<p>Ilustrasi uang rupiah di bank / Shutterstock</p>
Industri

Jelang Resesi Makin Ramai Orang Tumpuk Uang, Bikin Bank Untung atau Justru Lindang?

  • Masyarakat cenderung memilih bank-bank kakap yang secara permodalan lebih kuat. Bank-bank pelat merah yang tergolong Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV, misalnya, dianggap lebih aman untuk menabung.

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Indonesia telah melewati kuartal III terhitung sejak September 2020 berakhir. Kendati belum diumumkan, pertanda ekonomi Indonesia masuk ke jurang resesi kian pasti.

Pasalnya, ekonomi Nusantara sudah tercatat negatif 5,32% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada kuartal II tahun ini. Jika ekonomi kembali terkontraksi, maka resesi tak bisa lagi terhindarkan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali merevisi proyeksi ekonomi pada kuartal III-2020 pada kisaran minus 2,9% hingga 1,1%. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya sebesar minus 2,1% hingga 0%.

Sementara jika dilihat sepanjang tahun, ekonomi Indonesia diperkirakan minus 1,7% hingga minus 0,6%, juga lebih rendah ketimbang angka perkiraan sebelumnya, yakni 1,1% hingga positif 0,2%.

Jika situasi tak kunjung membaik, maka sektor keuangan mustahil tak ikut terdampak. Sebab, industri ini memiliki hubungan erat dengan sektor riil. Ekonomi yang merosot membuat permintaan masyarakat juga melorot.

Per September 2020, diketahui Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur nasional kembali melemah empat poin di level 47,2. Padahal, sebelumnya alias Agustus 2020, angkanya sempat bangkit ke 50,8.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai menjadi salah satu penyebab turunnya PMI. Kebijakan tersebut rupanya berdampak pada kapasitas dan biaya tambahan bagi perusahaan, yang otomatis berkurang. Di samping itu, aktivitas konsumsi masyarakat juga menurun, serta menipisnya inventaris dan penyesuaian inflasi.

Suasana pelayanan nasabah di kantor Cabang Plaza Mandiri, Jakarta, Jum’at 29 Mei 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Konsumsi Vs Menabung

Dengan situasi tersebut, alih-alih membelanjakan uangnya, masyarakat pun lebih memilih menyimpan dana untuk ditabung.

Seperti halnya Dian (25), ia mengaku lebih memilih untuk menahan belanjanya karena melihat situasi saat ini serba tak pasti. Terlebih, salah satu karyawan swasta ini harus mengalami pemotongan gaji dari perusahaannya, tak lain karena dampak dari pandemi.

“Lebih milih buat ditabung. Aku mengerem banget pengeluaran belanja karena situasi mendatang yang belum pasti,” ujarnya saat berbincang dengan reporter TrenAsia.com, Selasa, 6 Oktober 2020.

Dian sendiri memilih untuk menabung uangnya di bank. Sebab menurutnya, cara tersebut menjadi salah satu pilihan paling mudah.

“Tabungan itu paling simpel dan bisa likuid. Maksudnya bisa diambil kapan saja kalau memang butuh,” katanya.

Sementara itu, lanjutnya, instrumen investasi lain seperti reksa dana maupun obligasi, pencairannya tidak bisa dilakukan kapan saja alias tidak sefleksibel tabungan.

“Sekarang utamanya menabung, buat jaga-jaga. Soalnya enggak tahu kan, ekonomi ke depan bakal lebih baik atau lebih buruk,” tuturnya.

Pilihan masyarakat untuk menabung dibandingkan membelanjakan anggaran, memang terbukti jika dilihat dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Per Agustus 2020, Bank Indonesia (BI) melaporkan DPK tumbuh hingga 11,64% yoy. Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan Juli 2020 yang tumbuh 8,5% yoy.

Ekonom Indtiture for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto mengatakan, pengurangan konsumsi oleh masyarakat didominasi oleh kalangan kelas menengah ke atas.

Masyarakat dengan pendapatan cukup tinggi, ujarnya, tidak membelanjakan porsi pendapatan mereka yang biasanya dialokasikan untuk kebutuhan sekunder atau tersier. Di samping melihat situasi pandemi yang belum terkendali, mereka khawatir jika membelanjakan pendapatan saat ini.

“Belanja kelas menengah biasanya untuk traveling, makan, dan jalan-jalan,” ujar Eko saat dihubungi lewat sambungan telepon. Sebagai contoh, belanja makan, karena dilakukan di tempat makan mewah, Eko menjelaskan bahwa mereka biasanya tidak hanya sekadar membeli makan, tetapi juga membeli suasananya.

Nah, jika situasi pandemi seperti sekarang, suasana itu tidak bisa dibeli lagi. Akhirnya, mereka akan berpikir ulang untuk membeli makan di luar,” terang Eko.

