Pertambangan emas PT Freeport Indonesia (PTFI) di bawah Holding BUMN Tambang MIND ID / Ptfi.co.id
Energi

Jurus Freeport Tekan 30 Persen Emisi GRK di Operasional Pertambangan

  • PT Freeport Indonesia (PTFI) tengah mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) berkapasitas 168 megawatt (MW) yang akan beroperasi pada tahun depan.

Energi

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTA – Perusahaan pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI) telah setuju untuk memenuhi permintaan pemerintah terkait penggunaan energi bersih dalam operasional penambangan mineralnya di Papua. 

Kesepakatan tersebut terjadi setelah kunjungan Ketua DPR Puan Maharani dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif ke Grasberg pada akhir pekan lalu. Manajamen PTFI berkomitmen menargetkan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 30% dari operasi penambangannya pada 2030 mendatang.

Presiden Direktur Freeport Indonesia, Tony Wenas, menyatakan bahwa komitmen perusahaan telah terlihat sejak 2018 hingga 2021. Pada periode tersebut, kegiatan operasional pertambangan perusahaan telah menerapkan elektrifikasi.

“Pada 2021, pengurangan emisi GRK pada kegiatan operasi kami mencapai 22% [dibandingkan dengan 2018]. Sebagian besar dikarenakan transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah, di mana kami menggunakan sistem kereta listrik otomatis bawah tanah," ujar Tony dalam keterangan resmi Kementerian ESDM pada Senin, 11 Desember 2023.  

Sementara itu, terkait memanfaatkan energi bersih secara umum, PTFI tengah mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) berkapasitas 168 megawatt (MW) yang akan beroperasi pada tahun depan.

Asal tahu saja, PTFI juga memiliki rencana untuk menonaktifkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara di wilayah pertambangannya pada tahun 2027. PLTU tersebut telah beroperasi kurang lebih selama 25 tahun.  

Sebagai gantinya, kata Tony, akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU). Berdasarkan laporan keuangan kuartal III-2023 Freeport-McMoRan Inc, perusahaan induk PTFI, investasi pembangkit yang memiliki kapasitas 265 MW tersebut diperkirakan akan menghabiskan biaya sekitar US$1 miliar (sekitar Rp15,61 triliun berdasarkan asumsi kurs saat ini. 

Dalam perkembangan lain, Tony menyatakan bahwa produksi tembaga Freeport akan menjadi kebutuhan utama untuk investasi dalam pembangkit listrik yang berbasis pada energi baru terbarukan (EBT) di masa mendatang.

“Sebab 65% produk tembaga dunia akan digunakan sebagai penghantar listrik dan sekarang ini negara-negara berlomba lomba menggunakan pembangkit energi bersih sehingga akan membutuhkan tembaga lebih banyak lagi,” ujarnya.

Tony memberikan contoh bahwa pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) memerlukan sekitar 1,5 ton tembaga per megawatt, sementara pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) memerlukan 5,5 ton tembaga per megawatt.

Potensi Pajak Karbon

Sebelumnya di sela-sela kunjungan ke PTFI pada akhir pekan lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif, menyampaikan saat ini negara-negara di seluruh dunia telah mulai membahas isu carbon mechanism cross border. 

Menurutnya, produk industri yang memiliki tingkat konten karbon tinggi akan dikenai pajak. Tak ayal, jika Singapura telah menerapkan kebijakan tersebut dengan memberlakukan pajak karbon sebesar US$5, yang diperkirakan akan meningkat menjadi US$50 pada tahun 2050.

“Saya bilang ke Tony, energi yang dipakai untuk mendukung ini (pertambangan di PTFI) harus segera dipikirkan untuk menggunakan energi bersih," ujar Arifin. Dengan mengantisipasi kebijakan negara-negara tersebut, bertujuan agar perusahaan tidak mengalami kerugian akibat penerapan pajak tinggi terhadap produk-produknya yang memiliki konten karbon tinggi.

Dia menambahkan sumber-sumber energi bersih sangat banyak tersedia di Indonesia, misalnya energi angin yang potensinya mencapai 500 gigawatt (GW) dan menjadi modal untuk dapat dimanfaatkan.

"Potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia sangat besar, misalnya saja untuk energi angin menurut survei perusahaan dari negara lain mengatakan potensinya hingga mencapai 500 GW terutama yang berada di ketinggian 140 meter, kalau memang yang di bawah-bawah itu kecil seperti Pantai Pangandaran (atau) Merauke itu kecil," pungkasnya