingga 2013, DARPA mengatakan, disorientasi spasial pada pilot Angkatan Udara Amerika menyebabkan 72 kecelakaan Kelas A, 101 kematian, dan 65 pesawat hancur. Badan tersebut percaya bahwa medan elektromagnetik dan sinyal frekuensi radio dapat mempengaruhi kinerja kognitif termasuk saturasi tugas, misprioritas, kepuasan diri, dan disorientasi spasial.

Tidak ada, menurut DARPA, yang benar-benar memantau aktivitas electromagnetic radiation (EM) dan Radio frequency (RF) di kokpit, dan ada “sedikit upaya” yang dilakukan untuk melindungi pilot dari medan ini.  ICEMAN akan mengukur aktivitas tersebut dan kemudian menghasilkan sensor yang mampu mengukur kondisi EM / RF ambien di lingkungan kokpit pesawat militer.

Setelah sensor dikerahkan, Pentagon dapat menggunakannya untuk melihat apakah ada korelasi antara kondisi EM / RF yang berat dengan kecelakaan dan kecelakaan pesawat.

Otoritas penerbangan Jepang menyalahkan disorientasi spasial untuk salah satu kecelakaan pertama yang melibatkan F-35. Pada April 2019, pilot F-35 Mayor Akinori Hosomi dari Angkatan Udara Bela Diri Jepang terbang dengan beberapa F-35 lainnya ketika penerbangan tiba-tiba kehilangan kontak dengan jet Hosomi. Pihak berwenang kemudian memutuskan bahwa jet Hosomi terbang langsung ke laut dengan kecepatan 683 mph tanpa ada upaya yang dilaporkan oleh pilot untuk menghindari tabrakan.