Di sisi lain, bisnis sedang lesu sehingga kebijakan pemerintah terkait subsidi gaji, maupun bantuan sosial (bansos), belum dapat menyelamatkan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah bawah.

Pasalnya, tingkat pengeluaran masyarakat bawah yang hanya sebesar 12%-17% tersebut, belum cukup menggenjot konsumsi secara keseluruhan. Sebab, kata Eko, yang benar-benar dapat mengangkat konsumsi adalah masyarakat kalangan menengah ke atas.

Padahal, kalangan tajir tersebut tengah mengerem belanjanya. “Yang awalnya mereka cukup konsumtif, akhirnya sekarang mereka benar-benar mengerem anggaran belanja,” katanya.

Dengan demikian, anggaran pun lebih banyak mengalir di bank sehingga terjadi lonjakan DPK hingga tumbuh dobel digit.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja. / Facebook @BankBCA
Bank Kakap Kebanjiran

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, nominal DPK per Juli 2020 mencapai Rp6.308 triliun per Juli 2020, terdiri dari rupiah sebesar Rp5.400 triliun, dan valas Rp908 triliun.

Apabila dirinci, deposito berdenominasi rupiah tercatat paling besar, yakni Rp2.397 triliun, diikuti oleh tabungan 1.830 triliun, dan giro Rp1.172 triliun. Sementara itu, rincian valas terdiri dari giro Rp398,2 triliun, tabungan Rp149 triliun, dan deposito Rp360,6 triliun.

Dalam menabung, kata Eko, masyarakat juga cenderung memilih bank-bank kakap yang secara permodalan lebih kuat. Bank-bank pelat merah yang tergolong Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV, misalnya, dianggap lebih aman untuk menabung.

“Bank-bank besar dianggap lebih aman untuk menabung. Padahal, sebenarnya semua bank sudah dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),” jelas Eko.

Apabila dibedah, fakta tersebut memang tak bisa ditampik. Terlihat, bank BUKU 4 menguasai DPK 59,13% sebesar Rp3.730,7 triliun. Sementara itu, 40,8% sisanya terdiri dari BUKU 3 sebesar Rp1.628,6 triliun, BUKU 2 sebesar Rp628,05 triliun, dan BUKU 1 sebesar Rp31,06 triliun.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Kredit Masih Sulit

Jika pandemi telah menahan laju permintaan yang membuat masyarakat memilih untuk menabung, kondisi paceklik ini pun akhirnya berpengaruh pada kredit perbankan.

Dalam hal fungsi intermediasi, data menunjukkan arah berlawanan dengan pertumbuhan DPK. Kendati pemerintah telah menambah penempatan dana sebesar Rp17,5 triliun dari target alokasi Rp78 triliun, kredit bank masih berjalan lemah.

BI melaporkan, pertumbuhan kredit perbankan pada Agustus 2020 tercatat rendah sebesar 1,04% yoy. Angka tersebut menurun dibandingkan dengan 1,53% pada bulan sebelumnya.

Memang, bank pelat merah atau Himpunan bank milik negara (Himbara) mencatat sukses  penyaluran dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hingga 145% atau setara Rp43,5 triliun per 22 Juli 2020.

Keempat bank, berhasil me-leverage kredit lebih dari tiga kali lipat, melampau dana awal yang ditempatkan pemerintah sebesar Rp30 triliun.

Adapun nominal penyaluran yang paling banyak, dilakukan oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI senilai Rp21,21 triliun kepada 492.734 debitur. Diketahui, dana yang ditempatkan pemerintah kepada BRI sebesar Rp10 triliun.

Kedua, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk alias Bank Mandiri dengan nilai penyaluran kredit sebesar Rp14,92 triliun, dari penempatan dana pemerintah Rp10 triliun. Debitur yang menerima kredit baru tersebut berjumlah 22.582 nasabah.

Berikutnya, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI yang mendapat penempatan dana Rp5 triliun, telah menyalurkannya senilai Rp12,03 triliun per 24 Agustus 2020.

Sementara itu, dengan nominal penempatan dana yang sama dengan BNI, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN telah menyalurkan kredit Rp4,95 triliun kepada 12.944 debitur hingga 25 September 2020.

Bank DKI. / Facebook @bank.dki.10
BPD Kurang Pede

Namun, perkembangan tersebut tidak sama halnya dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Staf Khusus Menteri Keuangan Candra Fajri Ananda mengatakan, data mutakhir pertengahan September 2020, realisasi penyaluran kredit dari dana PEN di BPD baru Rp2,7 triliun.

“Angka ini masih jauh di bawah target pemerintah, yaitu dua kali lipat dari dana yang ditempatkan pada Juli 2020 sebesar Rp22,4 triliun,” ujarnya dalam sebuah diskusi daring beberapa waktu lalu.

BPD DI Yogyakarta, misalnya, dari Rp1 triliun dana yang ditempatkan, penyaluran kreditnya baru mencapai Rp467 miliar.

