Jumlah Calon Tunggal di Pilkada Terus Meningkat dari Tahun ke Tahun
- Pada tahun 2018 angkanya meningkat lagi menjadi 16 calon tunggal, 2020 ada 25 , dan pada 2024 naik signifikan yaitu 41 daerah yang memiliki calon tunggal untuk melawan kotak kosong.
Nasional
JAKARTA — Fenomena calon tunggal dalam pilkada terus mengalami kenaikan dari waktu ke waktu terus meningkat. Beberapa dari mereka akhirnya kalah oleh kotak kosong.
Tim Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat kenaikan angka calon tunggal dari tahun 2015 hingga 2024. Tahun 2015 hanya ada tiga daerah saja yang memiliki calon tunggal, sementara itu di tahun 2017 mengalami kenaikan menjadi sembilan daerah.
Pada tahun 2018 angkanya meningkat lagi menjadi 16 calon tunggal, 2020 ada 25 , dan pada 2024 naik signifikan yaitu 41 daerah yang memiliki calon tunggal untuk melawan kotak kosong.
Temuan yang menarik terjadi pada Pemilihan Walikota (Pilwalkot) Makassar pada tahun 2018. Pilwalkot yang dilakukan di 15 kecamatan di Kota Makassar menunjukan 13 kecamatan dimenangkan oleh kotak kosong.
Laman Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Makassar 2018 MENYEBUTKAN, kotak kosong memenangkan pemilihan dengan perolehan suara sebesar 300.795 atau sekitar 53%, sementara itu calon tunggal hanya mendapatkan 264.245 suara atau 47%.
Dilansir dari Jurnal wacana politik, ada beberapa faktor dari perilaku masyarakat yang menyebabkan calon tunggal di Pilwalkot Makassar kalah dalam perolehan suara melawan kotak kosong. Beberapa faktor tersebut menyangkut faktor sosiologis, psikologis, dan pilihan rasional.
Dari fenomena dan faktor tersebut, dapat dilihat bahwa pasangan calon tunggal belum mendapatkan mandat dari masyarakat untuk memimpin Kota Makassar sebagai Walikota dan Wakil Walikota.
Sementara sembilan daerah memiliki calon tunggal di 2017 meliputi daerah Pati, Buton, Tulang Bawang Barat, Kota Tebing Tinggi, Landak, Maluku Tengah, Kota Jayapura, Tambrauw, dan Kota Sorong. Masing-masing daerah memiliki presentase perolehan suara petahana dan kotak kosong yang beragam. Beberapa daerah memiliki selisih perolehan suara petahana dan kotak kosong tidak terlalu jauh.
Dilansir dari laman Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tahun 2017, sembilan daerah yang memiliki calon tunggal dan presentasenya. Daerah Pati, petahana memiliki perolehan suara petahana 74,52% (519.610) sementara kotak kosong 25,48% (177.694) suara. Buton dengan petahana 55,08% (27.512) dan kotak kosong 44,92% (22.438) suara. Daerah Tulang Bawang Barat petahana 96,75% (167.512) suara dan kotak kosong 3,25% (5.625).
Di Kota Tebing Tinggi perolehan suara petahana 71,39% (41.937) dan kotak kosong 28,61% (16.807), daerah Landak petahana mendapatkan 96,72 % (226.378) serta kotak kosong hanya memperoleh 3,28% (7.673). Maluku Tengah petahana mendapatkan suara 70,85% (142.644) dan kotak kosong 29,15% (58.681), Kota Jayapura petahana 84,53% (104.993) dan kotak kosong 15,47% (19.213).
Daerah Tambrauw petahana 87,07% (4.814) dan kotak kosong 12,93% (715), Kota Sorong petahana peroleh 79.37% (47.187) serta kotak kosong peroleh 20,63% (12.262) suara.
Konsep Demokrasi Kontestasi dan Partisipasi
Konsep demokrasi dengan kontestasi dan partisipasi yang banyak digunakan oleh berbagai negara di dunia, merupakan konsep yang diadopsi dari Robert Dahl dan ditulis di bukunya yang berjudul “Democracy and its critics” pada tahun 1989.
Disebutkan konsep mengedepankan pada adanya kontestasi dan partisipasi, dari kontestasi dan partisipasi inilah melahirkan mekanisme pemilihan atau pemilu seperti sekarang.
Sehingga secara teoritis, calon tunggal merupakan bagian dari demokrasi kontestasi ini. Merujuk pada poin pertama, kontestasi, meski pemilihan pemimpin hanya diisi oleh calon tunggal, pemilihan harus tetap dilakukan. Ditambah dengan calon tunggal harus melawan kotak kosong, menandakan proses demokrasi yang mengedepankan kontestasi sudah terjadi.