Jokowi Melarang Penerbitan Kebijakan Ekstrem, Ekspor Pasir Laut Melenggang
- Setelah 20 tahun dilarang, pemerintah kembali membuka keran ekspor pasir laut. Selain mengancam dan merusak lingkungan hidup, bisnis ini juga membuka peluang manipulasi dan ladang korupsi baru.
Kolom
Hari Jumat, 13 September, pekan lalu adalah hari yang “bersejarah” bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak? Pada hari itu Pesiden Joko Widodo melarang menteri-menterinya menerbitkan kebijakan ekstrem yang merugikan masyarakat luas. Hal itu disampaikan Presiden RI ketujuh dalam sidang kabinet paripurna terakhir di Ibu Kota Nusantara, Jumat, 13 September. Namun di Jakarta, di hari yang sama pemerintah kembali membuka keran ekspor pasir laut usai 20 tahun dilarang.
Memang Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebutkan yang boleh diekspor terbatas pada hasil sedimentasi di laut. Dan itu pun hanya dapat dilakukan selama kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi. Tapi lantaran wujud sedimentasi tak ada bedanya dengan pasir laut, kontan beleid ini memicu kontroversi.
Aturan ekspor pasir laut ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut serta tindak lanjut dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan merevisi dua Peraturan Menteri Perdagangan di bidang ekspor. Revisi tersebut tertuang dalam Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Pemerintah berdalih pengaturan itu dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pesisir dan laut, juga kesehatan laut. Selain itu, pengaturan ekspor pasir laut dapat mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.
Ada sejumlah syarat yang dipatok pemerintah bagi pihak yang ingin berbisnis ekspor pasir laut. Antara lain, harus ditetapkan sebagai Eksportir Terdaftar (ET), memiliki Persetujuan Ekspor (PE), dan terdapat Laporan Surveyor (LS). Untuk dapat ditetapkan sebagai ET oleh Kemendag, pelaku usaha dan eksportir wajib memperoleh Izin Pemanfaatan Pasir Laut dari KKP serta Izin Usaha Pertambangan untuk Penjualan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Selain itu, pelaku usaha dan eksportir wajib membuat surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa pasir hasil sedimentasi di laut yang diekspor berasal dari lokasi pengambilan sesuai titik koordinat yang telah diizinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Setelah memenuhi persyaratan sebagai ET, pelaku usaha dan eksportir dapat melengkapi syarat untuk memperoleh PE. Syaratnya, yaitu wajib memiliki Rekomendasi Ekspor Pasir Hasil Sedimentasi di Laut dari KKP dan telah memenuhi kebutuhan dalam negeri melalui mekanisme domestic market obligation (DMO). Sedangkan, jenis pasir laut yang dilarang diekspor diatur dalam Permendag Nomor 20 Tahun 2024.
Sekadar mengingatkan, Pemerintah Indonesia pernah melarang ekspor pasir laut di masa pemerintahan Presiden Megawati pada tahun 2002. Pada masa itu, larangan tersebut dituangkan melalui larangan ekspor pasir laut yang tertuang di Surat Keputusan Bersama antara Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan serta Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 89/MPP/Kep/2/2002, Nomor SKB.07/MEN/2/2002, dan Nomor 01/MENLH/2/2002 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Larangan ekspor pasir laut saat itu disebabkan oleh tingginya kerusakan ekosistem pesisir.
Mengancam Lingkungan dan Merugikan Manusia
Sejumlah pakar dan aktivis lingkungan hidup berpandangan pengerukan pasir laut akan mengancam lingkungan jangka panjang dan kehidupan masyarakat pesisir. Salah satu dampak dari ekspor pengerukan pasir laut bagi ingkungan adalah perubahan struktur pesisir yang menurunkan garis pantai sehingga pulau-pulau kecil akan tenggelam.
