
Jika Perang Nuklir Siapa Yang Menang? Ini Jawaban Putin
- Risiko perang nuklir telah meningkat seiring invasi Rusia ke Ukraina. Moskow telah beberapa kali menunjukkan isyarat tidak akan segan-segan menggunakan senjata pemusnah massal itu. Terlebih jika ada negara lain yang ikut campur urusan Rusia.
Dunia
MOSKOW-Risiko perang nuklir telah meningkat seiring invasi Rusia ke Ukraina. Moskow telah beberapa kali menunjukkan isyarat tidak akan segan-segan menggunakan senjata pemusnah massal itu. Terlebih jika ada negara lain yang ikut campur urusan Rusia.
Tetapi bagaimana sebenarnya pendapat Putin jika perang nuklir benar-benar terjadi? Orang kuat Rusia itu secara terbuka mengakui bahwa tidak akan ada pemenang jika perang semacam itu pecah. Dia juga menegaskan perang seperti itu tidak boleh dimulai.
Hal itu disampaikan pemimpin Kremlin dalam sebuah surat kepada peserta konferensi tentang perjanjian non-proliferasi nuklir PBB. "Kami melanjutkan dari fakta bahwa tidak ada pemenang dalam perang nuklir dan itu tidak boleh dilepaskan, dan kami berdiri untuk keamanan yang sama dan tak terpisahkan untuk semua anggota komunitas dunia," katanya dikutip Reuters Selasa 2 Agustus 2022.
- Demi Perbaikan Kualitas Kesehatan, Pemerintah Diminta Dukung Produk Tembakau Alternatif
- Harga Jagung Global Naik, Pemerintah Dorong Petani Genjot Produksi Lokal
- Jadi Penghambat Ekspor, Pengusaha Sawit Desak Pemerintah Segera Cabut DMO dan DPO
Pernyataan di forum NPT ini terlihat kontras dengan pernyataan Putin dan politisi Rusia lainnya yang ditafsirkan di Barat sebagai ancaman nuklir. Dalam pidatonya pada 24 Februari saat ia meluncurkan invasi Rusia ke Ukraina, Putin dengan tajam merujuk pada persenjataan nuklir Rusia. Dia memperingatkan kekuatan luar bahwa setiap upaya untuk ikut campur akan memunculkan konsekuensi yang belum pernah ditemui dalam sejarah. Beberapa hari kemudian, dia memerintahkan pasukan nuklir Rusia untuk siaga tinggi.
Perang Ukraina yang telah berlangsung sekitar lima bulan memang telah meningkatkan ketegangan geopolitik ke tingkat yang tidak terlihat sejak Krisis Rudal Kuba 1962. Politisi di Rusia dan Amerika Serikat berbicara secara terbuka berbicara tentang risiko Perang Dunia Ketiga.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Maret mengatakan prospek konflik nuklir yang dulu tidak terpikirkan, sekarang kembali ke ranah kemungkinan. Sementara Direktur CIA William Burns pada bulan April mengatakan pihaknya tidak dapat menganggap enteng ancaman potensi penggunaan senjata nuklir taktis atau senjata nuklir hasil rendah. Risiko ini akan semakin tinggi jika Rusia kesulitan memenangkan perang Ukraina.
Sementara itu Presiden Amerika Joe Biden pada Senin mengatakan dia siap untuk mengejar kesepakatan senjata nuklir baru dengan Rusia. Namun baik Amerika dan Rusia masih saling curiga.
“Pemerintahan saya siap untuk segera menegosiasikan kerangka kontrol senjata baru untuk menggantikan New START ketika berakhir pada 2026,” kata Biden dikutip dari Reuters. "Tetapi negosiasi membutuhkan mitra yang bersedia beroperasi dengan itikad baik."
Biden juga meminta China untuk terlibat dalam pembicaraan yang akan mengurangi risiko salah perhitungan dan mengatasi dinamika militer yang tidak stabil.
Sementara misi Rusia untuk PBB juga mempertanyakan apakah Amerika Serikat siap untuk berunding. Mereka menuduh Washington menarik diri dari pembicaraan dengan Moskow mengenai stabilitas strategis atas konflik Ukraina.
Tim Rusia mengatakan sudah saatnya Washington mengambil keputusan, berhenti terburu-buru, dan memberi tahu Rusia dengan jujur apa yang mereka inginkan.
Konferensi PBB tentang pembatasan nuklir berlangsung lima bulan setelah Rusia menginvasi Ukraina dan ketika ketegangan Amerika -China terus meningkat.
Moskow dan Washington tahun lalu memperpanjang perjanjian New START. Perjanjian ini membatasi jumlah hulu ledak nuklir strategis yang dapat mereka gunakan dan membatasi rudal dan pembom berbasis darat serta kapal selam yang digunakan untuk mengirimkan senjata.