<p>Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Ali Mukartono (tengah) bersama petugas kejaksaan menunjukkan barang bukti uang sitaan dalam konferensi pers di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa, 7 Juli 2020. Tersangka korporasi kasus Jiwasraya, PT Sinarmas Asset Management mengembalikan kerugian negara senilai Rp 77 miliar ke Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam dua tahap, tahap pertama sekitar Rp 3 miliar dan hari ini senilai Rp 74 miliar sebagai bagian dari penyelesaian perkara terkait dengan penyidikan Jiwasraya. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Kacaukan Locus-Tempus Delicti: Bandit Investasi Bodong Berhasil Gondol Rp92 triliun

  • Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut total kerugian akibat investasi bodong selama 10 tahun terakhir telah mencapai Rp92 triliun. Angka tersebut terbilang cukup besar mengingat sejauh ini Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saja masih kesulitan untuk mencapai pertumbuhan kapitalisasi pasar Rp100 triliun per tahun.

Industri

Fajar Yusuf Rasdianto

JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut total kerugian akibat investasi bodong selama 10 tahun terakhir telah mencapai Rp92 triliun. Angka tersebut terbilang cukup besar mengingat sejauh ini Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saja masih kesulitan untuk mencapai pertumbuhan kapitalisasi pasar Rp100 triliun per tahun.

Kepala Deputi Pengawasan Pasar Modal 1A OJK Luthfy Zian Fuady menjelaskan, investasi bodong ini sangat meresahkan karena tidak hanya dari entitas yang ilegal saja, melainkan juga dari entitas yang punya izin penuh. Tata kelola perusahaan (good corporate governance/GCG) yang buruk menjadi salah satu alasan mengapa investasi bodong banyak terjadi.

“Dan juga ada moral hazard dari pengelolanya, maka timbullah kerugian dari para investornya,” ungkap Luthfy dalam seminar daring Capital Market Summit & Expo 2020, Kamis 22 Oktober 2020.

Adanya kekosongan regulasi dan kewenangan antar lembaga pengawas dengan cerding dimanfaatkan para bandit ini untuk mendesain produk investasi yang jauh dari jangkauan hukum. Mereka memanfaatkan celah itu untuk mengacaukan pemahaman locus dan tempus delicti para penegak hukum dalam penanganan kasus investasi bodong ini.

Locus berarti tempat atau lokasi dan Delicti yang berarti delik atau tindak pidana. Tempus Delicti adalah waktu terjadinya suatu delik atau tindak pidana.

Walhasil, sambung Luthfy, para penegak hukum kerap berdebat lantaran locus dan tempus delicti yang diciptakan para bandit itu. Dari situ, Lutfhy menyimpulkan bahwa para bandit yang dihadapi negara ini adalah orang-orang yang paham regulasi dan tahu cara memanfaatkan celahnya.

“Segera kita menyadari bahwa yang kita hadapi bukan hanya sosok-sosok ‘jahat’. Tapi sekaligus sosok yang paham tentang regulasi, dan paham bagaimana cara memanfaatkan celah dari regulasi tersebut,” kata dia.

Ilustrasi pekerja membuka aplikasi perencana keuangan Jouska, di Jakarta, Rabu, 29 Juli 2020. Belum lama ini, Satgas Waspada Investasi (SWI) resmi memberhentikan kegiatan Jouska dan perusahaan afiliasinya akibat gaduh para klien yang merugi. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Pemulihan Kerugian Korban

Sebab itu, sambung Lutfhy, diperlukan berbagai upaya untuk dapat menghadapi para pelaku investasi bodong ini. Perbaikan regulasi, penguatan kewenangan dan koordinasi lintas kementerian-lembaga menajadi mesti dilakukan guna memerangi investasi ilegal.

Edukasi dan pendalaman literasi terkait investasi menjadi keniscayaan yang tidak kalah pentingnya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait bahayanya investasi bodong.

Setelah itu, penting juga dipikirkan bagaimana upaya pemberantasan investasi bodong ini agar idak hanya berakhir pada pemenjaraan para pelakunya saja. Melainkan juga pada kewajiban pengembalian dana atas kerugian para korban.

“Karena akan menjadi kurang bermakna jika pelaku kejahatannya dihukum. Produknya berhenti, hukumannya penjara seberat-beratnya tapi tidak terjadi pemulihan kerugian para korban. Rasanya kurang sempurna upaya penegakan hukum kita,” pungkas dia. (SKO)