Jatuh Bangun Industri Retail Dunia
JAKARTA- Runtuhnya industri retail ternyata tak hanya terjadi di Indonesia. Sejumlah pengusaha retail dunia ternyata merasakan dampak lesunya industri ini. Produsen pakaian terbesar dunia, Inditex misalnya. Perusahaan yang membawahi sejumlah merek tekstil seperti Zara, Bershka dan Pull&Bear ini harus menutup seluruh gerainya di Venezuela. Berdasarkan informasi dari Reuters yag diktip Minggu, 23 Mei lalu, penutupan […]
Nasional & Dunia
JAKARTA- Runtuhnya industri retail ternyata tak hanya terjadi di Indonesia. Sejumlah pengusaha retail dunia ternyata merasakan dampak lesunya industri ini.
Produsen pakaian terbesar dunia, Inditex misalnya. Perusahaan yang membawahi sejumlah merek tekstil seperti Zara, Bershka dan Pull&Bear ini harus menutup seluruh gerainya di Venezuela.
Berdasarkan informasi dari Reuters yag diktip Minggu, 23 Mei lalu, penutupan gerai tersebut disebabkan lantaran kerjasama antara Inditex dan pemegang hak penjualan negara tersebut sedang dalam peninjauan.
Meski begitu, rupanya Inditex tak hanya melakukan penutupan toko di Venezuela saja. Menurut kabar, akan ada 1.200 gerai yang ditutup hingga akhir 2021 mendatang. Rinciannya, Inditex bakal menutup 700 gerai di Eropa, 100 gerai di Amerika dan 400 gerai lain dari tempat lain yang tersebar di seluruh dunia.
Inditex menyatakan bahwa penutupan gerai ini dilakukan dalam rangka memajukan lini toko utamanya.
Selain Inditex, tekanan pada bisnis retail dirasakan oleh perusahaan retail lainnya, Mark&Spencer. Dalam kurun waktu 10 tahun, perusahaan yang dikenal dengan produk fesyennya ini kabarnya akan mengurangi jumlah toko hingga 30 persen.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
CEO Mark&Spencer Steve Roe menyebut bahwa ditutupnya toko disebabkan oleh tren pasar yang saat ini bergeser ke arah belanja daring. Meski begitu, ia menyatakan bahwa pandemi membuat perusahaan yang dipimpinnya harus memulai perubahan lebih cepat.
“Dinamika pasar telah berubah dan efek pandemi membuat kami harus bergerak lebih cepat. Kabar baiknya adalah jarang ada waktu yang lebih baik untuk mendapatkan ruang baru,” ujar CEO Mark&Spencer Steve Rowe dikutip TrenAsia.com dari Reuters Senin, 31 Mei 2021.
Demi bertahan, sejumlah upaya bakal dilakukan oleh Mark&Spencer. Diantaranya memperluas lini bisnisnya ke sektor makanan dan minuman, merelokasi dan menutup sejumlah toko, serta memoderenisasi 180 unit toko pakaiannya untuk disandingkan dengan toko makanan&minuman.
Berbeda dengan Mark&Spencer, ritel ternama asal Inggris, Dabenhams memutuskan untuk mundur dari bisnisnya setelah bertahan lebih dari dua abad.
Berdasarkan informasi dari BBC, penutupan dilakukan lantaran Dabenhams pailit setelah mengalami penurunan penjualan sejak 2019.
Usaha Dabenhams untuk bangkit akhirnya kalah oleh pandemi Covid-19. Pada 2020, kondisi Dabenhams makin babak belur hingga akhirnya pada Desember, perusahaan mengumumkan akan mundur dari bisnis retail dan melakukan PHK terhadap 12.000 karyawannya.
Di Inggris, sejumlah pengusaha retail terancam tutup toko lantaran moratorium penangguhan sewa tempat di negara tersebut akan segera berakhir.
Adanya pandemi Covid-19 di Inggris tampaknya menjadi pukulan telak bagi sektor retail di negara tersebut. Berdasarkan data industri, satu dari tujuh toko sudah tutup.
Penyebabnya adalah dalam 15 bulan terakhir, sejumlah pertokoan retail di Inggris yang dianggap “tidak penting” harus ditutup beberapa selama masa lockdown. Penutupan ini menghasilkan utang sewa hingga 2,9 miliar Pounsterling Inggris. (RCS)