Ketimpangan besar ini, menurut Eko, disebabkan oleh perbedaan skala ekonomi setiap perusahaan. Bank besar yang mempunyai channel luas, misalnya, otomatis juga menguasai pangsa pasar secara dominan.

“Dalam menyalurkan kredit, bank-bank besar hanya tinggal calling nasabahnya yang potensial,” kata Eko.

Sebaliknya, bank kecil pun dinilai akan menyalurkan kredit dengan kapasitas kecil yang sesuai dengan segmennya.

“Jadi, pengaruh utamanya adalah skala ekonomi,” tutur Eko.

Oleh karena itu, lanjutnya, bank dengan segmen utama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mendapat penempatan dana yang lebih besar. Pemerintah dianggap sudah memperhitungkan target dan jumlah sasaran nasabah.

BRI, misalnya, bank yang dikenal sebagai bank rakyat ini mendapat kucuran dana paling besar. Pada tahap pertama, ia mendapatkan Rp30 triliun dan berhasil dilipatgandakan lebih dari tiga kali lipat dalam jangka waktu kurang dari tiga bulan. Kemudian, pada tahap kedua, BRI kembali mendapat penempatan dana sebesar Rp5 triliun.

Eko pun mengkritisi, semestinya penempatan dana pemerintah difokuskan pada bank yang memiliki modal (capital adequacy ratio/CAR) rendah.

“Bank-bank dengan modal rendah yang semestinya diajak kerja sama untuk menyalurkan kredit,” ujarnya.

Meskipun mafhum dengan posisi pemerintah yang cenderung mencari aman atas pertimbangan kinerja bank-bank besar, akhirnya kebijakan tersebut dinilai menimbulkan ketimpangan pada bank.

Artinya, kata Eko, bank yang sudah sehat, semakin kebanjiran likuiditas tidak hanya dari simpanan dana nasabah, tetapi juga lewat penempatan dana PEN. Padahal, bank-bank tersebut masih harus membayar bunga.

“Penempatan dana PEN bisa njomplang karena bank-bank kecil tidak punya kemewahan untuk menyalurkan kredit seperti bank besar,” tambahnya.

Gedung BRI di Kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. / Bri.co.id
Bank Masih Sehat

Namun, secara keseluruhan kondisi perbankan di Indonesia dinilai masih sehat. Berdasarkan data OJK, rasio kecukupan modal atau CAR tercatat tinggi sebesar 23,03% per Juli 2020. Nilainya pun mencapai Rp1.332,8 triliun.

Kenaikan ini terus terjadi sejak Maret 2020 di level 21,67%, kemudian April 22,08%, Mei 22,2%, dan Juni yang meningkat lagi menjadi 22,55%.

Bahkan, apabila dibandingkan dengan negara tetangga, posisi CAR bank di Indonesia merupakan yang paling tinggi. Malaysia, misalnya, CAR per Juli 2020 posisinya di level 18,06%, sedangkan Thailand sebesar 19,05%.

Meskipun demikian, kecukupan modal yang dapat dikatakan relatif aman untuk saat ini, tetapi tidak untuk ke depannya jika pelemahan ekonomi terus berlanjut hingga tahun depan.

 “Terlebih jika pelemahan ekonomi berlanjut hingga tahun depan, perbankan akan mengalami tantangan yang berat,” kata Eko.

Sebab, penyaluran kredit yang tidak mengalami peningkatan bisa menyebabkan bank merugi. Namun, Eko menilai semua tetap tergantung dari pemulihan ekonomi. Jika dalam enam bulan ke depan situasi tidak kunjung membaik, maka tidak menutup kemungkinan akan ada bank yang mengajukan pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP).

Seperti diketahui, BI belum lama ini telah menyiapkan kebutuhan likuiditas bagi bank sebagai langkah antisipatif apabila situasi pandemi masih berlangsung hingga tahun depan.

PLJP tersebut dapat dimanfaatkan oleh bank yang mengalami kesulitan likuiditas, sementara harus melakukan pencairan dana nasabah dalam jumlah besar.

Namun, selain CAR, likuiditas bank masih berada dalam keadaan melimpah, dibuktikan dari loan to deposito ratio (LDR) di level 85,11%. Angka tersebut jauh di bawah batasan normal sebesar 90%.

Kemudian, posisi risiko likuiditas dari AL/NCD juga sangat mencukupi, yakni 148,58% per 23 September 2020. Angka tersebut naik dari akhir Juni 2020 sebesar 125,36%.

“Secara keseluruhan CAR saat ini memang masih aman, tetapi BI dan OJK harus terus antisipatif dengan melihat CAR dari masing-masing perbankan, jangan sampai hanya didominasi bank itu-itu lagi, sedangkan ternyata ada bank kecil yang modalnya sudah limit bawah,” ujar Eko. (SKO)