Ilustrasi pemulung mengais sampah plastik.
Nasional

Jejak Impor Sampah Indonesia, Sempat Jadi Pengimpor Terbesar

  • Perdagangan sampah plastik lintas negara dimulai sejak 1970-an, ketika negara-negara maju mencari solusi atas keterbatasan tempat pembuangan akhir (TPA). Negara berkembang, termasuk Indonesia, sering menjadi tujuan sampah plastik ini, terutama untuk keperluan industri.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Sampah plastik telah lama menjadi ancaman serius bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Di Indonesia, masalah ini diperparah oleh praktik perdagangan sampah lintas negara yang menciptakan kesemrawutan lingkungan. 

Impor sampah plastik yang tinggi tak hanya membawa dampak ekologis, tetapi juga tantangan sosial dan ekonomi yang mendesak untuk segera diatasi. Perdagangan sampah plastik lintas negara dimulai sejak 1970-an, ketika negara-negara maju mencari solusi atas keterbatasan tempat pembuangan akhir (TPA). 

Negara berkembang, termasuk Indonesia, sering menjadi tujuan sampah plastik ini, terutama untuk keperluan industri. Namun, minimnya infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai justru membuat limbah tersebut menjadi beban. Beberapa negara, seperti Filipina, bahkan telah memulangkan sampah plastik yang tidak dapat dikelola. 

Dampak Lingkungan dan Sosial 

Dampak dari impor sampah plastik sangat luas dan kompleks. Dari segi lingkungan, limbah plastik mencemari ekosistem, merusak rantai makanan, dan menghasilkan zat kimia berbahaya seperti dioksin. Dari sisi sosial, pencemaran ini kerap menimpa masyarakat lokal yang tidak memiliki daya untuk melawan, menciptakan ketidakadilan sosial yang mendalam. 

Secara ekonomi, biaya pengelolaan limbah plastik jauh lebih tinggi dibandingkan manfaat yang dihasilkannya. Ketergantungan pada limbah impor juga menghambat pengembangan industri daur ulang lokal yang berkelanjutan. 

Pada tahun 2022, Indonesia mengimpor 194 ribu ton sampah plastik, menjadikan Indonesia salah satu pengimpor sampah terbesar di dunia. Nilai impor tersebut  mencapai US$30,4 juta atau sekitar Rp dengan volume 53,76 juta kilogram. Sebagian besar limbah ini berasal dari negara maju, seperti Belanda (17,5 juta kg), Jerman (7,4 juta kg), dan Belgia (5,68 juta kg). 

Namun, tidak semua limbah plastik yang diimpor dapat dimanfaatkan. Kontaminasi dan degradasi bahan membuat sebagian besar limbah ini tidak layak untuk diolah, sehingga menambah beban lingkungan di dalam negeri. "Sudah kita jangan lagi dibodohi negara-negara itu,"  jelas Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol, di Bogor, dikutip senin, 18 November 2024.

Penghentian Impor Sampah 

Sebelumnya Regulasi impor sampah plastik diatur melalui Permendag No. 31/2016, tetapi pengawasannya masih perlu diperkuat. Indonesia sendiri menghasilkan sekitar 12,87 juta ton sampah plastik per tahun, sebagian besar samah tersebut tidak terkelola dengan baik.

Hal ini menjadi tantangan besar dalam mencapai target bebas sampah plastik pada tahun2030. Selain itu, ekspor sampah plastik dari Indonesia juga menunjukkan ketimpangan. 

Pada tahun 2022, Indonesia hanya mengekspor sampah plastik senilai US$6,75 juta dengan volume 8,6 juta kilogram, jauh lebih rendah dibandingkan angka impornya. Pemerintah memutuskan untuk menghentikan impor limbah non-B3 plastik mulai 2025.

Kebijakan ini tertuang dalam surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) bertanggal 5 November 2024, yang menggarisbawahi pentingnya evaluasi untuk mengurangi dampak negatif lingkungan dan mendukung kemandirian bahan baku industri plastik.  "Tahun 2025 sudah tidak lagi," pungkas Faisol.

Langkah ini diambil karena impor limbah plastik selama ini lebih banyak menghasilkan produk antara untuk ekspor daripada memenuhi kebutuhan domestik, sehingga meningkatkan potensi pencemaran. 

Selain itu, Indonesia telah memiliki potensi limbah plastik non-B3 dalam negeri yang mencapai 10,8 juta ton pada 2023, cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri.  

Tingginya residu limbah impor juga menjadi perhatian. Dari total 261.000 ton limbah plastik yang diimpor, sekitar 5.220 ton residu tidak termanfaatkan dengan baik dan berakhir mencemari lingkungan. Impor juga dinilai menghambat optimalisasi pengelolaan limbah plastik bekas di dalam negeri.