<p>Ilustrasi Tempat Wisata di Jepang/ traveloka.com</p>
Dunia

Jepang Bakal Buka Pintu Untuk Turis, Tapi Ditentang Warganya, Kenapa?

  • Jepang merupakan salah satu negara yang tetap menutup pintu masuk negara bagi wisatawan internasional saat negara lain telah mulai menyambut wisatawan asing.
Dunia
Fadel Surur

Fadel Surur

Author

TOKYO - Jepang merupakan salah satu negara yang tetap menutup pintu masuk negara bagi wisatawan internasional.

Sebaliknya, beberapa negara-negara di seluruh dunia telah mulai membuka perbatasan internasionalnya dan menyambut datangnya wisatawan.

Peraturan itu kemungkinan akan berubah menyusul pengumuman Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida pada hari Kamis, 5 Mei 2022. Pengumuman itu menyatakan perbatasan negara akan dilonggarkan mulai bulan Juni mendatang, seperti dikutip dari CNBC Rabu,11 Mei 2022. 

Mayoritas warga Jepang justru lebih memilih mempertahankan peraturan yang selama ini berlaku di perbatasan. 

Kebanyakan warga Jepang bahkan memilih untuk berwisata di dalam negeri meski diizinkan pergi keluar negeri, menurut Dai Miyamoto, pendiri agen perjalanan Japan Localized.

Bahkan sebelum pandemi, warga lokal lebih memilih berpergian di dalam negeri. Menurut catatan Badan Pariwisata Jepang, wisata domestik Jepang mencapai angka 21,9 triliun yen pada tahun 2019.

Perubahan Pariwisata

Menurut Organisasi Pariwisata Nasional Jepang, wisatawan internasional yang datang ke Jepang mengalami penurunan dari 32 juta pada tahun 2019 ke angka 250.000 pada tahun lalu.

Beberapa agen perjalanan bahkan memilih untuk mendesain ulang tur mereka dan menyesuaikan warga lokal. 

Wisatawan lokal cenderung memilih berwisata outdoor yang bisa didatangi dengan berjalan kaki, menurut Miyamoto.

Warga Jepang juga memilih menghabiskan waktu di lokasi berkemah dan onsen (pemandian air panas), tambah Lee Xian Jie, kepala pengembang di perusahaan wisata Craft Tabby.

“Persewaan karavan dan peralatan outdoor sedang berjalan sangat baik karena lebih banyak orang yang memilih berwisata outdoor,” katanya. 

Perusahaan milik Lee yang mengoperasikan tur jalan kaki dan bersepeda di kota Kyoto, beralih ke online selama pandemi. Sejak negara-negara mulai membuka perbatasannya, perjalanan online tidak berjalan dengan baik dan bahkan partisipasinya telah anjlok menjadi hampir nol.

Menurutnya, preferensi wisatawan telah berubah. Orang-orang lebih memilih aktivitas di daerah pedesaan yang penduduknya tidak terlalu padat.

Pemandian air panas mewah yang sedang populer di kalangan anak muda juga berjalan dengan baik. Namun onsen tradisional mengalami kesulitan karena konsumennya, yang kebanyakan orang tua, masih merasa cukup khawatir akan COVID-19. 

Pariwisata yang Berlebihan

Jepang mengalami peningkatan kunjungan wisata internasional pada tahun 2019 lalu dari hanya 6,8 juta sepuluh tahun sebelumnya. 

Lonjakan pesat ini menyebabkan adanya pariwisata yang berlebihan, seperti contohnya di kota Kyoto yang kaya akan budaya.

Ada banyak penduduk Kyoto yang merasa kesal dengan pariwisata yang berlebihan di kotanya. Mereka juga mengatakan bahwa Kyoto sempat kembali ke keadaan 20 tahun lalu yang lebih baik. 

Keadaan itu dikhawatirkan akan segera berakhir dengan pembukaan perbatasan yang akan dilaksanakan.

Warga Kyoto kini mengatakan bahwa “pembisuan datang kembali”. Ini mengacu pada kehadiran turis asing yang berbicara dengan keras dan tidak sopan kepada warga setempat. 

Apakah Jepang Siap Berlanjut?

Menurut laporan The New York Times, lebih dari 65% responden dalam survei yang diadakan stasiun penyiaran Jepang, NHK, setuju dan meyakini perbatasan negara harus diperkuat. 

Laporan lokal menunjukkan bahwa wisatawan internasional memerlukan beberapa tes dan pemesanan paket perjalanan untuk masuk. Meski belum dikonfirmasi, keputusan ini masih belum cukup untuk menenangkan warga lokal. 

Menurut Shintaro Okuno, mitra dan ketua Bain & Company Japan, keputusan Jepang untuk tetap menutup pintu masuknya bisa dipahami. Hal ini didasari wisatawan asing yang hanya berkontribusi atas kurang dari 5% pada produk domestik bruto Jepang. 

Keputusan pelongaran perbatasan ini kemungkinan akan lebih banyak ditentang oleh kalangan penduduk lanjut usia di Jepang. 

“Orang tua cenderung lebih berprasangka dibandingkan anak-anak muda bahwa COVID-19 dibawa oleh orang asing,” ujar Ichikawa. 

Ia menambahkan bahwa ini dapat dipahami mengingat pemerintah Jepang harus melindungi warga lanjut usianya secara fisik dan psikologis. 

Meski banyak ditolak, beberapa penduduk Jepang yang tinggal diperkotaan justru menyambut baik pelonggaran perbatasan. 

Salah seorang penduduk asal Tokyo, Izumi Mikami, beranggapan Jepang terlalu ketat dan konservatif dalam mengendalikan COVID-19. 

Warga lain merasa sudah siap untuk melanjutkan hidup seperti biasa. Alasannya adalah kedatangan wisatawan akan membantu pemulihan ekonomi Jepang.