<p>Karyawan melintas didepan monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin, 3 Agustus 2020. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 2,78 persen atau 143,4 poin ke level 5.006,22 pada akhir sesi Senin (3/8/2020), setelah bergerak di rentang 4.928,47 &#8211; 5.157,27. Artinya, indeks sempat anjlok 4 persen dan terlempar dari zona 5.000. Risiko penurunan data perekonomian kawasan Asean termasuk Indonesia menjadi penyebab (IHSG) terkoreksi cukup dalam hari ini. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Jika Perusahaan Pailit dan Bangkrut, Investor Bisa Apa?

  • Sejumlah perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) maupun private company, tengah menghadapi gugatan kepailitan hingga sudah dinyatakan pailit berdasarkan hukum. Lantas, apa dampak bagi investor?

Industri

Aprilia Ciptaning

JAKARTA – Sejumlah perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) maupun private company, tengah menghadapi gugatan kepailitan hingga sudah dinyatakan pailit berdasarkan hukum. Lantas, apa dampak bagi investor?

Direktur Pengawasan Transaksi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Khoirul Muttaqien menjelaskan mengenai risiko yang dialami para investor jika satu perusahaan mengalami pailit atau kebangkrutan.

“Pertama, mesti dibalikin dulu ke prinsip dasar pemegang saham, sebagaimana disebutkan di Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT), kemudian diatur lebih lanjut di UU Pasar Modal (UUPM), dan juga beberapa peraturan di OJK,” ungkapnya dalam webinar, Sabtu, 5 September 2020.

Menurutnya, ketika ada emiten yang mengajukan kepailitan, maka investor harus mengingat bahwa pemenuhan haknya dilakukan paling akhir.

“Jadi, ketika pada akhirnya ada emiten pailit dan asetnya dijual, sesuai UU PT, maka pemegang saham adalah pihak terakhir yang akan diberikan asetnya,” jelas Khoirul.

Namun, lanjutnya, pemegang saham di pasar modal dapat mengetahui bagaimana kondisi perusahaan melalui berbagai kanal informasi. Perusahaan harus diwajibkan untuk melaporkan informasi di dua surat kabar nasional. Namun, untuk era sekarang, perusahaan dapat mengumumkan keterbukaan informasi lewat berbagai media.

Ketika investor sudah masuk pasar modal, ujarnya, mereka bisa mendapatkan informasi tersebut dari mana saja, termasuk melalui situs resmi BEI.

“Profil, data, dan aspek fundamental bisa diperoleh investor secara mudah, termasuk ketika perusahaan tersebut terancam pailit,” katanya.

Selain itu, informasi status perusahaan yang digugat pun dapat diketahui oleh para investor sehingga hal ini menjadi hak pemegang saham untuk menjual sahamnya.

“Memang tidak bisa dimungkiri, ketika kita menjadi pemegang saham sebuah emiten, kita juga harus mencermati pergerakan saham dan berita terkait,” imbau Khoirul.

Dengan demikian, ketika muncul informasi kepailitan, investor yang tidak ingin merugi dapat melepas kepemilikan saham dengan sesegera mungkin. Namun, jika investor tesebut masih optimistis terhadap kondisi perusahaan, kata Anto, mereka hanya dapat menuntut hak pembayaran atas aset paling terakhir.

Plaza Atrium Senen, Jakarta, milik PT Cowell Development Tbk. Emiten properti PT Cowell Development Tbk. (COWL) menyatakan akan berupaya untuk menjamin nasib karyawan serta konsumennya meski telah diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. / Cowelldev.com

Pengawasan OJK

Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Yudho Taruno mengatakan, debitur dalam hal ini perusahaan efek yang mengalami kepailitan, telah diatur dalam UU Pasar Modal, UU PT, dan UU Kepailitan.

“Dalam peraturan tersebut dijelaskan, jika debitur mengajukan pailit atau mengalami pailit, maka tindak lanjutnya menjadi kewenangan dari OJK,” ujarnya.

Namun, pengawasan dan pelaksanaan tugas OJK dipertanyakan oleh Khomar Zamar, salah satu investor retail di BEI. Khomar pun meminta lembaga tersebut untuk mendisiplinkan laporan keuangan emiten atau perusahaan tercatat.

“Saya kira 90 persen dari laporan keuangan emiten, banyak kecurangan dan tidak jujur. Ke depan, OJK diharapkan dapat memperketat laporan keuangan,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Kemudian, ia juga menanyakan aturan yang tengah digodok oleh OJK terkait buyback saham perusahaan delisting. Sebagai investor retail, ia mengaku telah berkali-kali meminta kejelasan mengenai hal ini. Namun, katanya, para pemegang saham tidak mendapatkan tanggapan maupun resspons dari pihak regulator.

“Kita seolah tidak digubris. Kalau ujung-ujungnya pailit, yang dirugikan juga para investor,” ungkapnya.

Khoirul pun mengakui, saat ini permasalahan yang tengah dialami oleh OJK maupun BEI adalah implementasi peraturan terkait. Dalam hal kecurangan, menurutnya salah satu kunci dan indikator dari laporan keuangan emiten, yakni akuntan. “Kantor akuntan publik masih menjadi permasalahan di Indonesia,” ungkapnya.

Konglomerat pemilik Grup MNC, Hary Tanoesoedibjo. Induk usaha MNC MediaPT Global Mediacom Tbk. (BMTR) digugat pailit di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh KT Corporation. / Mediacom.co.id

Sanksi Tegas

Meskipun demikian, mulai 2017-2018, OJK mengaku telah mengenakan sanksi bagi kantor akuntan publik yang tidak patuh atau melanggar aturan. Adapun sanksi yang dikenakan bersifat administratif maupun fraud, seperti ketidakbenaran dalam laporan keuangan.

Di dalam pasar modal, kata Khoirul, OJK tidak menilai efek perusahaan tersebut, melainkan memberikan keterbukaan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Terkait emiten yang gulung tikar atau pailit, aturan buyback bagi investor masih diproses hingga saat ini.

“Bentuknya memang masih dalam draft. Tetapi, kami saat ini sedang membuat papan konsep di perdagangan bursa, untuk membedakan saham-saham qualified dan saham pengembangan,” tambahnya.

Jadi, ketika terdapat emiten yang tidak perform, maka posisinya akan diturunkan sehingga investor retail dapat meminimalisasi pergerakan saham yang tidak tertentu.

Senada dengan Koirul, Direktur Pengembang BEI Hasan Fawzi mengakui, pihaknya bersama otoritas terkait mengetahui keadaan investor retail yang masuk ke dalam minoritas kepemilikan saham.

“Memang, investor retail dapat dibilang merupakan pemegang saham yang minoritas dibandingkan dengan pemegang saham pengendali,” ujar Hasan.

Para investor tersebut, diakui lebih sulit mendapatkan akses perseroan dibandingkan dengan informasi keterbukaan dari emiten besar. Namun, ujarnya, pengaturan di tingkat UUPM, POJK, dan peraturan di BEI, tengah diupayakan perlindungannya bagi investor retail.

Menurut Hasan, terdapat tantangan yang tidak mudah karena fraud baru diketahui setelah di tengah atau di akhir laporan. Hal ini memang diakui berdampak pada para investor.

“Kami bersama OJK sedang memfinalisasi berbagai ketentuan yang akan mengatur perlindungan hak-hak para investor retail, misalnya terakit proses delisting yang harus dilakukan atas pelanggaran dan sanksinya,” jelasnya. Ia pun mengimbau bagi para investor untuk selalu mencermati perkembangan perusahaan tercatat agar dapat memutuskan tindakan investasi terbaik. (SKO)