mahkamah agung.jpg
Nasional

Jejak Busuk Suap di Mahkamah Yang Seharusnya Agung

  • Tahun 2022, KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Hakim Agung Sudrajad Dimyati atas dugaan suap dalam pengurusan perkara Koperasi Intidana.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Kasus pembebasan Gregorius Ronald Tannur, yang divonis bebas meski terbukti membunuh pacarnya dengan cara dilindas mobil, telah menjadi sorotan publik dan membuka tabir gelap tentang dugaan praktik mafia peradilan di Indonesia. 

Kejaksaan Agung menetapkan tiga hakim yang menangani kasus tersebut Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo sebagai tersangka dalam dugaan kasus suap yang disebut-sebut memuluskan vonis bebas bagi Tannur.

Lebih jauh lagi, penyelidikan Kejagung menyingkap keterlibatan Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), yang diduga menjadi aktor utama dalam jaringan makelar kasus di lembaga peradilan tertinggi tersebut.

Dari penyelidikan, ditemukan uang tunai senilai lebih dari Rp1 triliun dan emas murni seberat 51 Kilogram, yang diduga dikumpulkan Zarof dari pengurusan berbagai kasus sejak 2012. Kasus ini kembali menyoroti fenomena mafia peradilan yang sudah berulang kali mencoreng nama MA.

"Yang bersangkutan diduga keras telah melakukan tindak pidana korupsi, yaitu melakukan pemufakatan jahat suap dan gratifikasi bersama dengan LR, pengacara Ronald Tannur," tegas Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Abdul Qohar di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta,  dilansir Senin, 28 Oktober 2024.

Jejak Skandal Suap di Mahkamah Agung

Kasus suap di MA bukanlah yang pertama kali terjadi. Setidaknya ada tiga kasus besar lain yang turut memperkuat dugaan adanya praktik mafia hukum di lingkungan peradilan Indonesia.

Kasus Suap Nurhadi (2020)

Nama Nurhadi, mantan Sekretaris MA, menjadi buah bibir setelah dirinya terjerat kasus suap senilai Rp46 miliar. Suap ini diberikan oleh Direktur PT MIT, Hiendra Soenjoto, sebagai imbalan pengurusan sejumlah kasus hukum yang menguntungkan perusahaannya. 

Dalam persidangan, Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 6 tahun penjara serta denda Rp500 juta.

Hiendra sendiri divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan dikenakan denda Rp100 juta. Kasus ini menegaskan bahwa jaringan suap di MA tidak hanya melibatkan hakim, tetapi juga pejabat administrasi yang memiliki pengaruh besar dalam pengaturan perkara.

Kasus Suap Hakim Agung Sudrajad Dimyati (2022)

Tahun 2022, KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Hakim Agung Sudrajad Dimyati atas dugaan suap dalam pengurusan perkara Koperasi Intidana. 

Nilai suap yang diterima Sudrajad mencapai Rp2,2 miliar, dengan sejumlah pegawai MA turut terlibat sebagai perantara untuk memengaruhi putusan kasasi. Perkara ini kembali memperlihatkan lemahnya integritas di MA dan menjadikan Sudrajad sebagai hakim agung pertama dalam sejarah yang tertangkap KPK.

Kasus Suap Djodi Supratman (2013)

Pada tahun 2013, kasus suap juga melibatkan mantan Staf Diklat MA, Djodi Supratman, yang menerima uang suap sebesar Rp150 juta dari Mario Cornelio Bernardo, yang bekerja di bawah advokat Hotma Sitompul. 

Suap ini diberikan untuk mempengaruhi putusan kasasi dalam kasus penipuan yang melibatkan Hutama Wujaya Ongowarsito. Dalam kasus ini, Djodi dijatuhi hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp100 juta, sementara Mario menerima hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta.

Ancaman bagi Keadilan di Indonesia

Deretan kasus di atas mencerminkan bahwa praktik mafia peradilan masih kuat bercokol dalam lembaga-lembaga peradilan di Indonesia. Skandal ini menjadi tantangan besar bagi integritas dan kredibilitas hukum, di mana hukum kerap kali dimanipulasi untuk kepentingan pribadi, menghancurkan kepercayaan publik terhadap pengadilan.

Pengamat hukum menyebutkan bahwa modus mafia hukum di MA ini beroperasi secara sistemik, dengan melibatkan hakim, staf administrasi, hingga jaringan eksternal yang memiliki pengaruh.

"Kita butuh reformasi yang tidak hanya memperketat aturan, tetapi juga mekanisme pengawasan yang memungkinkan setiap praktik korupsi terdeteksi lebih dini. Transparansi menjadi kebutuhan utama," papar pengamat hukum sekaligus pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwohodi di Jakarta, Senin, 28 Oktober 2024.

 Kasus yang melibatkan Zarof Ricar ini semakin menguatkan bahwa pengawasan terhadap MA perlu diperketat untuk mencegah adanya makelar kasus dan manipulasi hukum.