Pengerukan pasir juga memiliki dampak jangka panjang, yaitu memicu kenaikan permukaan air laut sehingga mengakibatkan intrusi dan abrasi air laut. Selain itu, masyarakat pesisir, khususnya nelayan, mengalami kerugian dari segi pendapatan. Biasanya pasir laut digunakan masyarakat lokal untuk keperluan konstruksi, industri, dan pertanian. Ekspor pasir laut dengan pengerukan pasir berlebih juga akan menyebabkan kerusakan habitat organisme laut sehingga pasokan ikan sebagai pangan utama masyarakat berkurang.
Ekosistem laut merupakan penunjang utama kehidupan di daratan: 70% oksigen dihasilkan oleh lautan. Lebih dari 1 miliar manusia sangat bergantung pada kelestarian pesisir dan lautan. Secara tidak langsung, peraturan ini tidak hanya merugikan kehidupan pesisir dan bawah laut, tapi juga merugikan manusia.
Singapura Sukses Memanjangkan Garis Pantainya 12 Kilometer
Konsumen terbesar pasir laut dari Indonesia tak lain Singapura. Sebelum Presiden Megawati menerbitkan larangan ekspor pasir laut tahun 2003, sejak tahun 1997 rata-rata lebih dari 53 juta ton pasir Indonesia dikirim ke Singapura per tahun. Dan jangan salah, kendati sudah dilarang, aktivitas ilegal ekspor laut nyatanya masih berlangsung hingga 2012. Maklum, harga pasir laut di negeri mini itu dua kali lipat dari pasar domestik.
Negeri Singa pun sukses memanjangkan garis pantainya hingga 12 kilometer. Luas daratan Singapura sebelum merdeka dari Malaysia adalah 578 kilometer persegi. Sekarang, luasnya sudah bertambah 25 persen, sekitar 719 kilometer persegi.
Dalam kurun itu Indonesia kehilangan dua pulau, Nipah dan Sebatik. Kedua nusa merupakan pulau terluar perbatasan Indonesia dengan Singapura dan Malaysia. Pulau Nipah telah dikeruk habis. Dari luas area 60 hektar saat air surut, kini tersisa tak lebih dari 90 x 50 meter saat air pasang.
Wahana Lingkungan Indonesia bahkan memiliki data lebih seram lagi. Dampak dari pengerukan pasir laut yang dimanfaatkan untuk reklamasi di dalam negeri maupun diekspor ke Singapura telah menenggelamkan sedikitnya 20 pulau-pulau kecil di sekitar Riau, Maluku dan kepulauan lainnya. Selain itu, terdapat 115 pulau kecil yang terancam raib.
Selain merusak lingkungan, keuntungan ekonomi yang diperoleh dari bisnis pasir laut juga tak seberapa. Menurut Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailiul Huda, hasil ekspor laut hanya berkontribusi sebesar Rp74 miliar dari total potensinya yang Rp733 miliar.
Yang juga penting diperhatikan, sejauh mana pemerintah mampu mengawasi aktivitas bisnis di tengah laut yang kembali berstatus legal ini? Seperti telah disebutkan tadi, kendati telah dilarang sejak 2003, nyatanya aktivitas ekspor pasir masih berlangsung hingga 2012. Singkat kata, diperkenankannya kembali ekspor pasir laut juga membuka peluang manipulasi dan korupsi baru.
Jangankan di tengah laut, aktivitas yang berlangsung di daratan saja negara tak kuasa mengawasi. Ambil contoh, 5,6 juta ton bijih nikel yang diekspor ke China sepanjang 2020-2023. Padahal menurut data yang dimiliki pemerintah sejak 1 Januari 2020 tidak ada ekspor bijih nikel ke Tiongkok maupun ke negara-negara lainnya.
Nah, kalau sampai aksi manipulasi itu juga terjadi di bisnis ekspor pasir, tak tepermanai kerusakan lingkungan yang bakal negara kita alami. Bencana demi bencana susul menyusul akan menerpa negeri kita. Para elit politik mana mau bertanggung jawab.