<p>Ilustrasi penjual jamu. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia </p>
Industri

Jika ekonomi RI Masuk Jurang Resesi, Masyarakat Bisa Apa?

  • Meski ancaman resesi terasa sulit dihindari, Piter menegaskan bahwa resesi bukan suatu kondisi yang harus ditakuti. Menurutnya, yang terpenting adalah masyarakat mampu memanajemen keuangan domestik agar dapat bertahan selama krisis berlangsung.

Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Setelah 22 negara di dunia resmi masuk jurang resesi ekonomi, Indonesia juga terancam apabila pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) berada di zona negatif pada kuartal III-2020 setelah sebelumnya terkontraksi 5,32%.

Direktur Riset Center of Reforms on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebut proyeksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2020 akan tetap terkontraksi. Artinya, jika kuartal III menyusul kontraksi kuartal kedua yang minus 5,32%, maka Indonesia akan jatuh dalam kondisi resesi ekonomi.

Resesi merupakan keadaan ekonomi suatu negara terkontraksi selama dua kuartal (periode) atau lebih secara berturut-turut. Di kuartal II-2020, yang diperkirakan sebagai fase terberat dari pandemi COVID-19, membuat ekonomi RI anjlok 5,32% secara tahunan.

Meski ancaman resesi terasa sulit dihindari, Piter menegaskan bahwa resesi bukan suatu kondisi yang harus ditakuti. Menurutnya, yang terpenting adalah masyarakat mampu memanajemen keuangan domestik agar dapat bertahan selama krisis berlangsung.

“Selama masih ada wabah, seluruh kebijakan tidak akan efektif untuk mendongkrak ekonomi. Ini terjadi tidak hanya di Indonesia, akan tetapi semua negara pun merasakan yang sama. Jadi, resesi tidak bisa dihindari,” kata Piter kepada TrenAsia.com, Sabtu, 22 Agustus 2020.

Karyawan menunjukkan logam mulia di Butik Emas Antam. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Bersiap Sambut Resesi

Sejak isu resesi menguar ke publik, banyak masyarakat yang terpapar hoax yaitu imbauan agar menarik uang dari bank. Padahal, aksi tersebut dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional.

Langkah paling bijak melewati krisis ekonomi saat ini adalah dengan mengatur keuangan pribadi atau rumah tangga secara cermat. Caranya, masyarakat bisa mengatur ulang porsi belanja menjadi lebih selektif. Misalnya, mengutamakan belanja kebutuhan pokok, kesehatan, operasional, dan dana darurat.

Pos dana darurat juga dapat diperbesar anggarannya, dari alokasi ideal sekitar 5%-10% menjadi 40% dari total pemasukan. Skema realokasi juga menjadi salah satu instrumen yang dapat diterapkan.

Skema ini juga terbukti dapat membiayai belanja pemerintah untuk penanganan COVID-19. Artinya, pos belanja di rumah tangga juga dapat dialihfungsikan menjadi dana kebutuhan yang lebih penting.

Tidak kalah penting dari manajemen keuangan adalah asuransi. Dari pandemi ini, salah satu pelajaran penting yang dapat diambil adalah asuransi, baik kesehatan maupun jiwa. Sebab, ketidakpastian kondisi saat ini sangat penting untuk memiliki proteksi diri secara finansial.

Di tengah krisis seperti ini, masyarakat cenderung menghindari investasi, padahal menurut beberapa analis, situasi seperti ini merupakan momentum tepat berinvestasi. Salah satu sektor yang masih cukup menjanjikan untuk dijadikan investasi saat resesi menimpa adalah sektor konsumsi.

Saham-saham yang berasal dari perusahaan consumer goods yang tidak berorientasi pada ekspor cenderung lebih stabil meski di tengah resesi.

Selain itu, logam mulia seperti emas juga tidak kalah berkilau. Buktinya, tren harga emas global terus memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan investor yang berhasil untung di tengah krisis ekonomi 1998 silam. (SKO)